Oleh: Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Di berbagai penjuru negeri, seperti tahun-tahun sebelumnya, 1 Muharram kembali diperingati dengan semarak; pawai obor, lomba anak-anak, hingga acara seremonial lainnya. Suasana tampak meriah. Namun di tengah riuh perayaan itu, satu pertanyaan penting muncul: sudahkah kita benar-benar memahami makna Muharram yang hakiki? Ataukah peringatan ini kembali berlalu, sebatas rutinitas tahunan tanpa jejak kesadaran yang dalam?
Tahun Baru Islam 1447 H telah tiba. Namun bukan dalam suasana gembira karena kemenangan, melainkan dalam kepungan duka umat. Genosida Palestina belum berakhir. Jutaan saudara kita mengungsi, terzalimi, terbunuh—sementara para pemimpin negeri-negeri Muslim justru sibuk berpose diplomatis dengan penjajah. Dunia kita tampak terbalik. Lalu kita bertanya: sampai kapan?
Mari kita tengok kembali Hijrah Rasulullah ﷺ. Itu bukan sekadar perjalanan dari Makkah ke Madinah. Ia adalah pergeseran dakwah dari fase tekanan menuju transformasi peradaban. Dari individu-individu shalih menjadi komunitas yang ditata oleh aturan Ilahi. Hijrah adalah titik balik, ketika Islam tak hanya hidup dalam hati, tapi juga mengatur kehidupan. Dari sinilah Daulah Islam berdiri—dan dari sinilah sejarah gemilang itu bermula.
Tapi lihatlah kita hari ini. Apakah kita masih “khaira ummah” seperti yang disebut Allah dalam Al-Qur’an (Ali Imran: 110)? Atau justru umat yang terpinggirkan, dilecehkan, dan tak mampu menentukan nasibnya sendiri?
Umat Islam kini seperti kapal besar tanpa nakhoda. Tercerai berai dalam batas negara buatan penjajah. Hidup di bawah sistem demokrasi yang mengabaikan hukum Allah. Mengadopsi kapitalisme yang membuat yang kaya makin rakus dan yang miskin makin frustrasi.
Bukti keterpurukan itu ada di mana-mana:
Di Suriah dan Yaman, anak-anak tumbuh dalam reruntuhan perang. Di Pakistan, rakyat menderita akibat utang dan ketergantungan pada IMF. Di Tunisia, Sudan, Mesir, umat terus berjuang di bawah bayang-bayang represi. Bahkan di Indonesia, yang katanya negeri Muslim terbesar di dunia, kita disuguhi maraknya seks bebas, korupsi elit, dan liberalisasi pendidikan yang kian menjauhkan Islam dari generasi muda.
Allah telah mengingatkan kita:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا
“Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit…” (QS Ṭāhā: 124)
Inilah yang sedang kita rasakan. Dunia yang sempit, hidup yang gelisah, meski teknologi canggih dan bangunan tinggi menjulang.
Maka jelas, kita tak bisa terus berharap pada tambalan-tambalan solusi. Kita butuh hijrah sistemik: berpindah dari sistem buatan manusia menuju sistem dari Sang Pencipta. Kita harus masuk ke dalam Islam secara kaffah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan...” (QS al-Baqarah: 208)
Solusinya bukan demokrasi, bukan nasionalisme. Tapi sistem Islam dalam naungan Khilafah. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai, umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Namun kebangkitan ini tidak akan terjadi jika umat terus pasif. Umat perlu disadarkan bahwa identitas mereka bukan hanya “rakyat” atau “publik”, tapi muslim yang memiliki misi peradaban. Maka dibutuhkan gerakan dakwah yang berani, terorganisasi, dan tidak pragmatis. Yang tak silau jabatan atau takut represi.
Refleksi 1 Muharram bukan hanya soal evaluasi, tapi momentum untuk menentukan arah kebangkitan umat yang hakiki. Kita bisa terus hanyut dalam sistem yang menyesatkan, atau bangkit mengikuti jejak Rasulullah ﷺ: berhijrah, bersatu, dan membangun kembali peradaban Islam yang sejati.
Dan hari ini, pertanyaannya hanya satu:
Akankah kita tetap menjadi penonton sejarah, atau ikut menuliskannya bersama dakwah yang membawa perubahan hakiki?
Wallahu'alam bishawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar