Oleh : Tiasa Anggraini (Pemerhati Remaja)
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan bahwa transaksi judi online atau judol telah dilakukan oleh anak-anak berusia sejak 10 tahun di Indonesia. Ini terungkap dalam laporan Program Mentoring Berbasis Risiko (Promensisko).
Kok bisa ya, anak usia 10 tahun terkena judol? Usia 10 Thn yang seharusnya main bola di lapangan, boneka, bermain peran, petak umpet, dan lain-lain malah terjerat judol. Namun, seiring perkembangan zaman teknologi pesat, anak lebih memili main gadget daripada main keluar bersama temannya. Miris banget ya Bun, hiks..hiks. Bocah tantrum saja langsung dikasih gadget. Ketergantungan hp mulai sejak dini, nyata ternyata.
Kemarin hari Jum'at, 31 Mei 2025. Saya dan teman-teman pergi berkemah di Bedengan, Jawa Timur. Suatu ketika kita bertiga makan di warung setelah itu pergi ke toilet untuk mengambil air wudhu. Tiba-tiba rintik gerimis mulai terdengar, akhirnya kami langsung bergegas ke tenda. Sampai di tenda, ternyata ada ibu-ibu berserta 2 anaknya yang sedang berteduh di tenda kami. "Mbak kita nunut sebentar ya, tenda kita masih belum terpasang," Izin ibu tersebut. Jawab teman saya, "Iya Bu, gak papa. Silahkan masuk dulu ke dalam, kasihan anaknya nanti kehujunan. Ibu juga masuk aja Bu !" Seru teman ku. Kami di dalam tenda bercengkrama saling memperkenalkan diri. MasyaAllah terlihat akrab sekali. Beberapa waktu kemudian, salah satu dari kedua anak tersebut merengek meminta hp kepada ibunya. Sang ibupun memberikan hp. Ternyata kedua anak tersebut memiliki hp masing-masing. Anak usia 2,5-5 tahun sudah dipegangi hp sendiri, waw sangat menakjubkan. Anak 5 tahun ini, ternyata sudah mendownload berbagai macam games. Saya hanya berfikir jika anak sudah diperkenalkan gedget maka akan mempengaruhi psikologisnya. Kembali kepada topik, saya hanya berfikir bagaimana kedemannya jika anak-anak sudah dikenalkan games atau mengotak-atik hp?. Apabila, dasarnya sudah terbentuk apakah dia akan mencoba games yang lainnya?
Contoh lain permainan mesin capit boneka atau mencapit apapun itu, termasuk dalam perjudian. Kok bisa? Sebab kitakan memasukan koin, jika kita tidak mendapatkan boneka kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Kita harus mencoba terus sampai kita mendapatkannya. Layaknya mengundi nasib, permainan ini jelas mengandung unsur perjudian. Rasa ingin tahu anak terhadap games, membuat anak-anak terperangkap kepada games slot/judol.
Fenomena judi online yang menyasar anak-anak bukan kebetulan. Kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, meski harus merusak generasi muda. Industri ini memanfaatkan celah psikologis dan visual untuk menarik anak-anak. Inilah wajah asli kapitalisme: rakus dan tidak mengenal batas moral.
Pemerintah tidak memiliki upaya serius dan sistematis dalam mencegah maupun mengatasi judi online. Pemutusan akses dilakukan setengah hati dan tebang pilih, sementara banyak situs tetap aktif. Ini membuktikan bahwa demokrasi kapitalisme tidak memiliki solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari kriminalitas.
Orang tua khususnya ibu punya peran sentral dalam membentengi anak dari kerusakan moral, termasuk jebakan judi online. Keluarga Muslim akan melahirkan anak-anak yang kuat secara akidah dan tidak mudah bermaksiat. Namun ini akan sulit jika orang tua sendiri terbebani ekonomi dan tak sempat mendidik anak.
Sistem pendidikan Islam tidak hanya fokus pada akademik, tapi juga membentuk pola pikir dan sikap sesuai ajaran Islam. Anak dididik untuk menjadikan halal-haram sebagai standar dalam berperilaku, termasuk literasi digital sesuai Batasan syariat.
Negara dalam Islam (Khilafah) bertugas menjaga rakyat dari segala bentuk kerusakan, termasuk judi online. Negara mampu menutup akses secara menyeluruh dan mencegah konten-konten merusak lainnya. Digitalisasi akan diarahkan untuk kemaslahatan rakyat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar