Oleh : Ratu Azmaira Khalisah
Indonesia, sebagai negara berkembang, kerap menghadapi tantangan dalam mengelola kemajuan ekonomi dan pemerintahan. Meski banyak janji pembangunan dan demokratisasi telah digelorakan, salah satu ancaman terbesar kini adalah fenomena state capture—di mana elit politik dan pengusaha besar berkolusi demi keuntungan bersama, mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya di St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025, menegaskan bahwa kolusi antara kapital besar dan elite politik tidak mendorong pengentasan kemiskinan atau perluasan kelas menengah, melainkan justru mempertahankan ketimpangan structural
State capture bukanlah penyimpangan, melainkan logis dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini: politik memerlukan dana besar, sehingga penguasa tergantung modal pengusaha untuk kontestasi. Sebaliknya, para pendukung modal menuntut kebijakan yang menguntungkan mereka. Terjadilah politik transaksional, kebijakan berpihak korporasi, dan penegakan hukum yang setengah hati.
Makalah ini bertujuan mengungkap fakta korupsi skala besar—khususnya kasus Wilmar Group—menggali cengkraman sistem demokrasi kapitalis terhadap pemerintahan, serta membuka solusi radikal dari sudut pandang sistem politik Islam (Khilafah).
Fakta Korupsi Korporasi Besar: Kasus Wilmar Group
Salah satu ilustrasi nyata state capture adalah penyidikan Kejaksaan Agung atas korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan Wilmar Group. Pada 17 Juni 2025, Kejagung menyita dana senilai Rp 11,8 triliun dari lima entitas anak Wilmar yang terbukti mendapatkan fasilitas ekspor illegal. Nilai ini mencakup aset curian negara, keuntungan ilegal, dan kerugian ekonomi, sesuai audit BPKP dan laporan akademis UGM.
Meskipun Kejagung berhasil menyita dana besar, perjalanan hukum ini memperlihatkan kendala serius: tiga korporasi sempat dibebaskan oleh PN Tipikor, dan Kejagung masih menempuh kasasi.
Proses hukum yang panjang dan sarat tekanan politik menunjukkan bahwa meski bukti kuat dimiliki, aparat penegak hukum masih menghadapi tahanan korporasi.
Kasus Wilmar bukan peristiwa tunggal. Lembaga seperti ICW mencatat ratusan kasus korupsi melibatkan pejabat dan pengusaha sepanjang 2023, mencerminkan sifat sistemik dan jaringan kolusif yang sudah mengakar dalam elit Indonesia.
Analisis Sistemik : Demokrasi Kapitalis dan State Capture
1. Politik Berbayar dan Transaksi Modal-Peñintah
Dalam demokrasi modern di Indonesia, kampanye politik menuntut dana masif. Politikus butuh modal dari pengusaha untuk iklan, mobilisasi pemilih, dan jaringan. Sebagai imbalan modal ini, pengusaha menuntut proyek, deregulasi, atau fasilitas ekonomi dari pemerintah—menimbulkan lingkaran setan antara politik dan modal.
2. Regulasi untuk Nurani Korporasi
Kolusi kapital-politik merasuki formulasi kebijakan. Regulasi ekspor CPO, misalnya, bisa dimanipulasi agar menguntungkan segelintir pemain besar seperti Wilmar. Kebocoran regulasi dalam sistem demokrasi pasar tidak diciptakan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk legitimasi keuntungan korporasi.
3. Penegakan Hukum yang Terkontrol
Meskipun Kejagung menyita triliunan, proses peradilan berjalan lambat, beberapa pihak dibebaskan, dan proses kasasi masih berlangsung. Hal ini menandakan bahwa hukum bisa dibelokkan, tergantung tekanan korporasi dan politik. Negara tidak tampil sebagai penjamin keadilan tapi alat legitimasi proses selektif.
4. Dampak Sosial Politik
Akar state capture menyuburkan ketimpangan kekayaan, kemiskinan stagnan, dan meredam munculnya kelas menengah yang progresif. Ketika aset negara dibelokkan demi keuntungan korporat, kesempatan rakyat kecil tetap terkikis.
Islam : Sistem Negara Anti-Kolusi dan Amanah
Berbeda dengan demokrasi kapitalis, Islam menawarkan tata negara yang menolak korupsi dan kolusi—yakni sistem Khilafah menurut syariat, berdasarkan akidah. Berikut beberapa prinsipnya:
1. Akidah sebagai Landasan Moral
Setiap individu di negara Islam bertindak di bawah sadar bahwa Allah Maha Mengawasi. Kesadaran akan pertanggungjawaban akhirat menimbulkan culture of fear terhadap penyimpangan, menjauhkan jabatan dari media korupsi.
2. Jabatan adalah Amanah, Bukan Kesempatan Berbisnis
Dalam Islam, jabatan adalah amanah besar. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam adalah pemelihara dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR Bukhari–Muslim).
Jabatan tidak boleh digunakan untuk memperkaya diri—melainkan untuk melayani rakyat.
3. Sistem Pengawasan dan Sanksi Tegas Syariah
Islam menetapkan sistem muqarrabah, di mana pejabat diperiksa sebelum dan selama menjabat. Harta tercatat dalam daftar publik. Praktek korupsi dikenakan hukuman syariah: pengembalian ganda, denda berat, cambuk, atau penjara. Tidak ada kebal hukum karena jabatan atau modal.
4. Sumber Pembiayaan Negara yang Shariah
Negara Islam tidak tergantung pada donasi korporat atau utang. Anggaran berasal dari zakat, kharaj, fai’, khumus, dan pajak yang syar’i. Dengan demikian tidak ada mekanisme kampanye politik berbayar yang menciptakan hubungan transaksi antara kapital dan penguasa.
5. Transparansi dan Akuntabilitas Lewat Syura
Semua kebijakan negara dibahas melalui syura (musyawarah) yang dihadiri para ulama dan cendekia. Kebijakan ekonomi dibuat berdasarkan maslahat umat, bukan benefisiari korporasi. Ini menutup akses elite untuk mengontrol jalannya regulasi.
Implementasi Sistem Islam : Meretas State Capture
Dalam perspektif Islam, mencegah kolusi kapital-politik memerlukan reformasi sistemik, bukan sekadar kebijakan antikorupsi. Jalan keluarnya antara lain:
1. Pemilihan Pemimpin Berdasarkan Integritas dan Takwa
Seleksi pemimpin melalui kriteria moral dan kompetensi—bukan dana kampanye—melalui pemilihan melalui syura.
2. Penganggaran Negara Lewat Baitul Mal
Pemerintah berjalan atas anggaran yang bersih, bukan pelayanan korporasi. Uang negara tidak digunakan untuk imbalan modal kampanye.
3. Hukum yang Menegakkan Integritas
Korupsi dianggap kriminal berat: uang wajib dikembalikan bahkan dikalikan. Bentuk dan jumlah hukuman jelas dalam syariat Islam.
4. Etika Bisnis Islami yang Terlindungi
Usaha diperbolehkan, namun tidak boleh mendikte kebijakan publik. Semua pelaku bisnis tunduk hukum yang sama dan tidak boleh membeli keputusan politik.
Kasus Wilmar dan pernyataan Prabowo tentang ancaman state capture menegaskan bahwa demokrasi kapitalis telah bersimbah kolusi yang melemahkan integritas negara. Hukum dikendali kapital, regulasi dipengaruhi uang, dan pemerintahan terjebak dalam transaksi modal-politik.
Islam menawarkan solusi total melalui penerapan syariat dalam sistem Khilafah. Dengan akidah yang membentuk moral, jabatan dijalankan sebagai amanah, hukum yang tegas melawan korupsi, dan anggaran negara yang bersih dari modal kampanye, negara Islam praktis menghilangkan celah bagi elit dan kapital untuk menguasai negara demi keuntungan sendiri.
Akhirnya, solusi soal korupsi dan state capture bukan hanya perkara penindakan—melainkan perubahan sistemik yang mendasar. Sistem Islam menyajikan blueprint terbaik sebagai alternatif bagi masa depan Indonesia yang bersih dan adil. Wallahu’alam bishshawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar