Oleh: Winda Raya, S.Pd., Gr (Aktivis Muslimah)
Jalan-jalan ke Tanah Dairi,
Singgah sebentar membeli teri,
Presiden Prancis datang kemari,
Layakkah penghormatan diberi?
Kedatangan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia disambut oleh Presiden Prabowo Subianto dengan hangat dan meriah. Prancis adalah salah satu negara yang menganut sistem sekuler, memisahkan urusan negara dan kehidupan dari agama. Prancis banyak mengeluarkan kebijakan islamofobia, di antaranya melarang perempuan memakai kerudung dan niqab, menerbitkan karikatur kartun yang melecehkan Nabi Muhammad, dan lain-lain. Apakah layak Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, menjalin kerja sama dan menghormatinya?
Dilansir dari Kompas.com pada 28 Mei 2025, Presiden Prancis Emmanuel Macron tiba di Indonesia dan disambut oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Dalam pertemuan di Istana Jakarta, Prabowo mengungkapkan bahwa kunjungan Macron dan delegasinya ke Indonesia merupakan sebuah kehormatan besar. “Selamat datang di Indonesia,” ucap Prabowo. Ia juga mengatakan, “Terima kasih atas kehormatan besar yang diberikan kepada kami dengan kunjungan Yang Mulia.”
Kerja sama hubungan bilateral Indonesia dan Prancis yang dijelaskan oleh Presiden Prabowo terus berkembang. Masih banyak potensi dan peluang yang bisa digali dan dimanfaatkan bersama.
Pada 29 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto berbincang bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam kunjungan ke Candi Borobudur. Keduanya menyampaikan beberapa kerja sama antara kedua negara. Kunjungan Macron menghasilkan sejumlah kerja sama strategis dalam sektor energi, infrastruktur, kesehatan, dan budaya. Kunjungan penting ini juga mempertegas hubungan bilateral kedua negara. Macron beserta istri disambut hangat oleh Presiden RI Prabowo Subianto dalam upacara kenegaraan di Istana Merdeka. Kedua pemimpin membahas berbagai isu strategis, peningkatan investasi, hilirisasi mineral, hingga kerja sama ekonomi, sebagaimana diberitakan Tempo.co pada 30 Mei 2025.
Umat Muslim di dunia tidak boleh lupa terhadap negara-negara yang memusuhi dan melecehkan Islam. Pemimpin negara Muslim seharusnya menolak bekerja sama dengan Prancis dan menunjukkan pembelaan atas kemuliaan agamanya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pemimpin negara Muslim dengan ramah memberikan penghormatan dan menerima kedatangan mereka. Menjalin hubungan bilateral dengan Prancis dilihat berdasarkan asas manfaat semata, namun lalai dan abai atas sikap negaranya terhadap Islam. Inilah gambaran sistem sekuler kapitalisme yang mementingkan asas manfaat dan menjauhkan agama dari kehidupan dan negara.
Dalam sistem Islam, ada aturan dan tuntunan tentang bagaimana negara bersikap terhadap pihak yang memusuhi Islam, terlebih jika banyak kebijakan yang menyengsarakan umat Islam. Tidak boleh bersikap ramah tamah dan harus menolak kerja sama bilateral dengannya.
Rasulullah juga menunjukkan ketegasan terhadap suku atau kelompok yang secara terang-terangan melanggar perjanjian yang telah disepakati. Pengusiran Yahudi Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah adalah contohnya. Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah membuat perjanjian dengan berbagai suku, termasuk suku-suku Yahudi, untuk hidup berdampingan secara damai. Namun, beberapa dari mereka berkhianat dan bersekongkol dengan musuh Islam. Bani Qainuqa melecehkan seorang Muslimah di pasar, yang memicu konflik, dan akhirnya diusir dari Madinah. Bani Nadhir bersekongkol untuk membunuh Rasulullah, sehingga Rasulullah mengepung benteng mereka dan mengusir mereka dari Madinah. Bani Quraizhah berkhianat selama Perang Khandaq dan dihukum berdasarkan keputusan hakim yang mereka setujui, yaitu Sa’ad bin Mu’adz. Ini menunjukkan ketegasan dalam menegakkan hukum dan menjaga keamanan umat.
Dalam sejarah Islam, ketegasan Umar bin Khattab sebagai pemimpin negara juga tampak dalam memerangi negara-negara yang memusuhi Islam. Salah satu contohnya adalah penaklukan Yerusalem yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Bizantium. Setelah dikepung cukup lama oleh pasukan Muslim, pemimpin Yerusalem menyerah dan menerima kedatangan Umar bin Khattab secara langsung untuk menyerahkan kunci kota. Penaklukan ini menunjukkan wibawa dan kekuatan negara Islam yang mampu mengatur hubungan internasional dengan tegas dan bermartabat.
Dalam Islam, negara-negara di dunia dibagi menjadi dua, yaitu darul Islam dan darul kufur. Islam telah menetapkan tuntunan bersikap terhadap negara kafir, sesuai dengan posisi mereka terhadap negara Islam. Tuntunan ini seharusnya menjadi pedoman bagi setiap Muslim, terlebih penguasa. Ketika sebuah negara memusuhi Islam secara terang-terangan, tidak layak negara Muslim menjalin hubungan diplomatik dan kerja sama strategis dengannya.
Dengan demikian, umat Islam seharusnya memiliki negara yang kuat dan berpengaruh dalam konstelasi hubungan antarnegara di dunia, sebagaimana pernah diraih oleh Daulah Islam. Umat harus berjuang kembali untuk mewujudkan negara Islam yang menjadi pusat kekuatan dunia, menjaga kehormatan umat, dan menjadi pelindung bagi kaum Muslimin di mana pun berada.
Wallahualam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar