Oleh: Ari Sofiyanti
Beban masyarakat Indonesia untuk terus mengawal negara agar tidak menuju jurang kehancuran semakin hari semakin berat. Belum lama protes rakyat mengenai kasus pagar laut, kini rakyat harus turun tangan lagi pada kasus tambang nikel di Raja Ampat. Dukungan publik ini viral melalui tagar #SaveRajaAmpat usai aksi protes yang dilakukan oleh Green Peace dalam diskusi Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Jakarta.
Raja Ampat merupakan gugusan kepulauan yang indah di Papua Barat, Indonesia. Keindahannya digambarkan dengan julukan "Surga Terakhir di Bumi". Namun, keeksotisan kepulauan Raja Ampat kini tengah dijarah dan dirusak oleh pertambangan nikel, sehingga menyita perhatian publik. Masyarakat harus kembali prihatin dan menyuarakan penolakan aktivitas eksploitasi ini. Viralnya penolakan masyarakat terhadap aktivitas tambang akhirnya membuahkan hasil. Empat izin usaha pertambangan dicabut, sementara satu izin operasi PT. Gag Nikel masih berlaku dengan pengawasan ketat. Masyarakat pun bisa sedikit bernapas lega. Namun, mengapa kondisi ketidakadilan ini selalu berulang? Sampai kapan rakyat harus terus bersuara terlebih dahulu untuk menuntut hak dan keadilan, alih-alih dilindungi oleh pemerintah?
Potensi sumber daya alam Indonesia memang luar biasa. Ibarat makanan lezat, semua mata tertuju padanya ingin mencicipinya. Termasuk kandungan nikel yang banyak ditemukan di wilayah timur Indonesia. Di masa kemerdekaan dahulu, awal mula Kontrak Karya pertambangan nikel diberikan kepada PT. International Nickel Indonesia (INCO). Kemudian eksploitasi bertambah masif semenjak dorongan internasional dalam transisi kendaraan berenergi fosil menjadi berenergi listrik. Dari sini, nikel menjadi salah satu logam yang dubutuhkan untuk membuat kabel, listrik dan baterai pada produksi kendaraan listrik. Pemerintah pun berambisi menggenjot hilirisasi industri nikel yang memang potensinya besar di Indonesia. Lewat UU no. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, terbitlah ratusan izin usaha pertambangan. Tak hanya itu, Indonesia dan Tiongkok juga membuat perjanjian kerjasama untuk mendirikan kawasan industri nikel yang bernama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Eksploitasi nikel di Sulawesi ternyata belum cukup, maka bergeserlah ke tanah Papua. Sebelumnya ada lima perusahaan yang memiliki izin operasi pertambangan nikel di Raja Ampat.
Pertama, PT Kawei Sejahtera Mining di Pulau Kawei yang mengantongi perizinan pada 2013 hingga 2033 dengan luas wilayah tambang 5.922 hektare. Mengejutkannya, ada nama keluarga Aguan di balik perusahaan ini. Kedua, PT Gag Nikel di Pulau Gag yang mengantongi izin sejak 2017 hingga 2047 dengan luas wilayah tambang 13.136 hektare. Padahal luas Pulau Gag hanya 6.500 hektare, yang berarti 6.034,42 hektare adalah kawasan hutan lindung. Ketiga, PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran, perusahaan ini diberi izin pada 2024 hingga 2034 dengan luas wilayah tambah 1.173 hektare. Keempat PT Nurham di Pulau Waigeo. Perusahaan ini mengantongi izin tambang seluas 3 ribu hektare pada 2013 hingga 2033. Terakhir, PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Batangpele yang menguasai luas wilayah 2.193 hektare dan izin berlaku pada 2013 hingga 2033. (Tempo.co)
Pertanyaannya, dengan banyaknya izin usaha pertambangan oleh perusahaan dan masifnya pengerukan sumber daya alam nikel di Indonesia, sudahkah rakyat sejahtera? Salah satu saja temuan WALHI di Pesisir Lampia, Sulawesi Selatan, pendapatan nelayan di sana turun drastis sejak hadirnya tambang nikel. Biaya produksi nelayan semakin bertambah, sementara hasil tangkapan tidak bertambah. Ikan-ikan dan kepiting sulit didapat. Akhirnya masyarakat harus menjual aset yang mereka kumpulkan bertahun-tahun demi bertahan hidup. Alam tempat mereka mencari penghidupan telah rusak, kekayaan di dalam tanah tempat tinggal mereka dicuri di depan mata. Sementara mereka mendapat kemiskinan dan penderitaan.
Dari sini, kecacatan telah terlihat. Dan kecacatan ini sesungguhnya lahir dari sistem sekulerisme kapitalisme. Kekayaan alam dikeruk demi memuaskan ambisi para kapitalis. Mereka adalah oligarki pemilik modal. Sudah tabiatnya jika sebuah perusahaan di sistem kapitalisme menjalankan bisnis, pasti berorientasi pada keuntungan. Tidak peduli apakah itu akan merugikan masyarakat atau merusak lingkungan. Di samping itu para oligarki dapat mengendalikan sistem politik dengan uang sehingga dengan leluasa mereka dapat melanggar undang-undang tanpa takut terjerat hukum, bahkan mereka bekerja sama dengan pemerintahan untuk mengubah undang-undang sesuai kepentingan mereka. Fakta yang nyata adalah apa yang terjadi pada kasus Raja Ampat yang mana perusahaan-perusahaan tetap diberi izin meski melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang melarang pertambangan di pulau-pulau kecil. Apalagi kapitalisasi SDA semakin menjadi-jadi semenjak disahkannya UU Minerba yang membuka lebar karpet merah bagi pengusaha tambang.
Inilah karakteristik sistem kapitalisme. Sistem ini melanggengkan kekuasaan kapitalis dengan jalan demokrasi, yaitu ketika hukum dan undang-undang adalah produk pikiran manusia yang bisa diciptakan sesuai keinginan pihak-pihak yang berkuasa. Sedangkan pihak yang berkuasa itu adalah oligarki. Sistem kapitalisme juga melahirkan manusia yang bermindset konsumerisme, bahkan menciptakan kondisi atau mungkin rekayasa yang mendorong manusia berperilaku konsumerisme sehingga selalu merasa tidak cukup. Itu juga yang memunculkan sifat rakus dan tamak pada para kapitalis. Demi memuaskan ketamakan mereka dan sifat konsumerisme manusia, alam atau rakyat yang lemah pun dikorbankan.
Kerusakan yang ditimbulkan sistem kapitalisme telah nyata. Untuk menghentikan kerusakan dan penderitaan ini, satu-satunya harapan hanya pada penerapan sistem Islam secara menyeluruh. Islam tidak menggunakan demokrasi untuk memproduksi hukum karena yang menetapkan hukum adalah Pencipta Alam Semesta, Allah Swt. Di dalam Al-Quran dan Sunnah telah jelas aturan mengenai pengelolaan sumber daya alam.
Sabda Rasulullah saw.: "Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api." (HR Ibnu Majah).
Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hammal yang pernah meminta sebuah tambang garam kepada Rasul saw. Rasul saw. lalu menyetujui permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Hadist ini menegaskan bahwa pemilik SDA itu adalah umat. Bukan negara atau oligarki. Kemudian pengelolaan tambang-tambang yang jumlahnya besar adalah tanggung jawab negara, yang mana hasilnya dikembalikan kepada kemaslahatan umat. Di sini hukum yang telah disyariatkan Allah tidak bisa diubah oleh tangan manusia. Sehingga menutup kemungkinan kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha.
Mekanisme sistem Islam yang sempurna akan melahirkan generasi pemimpin yang bertakwa, amanah dan qonaah. Islam tidak pernah memberikan konsep hidup materialistik dan konsumerisme, justru mekanisme sistem Islam mendorong manusia memiliki sikap qonaah atau merasa cukup akan kebutuhannya. Keimanan kaum muslim yang senantiasa dipupuk dalam sistem Islam mewujudkan sikap peduli terhadap alam. Inilah yang akan menjadikan pemanfaatan kekayaan alam untuk membangun peradaban berjalan tanpa kerusakan dan keseimbangan ekosistem alam tetap terpelihara.
Wallahu a'lam bishowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar