Oleh : Wina Apriani
Berbicara pertambangan menarik untuk di bahas salah satunya pertambangan yang terdapat di Sumedang karena ada beberapa kecamatan di Sumedang yang melakukan penambangan dari mulai batu pasir yang paling terbesar adalah satunya penambang pasir yang tepatnya d galian pasir desa Cibeureum di bawah kaki gunung tampomas
Hampir setiap hari puluhan truk mengangkut pasir untuk di bawa ke kota kota besar. Terkait pertambangan pada momen perayaan sumedang gubernur Jawa Barat KDM yang turut hadir menyampaikan di Sumedang banyak penembangan ilegal.
Seperti yang di sampaikan di halaman radar sumedang, Bupati Sumedang H Dony Ahmad Munir memastikan jika Pemerintah Daerah berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan alam dari kerusakan.
“Ini tentu sudah menjadi program dan kewajiban kami untuk menjaga dan melestarikan alam, termasuk menjadikan Sumedang agar alamnya tidak rusak,” kata Bupati Dony, seusai memberikan sambutan pada acara Puncak Gelar Festival Budaya Dalam Rangka Hari Jadi Sumedang Ke-447, di Lapangan Upacara PPS, Sabtu (26/4/2025) lalu.
Dony menuturkan, terkait dengan penambangan, pemerintah daerah telah menertibkan sejumlah tambang yang tidak memiliki izin. “Sejumlah tambang sudah kami tertibkan bersama-sama. Jadi yang beroperasi hanya yang memiliki izin. Sedangkan tidak ada izinnya sudah dihentikan,” tuturnya.
Tak hanya itu, kata Dony, untuk tambang yang memiliki izin juga dalam pengelolaannya harus sesuai dengan aturan dan ketentuan. “Untuk yang berizin juga dalam mengelola tambangnya harus sesuai dengan aturan, luasannya serta kedalamannya dan harus ada reklamasi atas lahan bekas tambangnya. Dan kami juga akan memantau terus sejumlah tambang yang tak berizin yang telah ditutup,” tegas Dony.
Selain itu, lanjut Dony, untuk izin tambang yang masih berproses, dipastikan tidak diperbolehkan untuk melakukan penambangan sebelum izin resminya keluar. “Yang terakhir ditutup itu penambangan wilayah Tomo. Untuk itu, saya meminta informasi dari masyarakat, kalau ada tambang tanpa izin yang masih beroperasi, untuk ditindaklanjuti dengan penutupan,” ucapnya.
Sejak awal dilantik, tambah Dony, kami pastikan sudah menindaklanjuti apa yang menjadi arahan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. “Saya tegas sekali untuk hal ini. Sayang kan bila ada penambangan yang tidak berizin, diambil pasirnya, alamnya rusak dan tidak bayar pajak,” tegas Dony.
“Perlu diketahui, sejak 2019 sudah ada 31 tambang ilegal ditindak atau dihentikan operasinya oleh Satpol PP Kabupaten Sumedang dan Provinsi serta Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat Karena kewenangan perizinan penambangan ada di Provinsi," tambah Dony menandaskan
Fakta nya apayang disampaikan Bupati berbeda sekali yang terjadi di lapangan karena banyak nya pertambangan yang legal, bahkan merusak lingkungan merusak juga kehidupan masyarakat menyebabkan banjir longsor tapi terus dibiarkan tanpa melihat dampak yang ditimbulkan dari segi jalan rusak karena sering dilalui truk yang besar, masyarakat kesulitan mencari lahan pekerjaan,harusnya tanah yang sekitaran gunung bisa dijadikan pertekebunan ini malah sebaliknya di rusak.
Di sisi lain, aktivitas pertambangan rakyat yang belum mendapatkan izin operasi (ilegal) memang rawan bagi keselamatan para penambang. Aktivitas pertambangan berjalan seadanya tanpa memperhatikan aspek keselamatan. Bukannya tidak paham akan bahayanya, hanya saja, menjalani pekerjaan ini adalah tuntutan hidup mereka.
Secara umum, pemerintah pernah mengungkap bahwa Indonesia darurat pertambangan tanpa izin (PeTI). Melonjaknya harga komoditas pertambangan menjadi alasan utamanya. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, sampai kuartal III 2022, terdapat lebih dari 2.700 lokasi PeTI di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 2.600-an lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi merupakan tambang batu bara pasir.
Akan tetapi, problem pertambangan rakyat ini bukan sekadar masalah legal atau tidaknya, melainkan berkaitan dengan upaya rakyat untuk bertahan hidup. Pada saat yang sama, ada regulasi bertingkat dan mekanisme administrasi yang rumit untuk mengantongi izin pertambangan.
Dalam kasus pertambangan di galian pasir tadi, upaya untuk memperoleh perizinan sudah pernah ditempuh. Artinya, ada upaya untuk mendapatkan legalitas aktivitas pertambangan rakyat tersebut. Tentu ini juga sebagai bentuk kepedulian agar aktivitas pertambangan dapat memenuhi standar yang menjamin keselamatan para penambang.
Namun, di sisi lain, rumitnya mekanisme perizinan menjadi celah permainan oknum yang tidak bertanggung jawab. KPK pernah menyatakan bahwa sektor pertambangan merupakan sektor yang paling rawan praktik tindak pidana. Pada saat melakukan kajian, KPK menemukan berbagai permasalahan pada sektor minerba, antara lain penataan perizinan, permasalahan penjualan dan ekspor yang tidak valid, serta rendahnya kepatuhan para pelaku usaha.
Sebuah Paradoks
Membuka lapangan kerja, salah satunya melalui kegiatan pertambangan, pada dasarnya merupakan tugas negara dalam rangka tanggung jawabnya untuk menyejahterakan rakyat. Oleh karenanya, jika pertambangan rakyat menjadi tempat untuk mencari nafkah, sudah selayaknya negara memfasilitasi. Dalam hal ini, negaralah yang bertugas mengelolanya.
Kurang etis kalau berdalih bahwa aktivitas pertambangan belum mengantongi izin, sedangkan tidak ada evaluasi mengenai regulasi yang sedang berjalan. Sebagaimana diketahui, pemerintah melalui DPR mengesahkan UU 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Dari UU ini, terdapat sejumlah perubahan signifikan, seperti status Izin Usaha Pertambangan.
Pasal-pasal yang terdapat dalam UU Minerba ini justru menjauhkan amanat pasal 33 ayat 3 tentang pengelolaan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Terlebih lagi, UU Minerba juga paralel dengan agenda besar yang tidak kalah kontroversial, yakni RUU Cipta Kerja.
Ada Masyarakat sendiri yang ketika menjalankan aktivitas penambangan, banyak mengalami kendala, salah satunya adalah investasi. Bukan rahasia jika urusan administrasi dan birokrasi di negeri ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ini berbeda dengan aktivitas penambangan yang ditopang dengan investasi multikorporasi. Makanya, isu oligarki pertambangan tidak pernah lepas dari izin usaha tambang.
Jika negara paham bahwa tambang merupakan kekayaan negara dan rakyat berhak menikmatinya, negara seharusnya mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang peruntukannya untuk rakyat. Ironisnya, dalam kasus pertambangan di Banyumas, negara tampak tidak hadir di sana.
Inilah paradoks kegiatan pertambangan di negeri ini. Rakyat bertaruh nyawa, korporasi justru melenggang mulus mengeksploitasi SDA. Lantas, bagaimana solusi dan pandangan Islam mengenai hal ini?
Solusi Islam
Kekayaan alam negeri sejatinya pun milik rakyat. Negara bertanggung jawab mengelolanya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Benar bahwa aktivitas penambangan membutuhkan standar jelas agar keselamatan para pekerja bisa terjamin. Alhasil, negara tidak boleh tinggal diam. Negara harus mengelolanya dan hasilnya dikembalikan untuk menyejahterakan rakyat.
Dalam Islam, kekayaan alam termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yakni air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah). Rasulullah saw. juga bersabda, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli, yaitu air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum, Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu, tetapi seorang sahabat segera mengingatkan beliau saw., “Wahai Rasulullah, tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sungguh, Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut darinya.” (HR At-Tirmidzi).
Mâu al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Namun, ketika kemudian beliau saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—bagaikan air yang terus mengalir—beliau pun menarik kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut terkategori sebagai milik bersama (milik umum).
Atas dasar ini, negaralah yang berhak mengelola kepemilikan umum. Negara dapat melibatkan rakyat dengan status sebagai pekerja. Hasil dari pengelolaan SDA tersebut masuk ke baitulmal yang nantinya akan disalurkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan rakyat.
Sudah sekali bahwa bentuk pertanggungjawaban negara dalam mengelola kepemilikan umum. Sebagai pelayan rakyat, negara pula yang bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya.
Sudah saatnya sistem sistem Islam ditegakkan di muka bumi untuk mengatur problem umat, salah satunya pertambangan tadi. Maka marilah bersama sama menegakan sistem Islam di muka bumi ini. Wallahu alam bi ash shawab []
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar