Raja Ampat, Surga Dunia yang Merana


Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Belakangan ini media sosial diramaikan oleh Tagar #SaveRajaAmpat. Hal tersebut muncul setelah aksi protes aktivis Greenpeace pada saat konferensi Indonesia Critical Minerals Conference di hotel Pullman Jakarta Central Park, Jakarta Barat pada Selasa (03/06/2025). Hal senada juga dilakukan oleh Aliansi Jaga Alam Raja Ampat dan masyarakat. Raja Ampat yang terletak di wilayah Papua Barat Daya adalah sebuah destinasi wisata unggulan dengan julukan surga dunia karena keindahannya. Namun, keindahan itu tercoreng dengan penampakan kegiatan tambang nikel (bahan dasar baterai kendaraan listrik) di lima pulau kecil, Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele, yang melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dari data Greenpeace tercatat lebih dari 500 hektare hutan telah rusak akibat penambangan dan sedimentasi akan mengancam terumbu karang serta kehidupan bawah laut. Terlihat juga adanya pembukaan lahan di tengah pulau yang diduga sebagai lokasi tambang aktif dalam video yang dirilis Greenpeace.

Setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, akhirnya Pemerintah mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Selasa, 10 Juni 2025. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan keempat perusahaan tambang tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Sedangkan izin tambang PT Gag Nikel tak dicabut dan tetap diizinkan beroperasi karena pemerintah menilai perusahaan ini telah melakukan tata kelola limbah yang baik sesuai analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal). (tempo.co/politik, 13/06/2025)

Keputusan pemerintah tersebut menjadi kontroversi di masyarakat. Sejumlah pihak mengkritik adanya diskriminasi karena pemerintah tidak mencabut seluruh izin tambang di kawasan itu.

Sudah menjadi rahasia umum, dalam sistem demokrasi untuk bisa menjadi penguasa dibutuhkan biaya yang tinggi sehingga meniscayakan transaksi kekuasaan. Pemilik modal akan mendukung pemenangan penguasa. Setelah berhasil menduduki jabatan tertentu, pemilik modal akan menagih kembali biaya yang telah dikeluarkan tersebut melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung pemilik modal yang memenangkannya.

Hal ini terlihat dari UU Ciptaker (Omnibus Law) yang memberikan jalan mulus untuk memfasilitasi proyek-proyek strategis nasional agar bisa berjalan melalui perlindungan-perlindungan lingkungan yang sudah diperlemah. Mulai dari perizinan, melalui modal Online Single Submission (OSS) yang berada di tingkat pusat dan semuanya tersentralisasi, amdalnya disentralisasi.

Demikian juga dalam UU No. 32/2009, ada tiga pihak yang dilibatkan dalam proses penelusuran amdal yaitu masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses penyusunan dan penilaian amdal. Namun, dalam UU Ciptaker dipersempit menjadi satu saja yaitu masyarakat yang terdampak langsung. Hal ini menjadi celah terjadinya manipulasi perizinan yang seolah-olah legal, tetapi prosesnya secara formal tidak melibatkan aspek partisipasi. Dengan begitu proses perizinan pertambangan di Indonesia relatif sangat tertutup karena publik tidak diajak terlibat. Ini tentu menjadi paradok, di satu sisi pemerintah yang mengeluarkan Undang-Undang pelarangan penambangan di pulau-pulau kecil, tetapi di sisi lain nyatanya pemerintah sendiri yang memberi izin penambangan di pulau tersebut.

Raja Ampat adalah habitat bagi keanekaragaman hayati laut yang luar biasa, mempunyai nilai ekologi yang sangat besar bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk dunia.

Mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dengan alasan transisi energi atau perubahan iklim sebenarnya bertentangan dengan tujuan menjaga lingkungan. Hilirisasi nikel dilakukan demi mengejar keuntungan. Kelestarian lingkungan diabaikan, ruang hidup dirampas, dan menimbulkan resiko paparan logam berat ke masyarakat lokal lewat konsumsi ikan.

Dalam Islam kepemilikan harta dibagi menjadi tiga.
 (1) Kepemilikan individu seperti gaji, hibah dan lainnya. 
(2) Kepemilikan umum seperti air, hutan dan lainnya. 
(3) Kepemilikan negara seperti harta sitaan dan lainnya.

Rasulullah saw. telah bersabda, "Kaum muslim berserikat (mempunyai hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu padang rumput (hutan), air, dan api (energi).” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Api dalam hadis tersebut berarti seluruh sumber daya alam yang bisa menghasilkan energi, seperti minyak bumi, batubara, nikel, gas alam, listrik, dan yang semisal dengannya haram dimiliki individu, swasta, asing maupun dalam negeri. Namun, sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, SDA dengan bebas diprivatisasi oleh individu maupun perusahaan dan mengeksploitasi tanpa memikirkan akibatnya. Setelah mengeksploitasi ditinggal begitu saja hingga meninggalkan kerusakan yang tidak bisa dipulihkan.

Islam tidak melarang pemanfaatan SDA, tetapi harus sesuai dengan syariat dan tidak membuat kerusakan.

Allah swt. telah berfirman, "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan." (QS Al A'raf [7]:56)

Karena itu dalam mengelola SDA Islam juga menerapkan konsep hima yaitu, pentingnya menjaga lingkungan dan sumber daya alam sebagai amanah yang harus dilindungi.

Barang kepemilikan umum biasanya memerlukan dana yang besar untuk mengolahnya, karena itu negara mewakili umat untuk mengelolanya kemudian hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat dengan harga sebatas pengganti biaya produksi bahkan gratis. Atau bisa berupa rumah sakit gratis, sekolah gratis dan lainnya.

Hanya dalam sistem Islam pengelolaan SDA diatur dengan sempurna tanpa merugikan umat dan merusak keseimbangan alam demi berlangsungnya kehidupan generasi selanjutnya. Saatnya kembali pada aturan yang paripurna yaitu menerapkan syariat Allah Swt. dalam semua aspek kehidupan.

Wallāhu 'alam bishshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar