Anak Jadi Sasaran Judol, Kapitalisme Biang Kehancuran Generasi


Oleh : Silvy Anggra

Anak terlibat Judol

Fenomena judol beberapa tahun terakhir menjadi sebuah masalah baru di tengah – tengah masyarakat Indonesia. Ekonomi yang semakin menghimpit memaksa masyarakat melakukan judi online hanya untuk memenuhi kebutuhan. Saat ini judi online tidak hanya sebagai jalan keluar sementara untuk memenuhi kebutuhan saja namun sudah menjadi kebiasaan baru dan candu tersendiri oleh masyarakat. Tidak hanya kalangan dewasa tapi sudah mulai menyasar anak-anak.

Menurut laporan Beritasatu, pemerintah Indonesia mencatat sebanyak 197.054 anak telah terlibat dalam aktivitas judol. Selain itu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan bahwa anak – anak usia 10 sampai 16 tahun telah melakukan transaksi judi online dengan total nilai mencapai Rp 22 Miliar. Data ini menunjukkan para admin judol menemukan celah pemanfaatan digital yang bebas oleh anak anak. Tidak hanya itu, dalam laporan tempo.co mengungkapkan ada sebuah grup whatsapp “Anak Medan FC” yang diduga menjadi sarana komunikasi dan koordinasi terkait penggunaan judol juga promosi judol. 

Kemudahan akses digital yang dapat dimasuki oleh siapa saja memang menjadi sebuah penyebab utama. Selain itu peran aktif orang tua dalam pengontrolan anak juga menjadi salah satu penyebabnya. Negara yang tidak tegas dalam pemblokiran situs situs berbahaya juga patut untuk terus kita kritisi.


Kegagalan Sistemik yang Mengakar

Temuan yang dipaparkan dalam jurnal SOSMANIORA (Vol. 2 No. 1, 2023) menunjukkan betapa masifnya pergeseran ini. Meningkatnya pelajar yang menjadi pelaku judi online tak hanya disebabkan oleh rasa ingin tahu semata, tetapi juga oleh kombinasi faktor psikologis, lingkungan, ekonomi, dan minimnya pengawasan digital.

Dijelaskan dalam jurnal bahwa anak-anak sekarang cepat belajar teknologi, tapi tidak cukup kuat menyerap nilai dan norma. Ketika kecewa, stres, atau bosan, mereka mudah tergoda. Dan sayangnya, lingkungan sekitarnya tidak cukup kuat untuk mencegah.

Lingkungan yang permisif, keluarga yang berantakan, dan akses teknologi yang terlalu bebas menjadi pintu masuk paling mudah. Judi online tidak mengenal jam belajar, tidak peduli umur, dan tak memerlukan syarat apapun, cukup kuota internet dan satu klik. Selebihnya anak-anak dibiarkan berjudi dalam sunyi, di balik layar gadget yang seharusnya menjadi alat belajar.

Dan inilah bagian paling menyedihkan negara seolah tak hadir. Regulasi longgar, penegakan hukum setengah hati, dan sistem digital yang belum berpihak pada perlindungan anak. Di saat anak-anak kehilangan arah, negara justru lambat mengambil sikap. Padahal, apa artinya pembangunan jika generasi penerusnya tumbuh dalam kecanduan dan kehancuran mental.

Ketika anak-anak mulai memandang judi sebagai “jalan keluar” dari masalah ekonomi, tekanan hidup, bahkan sekadar mengusir rasa bosan, itu bukan hanya kegagalan keluarga atau sekolah itu juga potret kegagalan negara dalam menciptakan sistem perlindungan yang kuat.

Pertanyaannya sekarang bukan lagi, “Mengapa anak-anak bisa terjerat judi online?” tapi, Mengapa negara tidak cukup tegas menghentikannya.


Pendidikan Islam : Pondasi Awal

Islam memandang pendidikan sebagai proses pembentukan kepribadian manusia yang berlandaskan akidah Islam. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam tidak hanya fokus pada pencapaian akademik atau keterampilan teknis semata. Lebih dari itu, pendidikan Islam bertujuan membentuk pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang sesuai dengan ajaran syariat.

Anak-anak dididik sejak dini untuk menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam menilai dan bertindak. Hal ini menjadi tugas utama bagi orang tua untuk mengenalkannya. Dalam konteks literasi digital, mereka diajarkan untuk menggunakan teknologi dengan tanggung jawab syar’i. Artinya, mereka akan mampu menilai suatu konten bukan sekadar dari sisi hiburan atau tren, tetapi berdasarkan nilai-nilai Islam: apakah konten tersebut halal, mendidik, dan bermanfaat; atau justru haram, merusak akhlak, dan menjauhkan dari ketaatan.


Negara Pelindung Masyarakat dari Kerusakan

Dalam sistem Islam, negara memiliki peran strategis sebagai penjaga umat dari berbagai bentuk kerusakan. Negara dalam Islam, yaitu Khilafah, tidak bersifat netral terhadap kemaksiatan atau keburukan. Sebaliknya, negara justru aktif mencegah terjadinya kerusakan dengan cara menutup akses terhadap sumber-sumber kejahatan, termasuk di ranah digital.

Negara memiliki kekuasaan dan otoritas untuk mengontrol infrastruktur digital, termasuk internet, media sosial, dan aplikasi. Dalam hal ini, negara Islam mampu menutup secara menyeluruh akses terhadap situs-situs judi online, konten pornografi, dan platform yang menyebarkan ide-ide yang bertentangan dengan Islam. Pengawasan dilakukan bukan untuk membatasi kreativitas, tetapi mengarahkannya pada kemaslahatan umat misalnya dengan mendorong inovasi teknologi di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, ekonomi halal, dan penyebaran dakwah Islam.

Islam tidak menolak digitalisasi. Bahkan, kemajuan teknologi dapat menjadi sarana dakwah dan pemberdayaan umat, asalkan digunakan dalam koridor syariat. Dalam sistem Khilafah, digitalisasi akan diarahkan secara sistemik untuk mendukung penguatan pendidikan Islam, efisiensi pelayanan publik, transparansi pemerintahan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dengan dukungan sistem pendidikan yang membentuk pribadi bertakwa dan negara yang tegas dalam menjaga masyarakat, maka berbagai bentuk kerusakan digital bisa dicegah dan dihentikan secara efektif. Wallahu’alam bishowab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar