Haji, Tidak Hanya Wajib Bagi Muslim, Wajib Juga Bagi Negara Menyiapkannya


Oleh : Zulfiqi Hikma (Muslimah Peduli Peradaban)

Sebagai seorang Muslim, menunaikan ibadah Haji merupakan sebuah kewajiban. Pelaksanaannya adalah salah satu bagian dari Rukun Iman. Namun, pergi Haji saat ini di negeri Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan jumlah Muslim terbanyak, tidaklah mudah. Permasalahannya di mulai dari antrian kuota Haji, biaya yang tidaklah murah, hingga tata laksana ibadah Haji yang setiap tahunnya selalu ada berita kurang menyenangkan. 

Memang benar Indonesia mendapatkan jumlah kuota Haji terbanyak, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Kuota Haji Indonesia sebesar 221.000 jamaah (https://haji.kemenag.go.id Selasa, 25 Februari 2025). Namun antrian dibeberapa provinsi di Indonesia, ada yang bahkan mencapai 40 tahun. Salah satu contohnya Kota Makassar, Sulawesi Selatan, masa tunggu Haji 41 tahun (https://www.detik.com Jumat, 11 April 2025). Padahal, dalam rangkaian pelaksanaan ibadah Haji, sangat menuntut kekuatan fisik. Penerbangan yang jauh, thawaf berkeliling ka’bah, sa’i, wukuf di Arafah, hingga jumrah, berdesakan dengan jutaan jamaah Haji dari seluruh dunia. Tahun ini bahkan jama’ah Haji dari Indonesia ada yang berusia 109 dan 107 tahun yaitu Nenek Sumbuk (https://lampung.nu.or.id Jumat, 16 Mei 2025) dan Mbah Sutiah (https://lampung.viva.co.id Kamis, 8 Mei 2025).

Salah satu penyebab antrian panjang ini adalah masalah administrasi. Persoalan administrasi ini dipengaruhi sistem sekuler kapitalis yang diemban oleh negara kita. Sistem ini memandang ibadah termasuk haji dari sudut pandang kuota, transaksi, dan manajemen teknokratis semata. Bukan sebagai kewajiban syariat yang menjadi tanggung jawab negara untuk dilaksanakan seoptimal mungkin bagi seluruh kaum Muslim.

Kapitalisme menyebabkan pelayanan ibadah haji terfragmentasi. Berdasarkan kepentingan politik dan ekonomi negara-negara bangsa (nation-state). Termasuk Indonesia dan Arab Saudi, yang keduanya menetapkan sistem sekuler. Dalam konteks ini, kuota haji dibatasi bahkan dipolitisasi. Sementara negara tidak benar-benar berperan sebagai pelayan umat dalam memenuhi hak setiap Muslim untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Akibatnya, umat Islam harus menunggu hingga puluhan tahun untuk berhaji. Banyak yang baru berangkat haji ketika kondisi fisiknya sudah tua dan melemah. Sedangkan haji adalah ibadah fisik yang membutuhkan kondisi fisik yang prima. 

Kapitalisme juga memberikan kesempatan bagi mereka yang punya modal untuk membayar lebih. Otomatis fasilitas yang didapatkan lebih salah satunya tanpa antrian lama. Sungguh inilah yang terjadi dalam sistem kapitalisme, siapa yang mampu membayar lebih, akan berangkat lebih awal. Selain berangkat lebih awal juga akan mendapatkan fasilitas penginapan yang aman selama di tanah suci. 

Kontras sekali dengan ibadah haji itu sendiri, dimana seluruh jama’ah laki-laki wajib menggunakan kain ihram. Tanpa membedakan status, warna kulit dan tentunya kekayaan. Menanggalkan semua pakaian kebesaran, aksesoris keduniaan, dan hanya menggunakan dua lembar kain. Bukankah itu berarti harusnya, penyelenggaraan ibadah inipun tidak selayaknya mengistimewakan sebagian jama’ah dari jama’ah lainnya. 

Negara seharusnya melihat kesiapan jama’ah, mendahulukan jama’ah yang sudah berusia lanjut. Bukan mendahulukan jama’ah yang beruang banyak. Bersikap adil kepada jama’ah, dengan tetap menyiapkan fasilitas terrbaik untuk melayani tamu-tamu Allah di musim Haji. Fasilitas yang nyaman, makanan yang cukup dan bergizi, hotel yang nyaman. Cukuplah Allah saja yang menguji hambaNya dalam proses penyelenggaraan ibadah Haji, tidak perlu negara turut menguji kesabaran dan keikhlasan para jama’ah. Seperti yang sebelumnya terjadi; makanan jama’ah sangat minim, bahkan terbengkalai, transportasi yang tidak tepat waktu, pengaturan arus jama’ah dan lain sebagainya.

Negara berkewajiban melayani rakyat, memfasilitasi, menjamin kemudahan pelaksanaan ibadah Haji. Selain tentu saja menjamin kehidupan rakyatnya dimana saja rakyatnya berada. Alangkah indahnya jika negara tak lagi terbatasi sekat diplomatik dan seluruh negara yang ada dunia ini menjadi satu aturan. Satu sistem yang menjamin kehidupan, yaitu sistem Islam. Bukan negara yang mencari keuntungan dari peribadatan rakyatnya. 

Memudahkan peribadatan ibadah haji, tidaklah memerlukan cara yang sulit. Bisa dengan cara negara mengelola aset-aset umat, seperti tanah, air, api, padang gembala dan sumber energi lainnya. Seluruh sumber daya ini dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Sumber daya ini tidak dikelola swasta, apalagi dikelola oleh orang-orang yang hendak memperkaya diri dan golongannya. Hasil pengelolaannya dikembalikan untuk rakyat, salah satunya untuk biaya haji yang murah untuk rakyat.


Sistem Islam Menjawab Persoalan Ibadah Haji

Jika negara mau mengambil aturan Islam dalam mengatur kehidupan baik dalam sistem ekonomi, pemerintah, politik, sosial. Maka seluruh umat manusia akan merasakan Rahmat dari Allah SWT. Sistem Islam akan menjamin setiap warga negaranya di seluruh aspek kehidupan, termasuk salah satunya pelaksanaan ibadah haji.

Solusi yang hakiki tidak akan ditemukan dalam sistem kapitalisme yang hanya memandang aspek teknis dan bisnis dari penyelenggaraan haji. Islam telah menetapkan bahwa ibadah haji adalah kewajiban individual (fardhu ‘ain) bagi setiap Muslim yang mampu. Negara dalam sistem Khilafah memiliki tanggung jawab penuh untuk memfasilitasi dan menjamin pelaksanaannya tanpa hambatan yang tidak syar’i, seperti kuota buatan. 

Dalam sistem Khilafah, seluruh negeri kaum Muslim disatukan dalam satu kepemimpinan global, sehingga tidak ada lagi pembagian kuota berdasarkan batas negara. Khilafah akan mengatur distribusi jamaah haji dengan sistem yang adil dan syar’i, sesuai kemampuan fisik, keuangan, dan kesiapan ruhiyah umat, tanpa harus menunggu puluhan tahun. Negara juga akan mengoptimalkan penggunaan aset milik umat, termasuk transportasi dan fasilitas pemondokan, demi memastikan pelayanan yang efisien dan tidak memberatkan. Inilah bentuk tanggung jawab negara Islam sebagai pelayan umat (ra'in) dan penjaga agama (junnah), yang tidak akan terjadi kecuali dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar