Oleh : Gita Milia Ulfah
Maraknya kasus dugaan pelecehan seksual oleh oknum dokter terhadap pasien di berbagai daerah akhir-akhir ini mengundang keprihatinan banyak pihak. Profesi dokter yang seharusnya menjadi simbol integritas dan kemanusiaan justru tercoreng oleh tindakan tidak terpuji sejumlah oknum.
Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Universitas Padjadjaran, Priguna Anugrah Pratama, terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.
Kabid Humas Polda Jawa Barat, Hendra Rochmawan, menuturkan dugaan pemerkosaan yang menimpa korban FA terjadi pada 18 Maret sekitar pukul 01:00 WIB.
Ketika itu korban disebut sedang menjaga ayahnya yang menjadi pasien di sana. Ia kemudian diminta oleh tersangka untuk pemeriksaan crossmatch atau kecocokan jenis golongan darah yang akan ditransfusikan kepada penerima.
Sebab kala itu, ayah korban yang sedang dirawat disebut membutuhkan donor darah. Korban pun dibawa ke ruang IGD di gedung MCHC lantai 7.
Dalam pemeriksaan terbaru, diketahui Priguna tidak hanya memerkosa sekali, tapi sudah dua kali melakukan perbuatan yang sama pada korban berbeda yakni pada 10 dan 16 Maret 2025. Kedua korbannya merupakan pasien di RSHS.
Menanggapi hal ini, Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), drg. Arianti Anaya, meminta masyarakat untuk tidak ragu melapor apabila mengalami atau mengetahui tindakan pelecehan seksual maupun pelanggaran lain yang dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan.
Terkait kasus di RS Hasan Sadikin, pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka. KKI pun telah mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) milik yang bersangkutan. Sementara itu, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat juga telah mencabut Surat Izin Praktik (SIP) dokter tersebut.
Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi, Priguna Anugrah Pratama, disebut telah mencoreng dunia kedokteran dan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap tenaga medis maupun rumah sakit.
Sebab profesi yang semestinya erat dengan rasa kemanusiaan justru bertindak sebaliknya. Akibatnya, muncul syak wasangka pada sejumlah pasien rumah sakit bahwa mereka mungkin pernah mengalami pelecehan ketika dalam pengaruh obat bius atau saat tak sadarkan diri.
Kasus kriminal atas nama profesi dokter sejatinya tidak sendiri. Dari kalangan profesi lainnya, penyalahgunaan keilmuan bahkan wewenang juga banyak terjadi. Ini semua tidak hanya membuat miris khalayak, tetapi juga membangkitkan rasa jengkel yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Pihak-pihak yang semestinya menjadi pengayom dan pelayan umat malah menjadi yang terdepan dalam berkhianat.
Sedangkan profesi mereka tidak sembarangan. Mereka memegang legitimasi dan legalitas untuk memutuskan urusan-urusan yang dialami rakyat di lapangan. Namun, alih-alih menjalankan profesi dengan penuh integritas, mereka justru mencederai amanah yang ada di pundaknya dan kalangan profesional seperti dokter maupun tenaga kesehatan lainnya tentu saja bukan orang-orang yang minim ilmu. Mereka justru jelas-jelas orang berilmu. Sayangnya, ilmu itu tidak lantas berbuah berkah, malah menjadi pemuas nafsu serakah.
Masih banyak dokter yang tulus, baik, dan profesional. Namun, kasus pelecehan oleh dokter semestinya juga memantik daya kritis kita bahwa realitas miris itu tidak boleh terjadi. Kita harus menilik akar masalahnya agar bisa mencapai solusi tuntas.
Tidak bisa memungkiri bahwa profesi dokter pada era kapitalistik seperti saat ini berada di persimpangan. Sekularisasi dan kapitalisasi pada sistem pendidikan dokter serta kapitalisasi sektor kesehatan adalah tiga hal yang seolah-olah membuat para dokter terjepit di antara tiga kepentingan yang berpeluang besar menghancurkan nilai moral dan kehormatan profesinya.
Sekularisasi pendidikan terjadi di berbagai lini, termasuk pendidikan dokter. Kasus pelecehan oleh oknum tenaga kesehatan adalah bukti nyata pengabaian tanggung jawab atas sumpah dan profesi dokter. Sedangkan sumpah dokter merupakan komitmen moral dan profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan asusila oleh tenaga medis tidak hanya mencoreng profesi, tetapi juga mencederai kepercayaan masyarakat.
Tidak berhenti sampai di situ. Tata aturan kehidupan yang sekuler di tengah-tengah masyarakat telah memberikan ruang kebebasan bagi mereka dalam berperilaku. Juga maraknya tayangan pornografi/pornoaksi di berbagai lini media membuat semua orang mudah dan bebas mengaksesnya. Namun yang pasti, semua hal itu turut berperan mengantarkan pada tindak kemaksiatan, termasuk pelecehan seksual.
Namun, negara tidak punya taring untuk memberantas secara tuntas situs maupun aplikasi digital penyedia konten tidak senonoh. Negara bahkan seolah-olah memfasilitasinya karena dianggap mendatangkan pendapatan bagi APBN. Indonesia justru menduduki peringkat keempat secara global dan peringkat kedua di kawasan ASEAN dalam jumlah kasus pornografi anak di ruang digital. Angka tersebut berbanding lurus dengan tingkat dominasi pengguna internet. Jika sudah demikian adanya, permasalahan ini jelas membutuhkan solusi sistemis.
Di dalam sistem Islam yang diterapkan secara kafah oleh negara Islam akan bertindak secara sistemis dan holistik sehingga benih-benih ilmuwan yang mengalami cacat kepribadian Islam sebagaimana pelecehan oleh oknum dokter bisa dicegah kemunculannya.
Yang termasuk kebijakan strategis Khilafah dalam hal ini adalah dengan memblokir tuntas keberadaan dan peredaran konten-konten porno. Hal ini sangat urgen untuk mendukung sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga kondusif untuk mendidik umat.
Solusi sistemis dan ideologis ini akan menghasilkan individu-individu yang tidak hanya berilmu, beriman, mampu beramal salih, dan bermanfaat bagi masyarakat luas, tetapi juga menjadi generasi yang unggul dari sisi profesionalitas, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar