Sambutan Hangat untuk Pemimpin Islamophobia


Oleh : Elly Waluyo (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Perilaku buruk pelaku sistem kapitalisme adalah menjadikan kepentingan atau kebermafaatan sebagai landasan dalam menjalin hubungan. Hal ini berlaku pula dalam hubungan kenegaraan. Tanpa memandang apakah hubungan tersebut dapat menghinakan akidah warga negaranya yang mayoritas Islam, bahkan cenderung seperti menghamba pada negeri yang dengan jelas memusuhi Islam.

Sambutan hangat disertai ucapan selamat datang meluncur dengan mesra dari seorang pemimpin negara dengan mayoritas penduduknya berakidah Islam terhadap pemimpin negara kafir Prancis, Emmanuel Macron. Presiden yang selalu menelurkan kebijakan Islamophobia justru disambut dengan kehormatan besar dan disebut yang mulia. Prabowo Subiakto selaku presiden RI menjelaskan awal mula hubungan yang sudah 75 tahun terjalin dengan Perancis adalah atas dasar saling menghormati, kesamaan prinsip kedaulatan, kemerdekaan, menghormati hak-hak asasi manusia, dan demokrasi. 

Berkaca dari kondisi geopolitik internasional dengan geoekonomi yang penuh dengan ketidakastian, maka menurut Prabowo masih banyak potensi yang perlu dieksplorasi dan dikembangkan secara bersama-sama antaran Indonesia dan Perancis sebagai sumbangsih untuk menstabilkannya. (https://nasional.kompas.com : 28 Mei 2025)

Perancis merupakan salah satu negara dari sekian banyak negara yang memosisikan dirinya sebagai anti Islam meski tidak secara langsung. Hal ini sebagaimana terlihat melalui kebijakan-kebijakannya yang memang ditujukan untuk mempersempit umat Islam di negaranya dalam menjalankan syariat. 

Enes Bayrakli seorang profesor yang berbasis di Istanbul dari Universitas Turki-Jerman menyebutkan bahwa setiap tahun negara-negara Islamophobia tersebut selalu menelurkan kebijakan baru terkait umat Islam. Larangan menggunakan hijab atau burka, pelarangan masjid, pelarangan menara hingga dilembagakan dan dilegalkan adalah contoh kebijakannya. Alain Gabon pakar Islam dari Universitas George Town menyebut bahwa meski Prancis dalam kemimpinan Emmanuel Macron menjadi diskriminasi dan terjadi penolakan umat Islam yang makin parah hingga berujung pada penganiayaan, namun Macron hanyalah kepanjangan realisasi rencana dari Paus Urbanus II di tahun 1095 saat Perang Salib di abad pertengahan. 

Waktu itu terjadi penaklukkan kekaisaran, kolonisasi, dan misi peradaban rasis yang dilancarkan di negara-negara mayoritas penduduknya muslim. Dalih untuk memperkuat sistem sekuler di Prancis dan juga terciumnya gelagat separatisme serta komunitarisme melalui peristiwa pemenggalan kepala seorang guru bernama Samuel Paty oleh pengungsi muslim, yang mempertontonkan kartun Nabi Muhammad buatan Charlie Hebdo kepada murid-muridnya. Macron juga memperkenalkan kebijakan yang mengakibatkan puluhan masjid ditutup, pembubaran beberapa badan amal Muslim, Al Qur’an dikeluarkan dari masjid dan dibakar. (https://international.sindonews.com : 13 Maret 2025)

Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa tidak seharusnya pemimpin negara dengan mayoritas muslim memberikan sambutan hangat pada negara yang dengan gamblang menunjukkan ke-anti Islam-annya. Meski dengan dalih apa pun, nyatanya pemimpin negara kafir ini saat membuat kebijakan selalu memojokkan dan mendeskreditkan umat Islam, bahkan mengekang.

Emosi yang ditunjukkan seorang muslim saat agamanya dihina merupakan geliat keimanannya. Sayangnya, demi hegemoni seorang pemimpin yang didukung dengan sistem kapitalisme dalam negaranya, maka geliat keimanan untuk membela agama pun pupus. Keimanan tergerus oleh manfaat materi yang diperoleh. Hal yang umum terjadi apabila mengabdi pada pemimpin negeri kafir.

Jenis negara di dunia dalam Islam dibagi menjadi dua, yaitu darul Islam dan darul kufur. Islam telah menyediakan seperangkat tuntunan dalam menghadapi dan bersikap terhadap musuh Islam. Seorang pemimpin negeri Islam harus paham dan menjalankan tuntunan tersebut. Apalagi saat ini penguasa negeri-negeri kafir mendukung aksi penjajahan di Palestina. 

Oleh karenanya umat Islam haruslah memperjuangkan kembali tegaknya Khilafah untuk menjadi pelindung umat yang adidaya dan disegani. Khilafah memiliki pengaruh dalam pola atau struktur hubungan dalam sistem jaringan sosial dengan negara-negara di penjuru dunia.

Sikap tegas seorang khalifah dalam menghadapi negeri kafir yang memusuhi Islam adalah dengan menyerukan jihad. Bagi individu yang melakukan penistaan terhadap Islam adalah dengan sanksi takzir yang kadarnya ditentukan secara ijtihad oleh khalifah, seperti hukum mati, diasingkan, jilid, penjara, disalib, ganti rugi, boikot, melenyapkan harta, ancaman, mencabut maliyah, mengubah bentuk barang, celaan, nasihat, ancaman nyata, dan publikasi tindak kejahatannya di masyarakat. Bahkan ketika pelaku menyatakan dirinya sudah bertobat masih harus menerima hukuman jilid 80 kali.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar