Penambangan Nikel di Raja Ampat, Pengelolaan SDA Harus Sesuai Syariat


Oleh : Silvy Anggra

Pelanggaran Hukum Nikel Raja Ampat

Pemerintah mencabut izin usaha empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, dilansir dari tirto.id. Nama perusahaannya adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham. Alasan dicabutnya IUP karena perusahaan-perusahaan ini melanggar aturan. Ada yang tidak punya izin lingkungan (Amdal), tidak menyerahkan rencana kerja (RKAB), dan bahkan ada yang tidak punya izin tambang sama sekali. Ini ditemukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup setelah mereka memeriksa langsung ke lokasi.

Karena aktivitas tambang itu, menjadikan lingkungan di Raja Ampat jadi rusak. Di Pulau Kawe, hutan dibuka tanpa izin. Di Pulau Manuran, kegiatan tambang dilakukan tanpa pengelolaan limbah. Akibatnya, laut jadi tercemar dan ekosistem jadi terganggu. Ini sangat disayangkan karena Raja Ampat dikenal sebagai tempat wisata dan tempat tinggal banyak makhluk laut (BBC Indonesia).

Sebagaimana diberitakan oleh metrotvnews.com, undang-undang didalam pertambangan, tambang tidak boleh dilakukan di pulau kecil seperti Raja Ampat. Jika tetap dilakukan, bisa dihukum penjara sampai 10 tahun. Jika ada suap dalam proses izinnya, bisa juga masuk kasus korupsi.

Polisi dan pemerintah sedang menyelidiki kasus ini. Mereka ingin tahu apakah ada kejahatan lingkungan atau korupsi. Walaupun izinnya sudah dicabut, perusahaan tetap harus memperbaiki kerusakan alam yang mereka sebabkan. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa pemerintah akan mengecek langsung ke lokasi tambang. Salah satu perusahaan, yaitu PT Gag Nikel, tidak dicabut izinnya karena dokumennya masih lengkap. Akan tetapi, kegiatan mereka tetap akan diawasi. Jika ada pelanggaran, bisa saja izinnya ikut dicabut.

Warga Raja Ampat dan aktivis lingkungan tidak setuju dengan tambang nikel. Mereka mengatakan bahwa tambang hanya merusak alam dan tidak memberi manfaat untuk warga. Warga lebih senang menjaga laut dan hutan, karena mereka bisa hidup dari hasil laut, kebun, dan wisata. Langkah pemerintah mencabut izin ini dianggap bagus. Warga mengharapkan jika upaya yang dilakukan oleh pemerintah bisa berjalan lancar dan bersifat selamanya.


Kapitalisme Alat Penghisap Kekayaan Alam

Secara hukum, kegiatan tambang di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat sebenarnya dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Akan tetapi, pelanggaran tetap terjadi. Di sinilah terlihat lemahnya penegakan hukum dan adanya celah dalam sistem perizinan tambang. Bahkan, pengusaha-pengusaha besar dapat dengan mudah memperoleh izin, meski kawasan tersebut tergolong dilindungi. Hal demikian membuka sebuah tabir opini bahwa adanya praktik korupsi atau kolusi antara pengusaha dan pejabat perizinan. 

Lebih jauh, fenomena ini menunjukkan wajah asli dari sistem ekonomi yang kita anut yaitu kapitalisme. Dalam sistem ini, alam dan masyarakat lokal tidak dianggap sebagai subjek yang perlu dijaga, melainkan objek yang dapat dieksploitasi demi keuntungan. Kapitalisme ekstraktif adalah model pembangunan yang hanya mengejar akumulasi modal tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial. Laporan dari Global Witness (2024) menyebut bahwa industri tambang di Indonesia kerap mengabaikan hak masyarakat adat, menghancurkan ekosistem penting, dan menyuburkan praktik rent-seeking di sektor sumber daya alam.

Jurnal internasional Environmental Sociology juga menjelaskan bahwa kapitalisme lingkungan menciptakan “green sacrifice zones” yaitu wilayah-wilayah kaya sumber daya yang ‘dikorbankan’ demi kebutuhan industri global, seperti baterai mobil listrik, yang bahan bakunya adalah nikel. Raja Ampat, dalam hal ini, menjadi korban dari sistem tersebut. Aktivitas tambang yang merusak lingkungan tetap dijalankan, bahkan di kawasan konservasi sekalipun, menunjukkan betapa korporasi dapat mengalahkan hukum dan suara masyarakat.

Pemerintah memang telah mencabut beberapa izin tambang, tetapi langkah ini dinilai terlalu terlambat dan lebih merupakan respons terhadap tekanan publik daripada tindakan preventif. Bahkan, PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi karena memiliki dokumen lengkap, meski berada di pulau yang sensitif secara ekologis (BBC Indonesia). Ini menunjukkan inkonsistensi dan ambiguitas dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam.

Kasus Raja Ampat harus menjadi alarm bahwa kerusakan alam bukan hanya soal kurangnya pengawasan, tetapi juga akibat dari sistem ekonomi yang menempatkan keuntungan di atas keselamatan lingkungan dan keadilan sosial. Tanpa perubahan sistemik dalam tata kelola sumber daya, kejadian serupa akan terus berulang di tempat lain. Dibutuhkan sistem yang berorientasi pada keadilan ekologis, keberlanjutan, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dan izin usaha harus diawasi secara transparan.


Islam Rahmatan lil ‘Alamin

Dalam Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar atau sangat dibutuhkan masyarakat seperti nikel, emas, minyak, gas, dan batu bara termasuk harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Artinya, tambang seperti ini tidak boleh dimiliki oleh perorangan, perusahaan swasta, apalagi oleh pihak asing. Kekayaan alam seperti itu adalah milik seluruh rakyat. Negara hanya boleh mengelola, tetapi tidak boleh memilikinya secara mutlak.

Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dikisahkan bahwa: "Sungguh Abyadh bin Hammal pernah datang kepada Rasulullah lalu meminta kepada beliau konsesi atas tambang garam. Rasulullah memberikan konsesi itu kepadanya. Namun, setelah Abyadh pergi, seseorang dari majelis berkata, 'Tahukah engkau (wahai Rasulullah) apa yang engkau berikan kepadanya? Engkau telah memberinya harta yang (jumlahnya) seperti air yang mengalir.' Maka Rasulullah langsung menarik kembali pemberian konsesi tersebut dari Abyadh." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Hadis diatas berbicara tentang tambang garam, tetapi para ulama ushul fiqih menjelaskan bahwa hukumnya berlaku untuk semua jenis tambang yang jumlahnya berlimpah dan dibutuhkan banyak orang. Ini sesuai dengan kaidah ushul:
"العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ، لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ"
“Yang menjadi patokan hukum adalah keumuman lafaz (nas), bukan karena sebab tertentu.” (Fakhruddin Ar-Razi, Al-Mahshûl fî Ushûl al-Fiqh, 3/125)

Selain itu, didalam Islam dikenal adanya hima. Hima adalah wilayah yang ditetapkan oleh negara untuk dilindungi demi kepentingan umum. Wilayah ini bisa berupa hutan, padang rumput, air, atau sumber daya alam lain yang penting bagi kehidupan masyarakat. Tujuan hima adalah menjaga kelestarian alam, mencegah eksploitasi berlebihan, dan memastikan semua orang dapat mengambil manfaatnya secara adil. Rasulullah bersabda: “Tidak ada hima kecuali milik Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Ini menunjukkan bahwa hanya negara yang berwenang menetapkan kawasan hima, bukan individu atau kelompok. Contoh penerapannya adalah saat Rasulullah menetapkan Hima As-Surfa untuk penggembalaan ternak kaum fakir. 

Jadi, menurut Islam, kekayaan alam seperti tambang nikel di Raja Ampat, yang jelas menguasai hajat hidup orang banyak dan jumlahnya besar, haram dimiliki oleh swasta atau asing. Negara pun tidak boleh memperjualbelikannya, apalagi memberikan izin kepada pihak luar untuk menguasainya. Negara hanya mengelola, dan seluruh hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, misalnya untuk pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, dan fasilitas umum lainnya. Dan semua ini hanya bisa dijalankan jika terdapat system shahih yang menopangnya yaitu islam, yang diaturnya dalam syariat dan diterapkan oleh Daulah (Negara) Islamiyah. Wallahu’alam bi asshowab 






Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar