Berani Bersyariah, Lawan Hoaks Sejak Dini!


Oleh: Yuni Indawati

Lomba pidato ala Bung Karno yang digelar di Wantilan DPRD Bali bukan sekadar kegiatan seremonial tahunan. Di balik kemeriahan dan ekspresi retoris para peserta, tersembunyi agenda strategis yakni membangun kesadaran politik dan literasi informasi di kalangan generasi muda. Tema yang diangkat, “Gotong Royong Melawan Hoaks dan Opini Negatif di Era Digital,” sangat relevan dengan tantangan zaman. Gen Z hari ini adalah pengguna aktif internet, sekaligus korban paling rentan terhadap arus informasi yang menyesatkan.

Dalam pandangan Islam, perang melawan hoaks bukan hanya soal etika digital, tetapi juga bagian dari perintah syariat. Hoaks atau dalam istilah syar’i disebut kidzib (kebohongan) adalah maksiat yang bisa menghancurkan tatanan sosial dan kepercayaan antar manusia. Rasulullah ï·º bersabda, “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebohongan membawa kepada kefajiran…” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka dari itu, menolak dan memerangi hoaks adalah kewajiban setiap Muslim, khususnya generasi muda yang hidup di era informasi.

Pemuda Islam seharusnya tampil sebagai garda depan dalam menegakkan kejujuran di tengah banjir disinformasi. Semangat berani bersuara dan kritis terhadap manipulasi informasi perlu didasari bukan sekadar nasionalisme, tetapi juga keimanan. Mengoreksi narasi yang menyesatkan dan menyampaikan kebenaran merupakan bentuk amar makruf nahi mungkar yang diperintahkan Allah SWT dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran: 104).

Adalah langkah cerdas ketika ruang-ruang publik seperti gedung DPRD dibuka untuk ekspresi politik anak muda. Namun lebih dari itu, Islam mendorong agar ruang publik benar-benar menjadi arena perjuangan ide-ide kebaikan dan kebenaran, bukan hanya panggung politik elit yang penuh kepentingan duniawi. Dalam sejarah Islam, masjid dan majelis ilmu menjadi pusat pencerahan publik yang jauh dari kepalsuan dan manipulasi.

Maka, penting untuk menanamkan dalam benak generasi muda Muslim bahwa melawan hoaks bukan hanya urusan logika dan literasi digital, tapi juga bagian dari jihad lisan. Kita tidak cukup hanya melatih anak muda berpidato ala Bung Karno, tetapi juga membekali mereka dengan pemahaman Islam yang kokoh agar setiap kata yang diucap bernilai amal shalih, bukan sebatas retorika.

Akhirnya, lomba pidato seperti ini sebaiknya tidak berhenti pada euforia kompetisi. Ia harus menjadi pintu masuk bagi pembinaan generasi yang bukan hanya kritis, tapi juga ideologis. Mereka harus berani bersuara karena yakin bahwa Islam mewajibkan kejujuran, melarang dusta, dan mendorong amar makruf nahi mungkar sebagai fondasi perubahan hakiki.

Allahua'lam bishawwab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar