Oleh: Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi Muda)
Baru-baru ini publik diguncang oleh kasus yang ironis sekaligus tragis. Seorang remaja 18 tahun, baru saja lulus sekolah, tega menyebarkan konten asusila mantan pacarnya ke media sosial. Tak cukup sampai di situ, ia juga melakukan pengancaman secara digital. Alasannya? Sakit hati karena diputuskan.
Kasus ini tentu mencederai akal sehat publik. Tetapi, benarkah ini sekadar soal dendam asmara remaja? Ataukah ini adalah manifestasi dari kerusakan sistemik yang selama ini dibiarkan tumbuh dalam diam?
Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa remaja bisa sedemikian rusak akhlaknya? Dan ke mana negara selama ini?
Antara Moral Yang Rapuh dan Sistem Yang Lumpuh
Fakta bahwa seorang remaja telah melakukan hubungan asusila hingga mendokumentasikannya menunjukkan bahwa peristiwa ini bukan muncul dalam ruang kosong. Ia lahir dari pola hidup permisif yang terus-menerus ditanamkan: pacaran dibolehkan, seks pranikah dianggap urusan pribadi, dan media sosial dijadikan ruang pelampiasan.
Kita sedang panen generasi dengan mental ringkih, akhlak keropos, dan ketergantungan pada validasi digital. Bukan karena mereka bodoh, tetapi karena mereka tumbuh dalam ekosistem sosial yang gagal menjaga dan membimbing.
Sayangnya, negara hadir bukan sebagai pelindung akhlak, melainkan sebagai pengamat yang sibuk “memadamkan api” setelah rumah terbakar. Kasus demi kasus ditangani secara reaktif, sementara sistem yang melahirkan kerusakan moral dibiarkan terus berjalan.
Kapitalisme dan Warisan Liberalisasi Seksual
Realita hari ini tak bisa dilepaskan dari sistem kehidupan sekular liberal yang menempatkan kebebasan individu di atas segalanya. Liberalisasi seksual bukan sekadar tren sosial, ia adalah proyek ideologis yang dijalankan lewat pendidikan, media, dan budaya pop.
Lihat saja kurikulum pendidikan kita: pendidikan seks mulai diajarkan tanpa kerangka moral agama. Media massa dan digital memproduksi tontonan yang menggiring pada normalisasi pacaran, gaya hidup bebas, bahkan seks pranikah. Aplikasi kencan bebas dilegalkan. Lagu-lagu cinta berbalut nafsu merajalela. Semua ini bukan kebetulan, tetapi bagian dari sistem.
Kapitalisme melihat seksualitas sebagai komoditas. Maka tak heran, tubuh perempuan dijual dalam iklan, klikbait konten vulgar menjadi pundi-pundi uang, dan gaya hidup bebas dibingkai sebagai “kebebasan berekspresi”.
Dalam sistem ini, negara justru bersikap netral. Alih-alih membendung, negara justru menjadi regulator yang melegalkan liberalisasi itu atas nama HAM, toleransi, dan kebebasan.
Islam: Solusi Sistemik, Bukan Penambal Krisis
Di tengah kegagapan sistem hari ini, Islam menawarkan solusi yang preventif, komprehensif, dan manusiawi. Islam tak mengenal konsep pacaran. Hubungan laki-laki dan perempuan diatur dalam sistem pergaulan yang menjaga kehormatan dan mencegah fitnah. Islam tak sekadar melarang, tapi membentuk atmosfer sosial yang mencegah tumbuhnya kemaksiatan sejak dini.
Ketika zina terjadi, Islam menetapkan sanksi yang tegas dan adil, bukan untuk menyiksa, tetapi untuk menjaga masyarakat dari kerusakan lebih luas. Allah SWT berfirman : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali.” (QS. An-Nur: 2)
Adapun penyebaran konten asusila, termasuk tindakan mengumbar aurat dan menjatuhkan kehormatan, dihukumi berat karena dampaknya masif bagi masyarakat. Negara dalam Islam bertanggung jawab penuh dalam menutup semua celah ke arah maksiat: mulai dari pembinaan keluarga, penyaringan media, hingga penegakan hukum yang konsisten dan tidak tebang pilih.
Saatnya Negara Berpihak pada Generasi
Kasus NK dan ANP adalah alarm keras bahwa generasi kita sedang dalam krisis moral yang tak bisa diselesaikan dengan pendekatan tambal sulam. Kita butuh perubahan dari hulu. Butuh sistem yang berpihak pada kesucian, bukan kebebasan. Butuh negara yang menjaga, bukan hanya menghukum. Dan kita butuh keberanian untuk mengakui bahwa sistem saat ini gagal melindungi generasi.
Sudah saatnya negara mengambil sikap ideologis. Apakah akan terus membiarkan arus liberalisasi seksual menggilas generasi kita, atau mulai kembali pada sistem yang menjunjung tinggi kehormatan, moralitas, dan kemanusiaan sejati—sebagaimana ditawarkan Islam?
Karena jika negara terus bersikap netral dalam perang moral ini, maka bersiaplah menyaksikan lebih banyak "NK-NK baru" lahir dari reruntuhan nilai yang kita abaikan hari ini.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar