Oleh: Lisa Izzate
Sengketa pengalihan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Sumatera Utara kembali membuka tabir rapuhnya sistem pengelolaan wilayah di negeri ini. Apalagi wilayah tersebut disebut-sebut memiliki potensi sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi (migas) yang menggiurkan. Dalam sistem otonomi daerah (Otda), potensi kekayaan alam kerap menjadi alasan konflik kewilayahan, karena setiap daerah berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) demi kesejahteraan lokal, namun seringkali mengabaikan keadilan antarwilayah.
Otonomi Daerah yang kini diterapkan merupakan produk pemikiran sekuler-kapitalis Barat. Sistem ini lahir dari paradigma liberal yang menempatkan daerah sebagai entitas kompetitif dalam satu negara, bukan bagian dari satu kesatuan utuh. Maka tidak heran, jika keberadaan kekayaan alam di satu wilayah menjadi rebutan dan sumber konflik, bukan menjadi sarana pemerataan kesejahteraan nasional.
Di balik janji manis tentang kemandirian dan demokratisasi daerah, Otda justru memunculkan jurang ketimpangan yang makin dalam. Daerah kaya sumber daya menjadi makmur, sementara daerah miskin sumber daya hidup dalam keterbatasan. Ketika pembangunan dan kesejahteraan hanya bergantung pada PAD, maka kecemburuan sosial, disintegrasi wilayah, dan konflik administratif menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Sengketa antarwilayah seperti kasus Aceh-Sumut bukanlah kejadian pertama, dan bisa dipastikan bukan yang terakhir. Sistem ini menciptakan kompetisi tidak sehat antar daerah dan membuka celah bagi eksploitasi sumber daya oleh pihak-pihak tertentu demi keuntungan segelintir elit, bukan untuk kemaslahatan rakyat banyak. Negara justru bertindak seperti wasit yang bingung, alih-alih menjadi pengatur dan pelindung yang adil.
Islam, sebagai sistem alternatif, menetapkan tata kelola pemerintahan secara sentralistik. Negara bertanggung jawab penuh atas semua urusan rakyat di seluruh wilayah, tanpa bergantung pada kekayaan atau PAD daerah tertentu. Sumber daya alam adalah milik umat yang dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk keuntungan daerah atau kelompok tertentu.
Dalam sistem Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat (raain) sekaligus perisai (junnah) yang menjaga keadilan dan kesejahteraan semua warga. Penguasa tidak memiliki hak pribadi atas wilayah atau sumber daya, karena kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Inilah konsep kepemimpinan yang adil dan bertanggung jawab, jauh dari kepentingan politik atau ekonomi sempit.
Kasus sengketa empat pulau ini sejatinya adalah bukti bahwa sistem demokrasi-sekuler yang diadopsi saat ini telah gagal menjamin keadilan, kedaulatan, dan kesejahteraan rakyat. Hanya dengan kembali kepada sistem Islam yang komprehensif, umat ini dapat keluar dari krisis disintegrasi dan konflik berkepanjangan. Karena hanya Islam yang menempatkan kekuasaan sebagai sarana ibadah dan pelayanan, bukan ajang rebutan kekayaan dan wilayah.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar