Obat Berbahaya Masih Beredar, Di manakah Negara?


Oleh: Nur Hidayati (Lisma Bali)

Belakangan muncul informasi yang baru dirilis BPOM tentang beredarnya obat-obatan herbal yang justru berbahaya bagi kesehatan yang mengonsumsinya. Bagaimana tidak, dalam obat-obatan herbal tersebut terdapat bahan-bahan kimia yang apabila bereaksi dengan bahan-bahan herbal bisa menimbulkan efek berbahaya bagi tubuh.

Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menyatakan pihaknya telah melakukan penindakan seluruh produk yang tidak layak edar dan tidak layak jual tersebut pada lima lokasi di Jawa Tengah. Beberapa daerah juga ditemukan menjual obat-obatan herbal tersebut. Seperti wilayah Bandung, Medan, Lampung, Riau, hingga Makasar. Pemerintah mengimbau masyarakat untuk mengecek produk-produk herbal yang beredar di pasaran apakah sudah terdaftar di BPOM melalui website BPOM.

Hal ini membuktikan bahwa masyarakat tidak terjamin dalam hal obat-obatan. Padahal dalam Islam obat-obatan termasuk dalam fasilitas kesehatan yang menjadi tanggung jawab negara. Saat ini di sistem kapitalisme, negara hanya memantau dan mengawasi peredaran dari obat-obatan tersebut tanpa memberikan sanksi yang tegas bagi pelakunya sehingga kejadian seperti ini terus dan terus berulang. Masyarakat tidak mendapatkan perlindungan yang nyata dalam masalah kesehatan dan mereka dibiarkan mencari sendiri obat-obatan yang dianggap aman untuk dirinya sendiri.

Berbeda halnya dalam Islam, negara memberikan jaminan keamanan obat bagi masyarakatnya. Islam mengatur bahwa kesehatan termasuk kebutuhan dasar publik. Rasulullah sebagai kepala negara Islam di Madinah pernah menerima hadiah dari Raja Muqauqis berupa seorang tabib, dan Beliau menjadikannya sebagai dokter umum bagi masyarakat Madinah. Semua yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat termasuk obat-obatan menjadi tanggung jawab negara dalam hal penyediaan.

Dalam menjamin peredaran obat-obatan di masyarakat, Khilafah mempunyai regulasi yang berdasarkan syariat Islam yaitu pertama, Khilafah menetapkan undang-undang yang wajib ditaati oleh para produsen obat agar memproduksi obat yang sesuai standar syariat. Kedua, Khilafah melakukan edukasi secara holistik melalui lembaga pelayanan kesehatan, media massa dan tayangan-tayangan edukatif menarik sehingga masyarakat memahami kriteria obat yang halal thoyib dan aman dikonsumsi. Ketiga, khilafah melakukan pengawasan kepada para produsen obat melalui Qadhi Misbah dan departemen kemaslahatan umat bagian kesehatan. Dan jika ada yang melanggar maka Qadhi Misbah akan memberikan sanksi bagi pelakunya. Hal ini memastikan jika obat-obatan yang beredar di masyarakat layak dan aman dikonsumsi.

Pada masa Khalifah Abdullah Al Maimun (218 H), obat-obatan dikontrol oleh negara melalui muhtasib (semacam badan pengawasan obat-obatan). Obat-obatan yang diproduksi haruslah dari para ahli farmasi, amanah, dan ikhlas. Karena obat-obatan yang diproduksi menyangkut nyawa manusia. Selain itu Khilafah juga menyediakan pendidikan gratis bagi warga negaranya, baik muslim maupun non muslim. Pendidikan gratis membuat farmakolog fokus memanfaatkan tenaga dan pikirannya demi kesehatan ummat. Mereka meracik obat yang paling efisien untuk menyembuhkan penyakit. Bahkan, pendidikan gratis juga memudahkan para farmakolog menemukan cara-cara terbaik bahkan yang belum pernah ada sebelumnya untuk memudahkan pasien mengkonsumsi obat. Para farmakolog muslim merupakan pihak pertama yang menginovasi syrap yaitu obat manis. Inovasi syrap kemudian diadopsi oleh Barat dan populer hingga saat ini dengan sebutan sirup. Demikianlah jaminan obat-obatan dalam kekhilafahan. Khilafah adalah pengurus bagi umatnya.

Wallahu A'lam Bishowab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar