Oleh : Ulianafia (Pemerhati Keluarga dan Politik)
Presiden Prabowo Subianto, sejak awal masa pemerintahannya pada tahun 2024, telah meluncurkan berbagai stimulus ekonomi untuk memperkuat daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam periode Juni–Juli 2025, pemerintah menggulirkan program strategis seperti diskon tarif listrik, bantuan pangan dan tunai untuk keluarga miskin, diskon tol dan tiket pesawat, hingga insentif untuk sektor padat karya. Selain itu, program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk anak sekolah menjadi perhatian besar, dengan anggaran jumbo mencapai Rp171 triliun. Pemerintah berharap rangkaian kebijakan ini dapat memperbaiki konsumsi rumah tangga dan menggerakkan roda ekonomi nasional.
Namun, di balik angka dan program-program yang tampak menjanjikan itu, muncul satu pertanyaan besar: apakah kebijakan ini benar-benar menyelesaikan akar kemiskinan, ataukah hanya bersifat jangka pendek dan temporer? Dalam sistem ekonomi yang berakar pada kapitalisme, kemiskinan tidak pernah dihapus, hanya dikelola agar tidak meledak secara sosial. Stimulus seperti subsidi listrik atau bantuan tunai hanya memperpanjang napas kaum miskin, bukan mengubah status sosial ekonomi mereka secara fundamental. Masyarakat miskin tetap bergantung pada negara, sementara kekayaan besar tetap berpusat pada segelintir elite.
Kapitalisme tidak dibangun untuk menyelesaikan ketimpangan, tetapi justru melanggengkannya melalui mekanisme pasar bebas dan kepemilikan individu tanpa batas. Negara dalam sistem ini lebih sering menjadi regulator ketimbang pelayan rakyat. Akibatnya, kebijakan yang dibuat pun cenderung tambal sulam, bersifat reaktif, dan terikat kepentingan jangka pendek. Lihat saja bagaimana subsidi diberikan menjelang hari raya atau musim politik. Tidak ada transformasi kepemilikan, tidak ada distribusi kekayaan yang adil, hanya perputaran uang yang kembali kepada korporasi besar melalui konsumerisme terencana.
Lebih jauh, ketergantungan pada utang luar negeri, investasi asing, dan pajak membuat negara-negara kapitalis tidak benar-benar merdeka dalam menyejahterakan rakyat. Apa yang dilakukan pemerintah hanyalah memutar skema fiskal, memoles angka statistik kemiskinan, sementara lapangan kerja tetap timpang, harga barang terus naik, dan akses atas sumber daya tetap dikuasai swasta atau asing. Kapitalisme hanya menawarkan "pereda nyeri", bukan pengobatan penyakit.
Islam memandang masalah kemiskinan bukan sekadar soal kekurangan materi, tetapi sebagai konsekuensi dari kegagalan sistem dalam menjamin hak-hak ekonomi setiap individu. Dalam Islam, negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin kebutuhan pokok setiap rakyat: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Kewajiban ini bukan diberikan atas dasar kasihan atau populisme, melainkan bagian dari sistem ilahi yang menetapkan peran negara sebagai penjamin kehidupan rakyat (ra’in).
Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam mengatur ulang kepemilikan, memisahkan antara kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan umum seperti air, tambang, dan energi tidak boleh dimonopoli atau diprivatisasi. Negara bertugas mengelolanya dan hasilnya didistribusikan kepada seluruh rakyat. Dengan demikian, sumber daya yang besar bisa digunakan untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, bukan memperkaya segelintir korporasi atau digunakan sebagai alat politik.
Islam juga menerapkan sistem distribusi kekayaan, bukan hanya mendorong produksi atau pertumbuhan ekonomi. Zakat, infak, sedekah, ghanimah, fai’, kharaj, jizyah, hingga warisan adalah mekanisme nyata agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya. Sistem moneter Islam yang bebas riba, stabil
Islam juga menerapkan sistem distribusi kekayaan, bukan hanya mendorong produksi atau pertumbuhan ekonomi. Zakat, infak, sedekah, ghanimah, fai’, kharaj, jizyah, hingga warisan adalah mekanisme nyata agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya. Sistem moneter Islam yang bebas riba, stabil, dan berbasis dinar-dirham juga menghindarkan rakyat dari jeratan inflasi dan eksploitasi perbankan. Kemiskinan dalam Islam diselesaikan dari akarnya, dengan sistem yang menyentuh sumber daya, struktur negara, dan keadilan sosial.
Penting juga ditekankan bahwa dalam Islam, bekerja adalah ibadah, dan masyarakat didorong untuk mandiri, bukan hidup dari bantuan. Namun, jika seseorang tidak mampu, negara dan umat wajib menjamin kehidupannya. Islam bukan sistem sedekah berjamaah, tetapi sistem yang mewajibkan negara menuntaskan kemiskinan sebagai amanah syar'i, bukan pilihan politis. Ini berbeda jauh dengan pendekatan kapitalistik yang menjadikan kemiskinan sebagai alat kontrol sosial.
Maka, stimulus ekonomi Prabowo—meski terkesan besar dan massif—tetap belum menyentuh akar kemiskinan jika masih berpijak pada kerangka kapitalisme sekuler. Tanpa mengubah sistem kepemilikan, distribusi kekayaan, dan peran negara, kebijakan semacam ini akan terus berputar dalam lingkaran tambal sulam. Islam menawarkan solusi total, bukan sekadar bantuan sesaat. Sudah saatnya umat menuntut penerapan sistem Islam secara kaffah sebagai jalan keluar hakiki dari kemiskinan dan ketimpangan sosial yang terus menghantui bangsa ini.
Wallahu'alam
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar