Oleh: Noura
Kalimantan Timur menatap 2030 dengan sebuah visi besar yang disusun rapi di atas kertas kebijakan: “KALTIM Sukses Menuju Generasi Emas”. Impian ini terdengar manis—siapa yang tak ingin daerahnya melahirkan generasi unggul, berdaya saing tinggi, sehat jasmani dan rohani, serta berkarakter kuat? Namun, sebagaimana mimpi besar lainnya, pertanyaan penting harus diajukan: apakah langkah yang ditempuh benar-benar sejalan dengan arah yang ingin dituju?
Salah satu langkah yang diambil adalah pelatihan bina mental dan fisik bagi pengurus OSIS kelas XI di Kota Balikpapan. Pelatihan ini berlangsung tiga hari penuh, 21 hingga 23 Mei 2025, di Depo Pendidikan dan Kejuruan Rindam VI/Mulawarman. Di sana, para siswa digembleng dengan berbagai materi yang dirancang untuk membentuk daya tahan mental, pengelolaan emosi, kepemimpinan, hingga pola pikir positif—semuanya diberikan oleh pihak Kodam VI/Mulawarman. Kegiatan ini diklaim sebagai bagian dari misi pembangunan karakter dalam rangka mencetak “agent of change” yang kelak akan membawa semangat perubahan di daerahnya masing-masing.
Namun di balik gegap gempita jargon ini, kita perlu berhenti sejenak untuk berpikir lebih dalam, apakah cukup membentuk generasi emas dengan pelatihan singkat yang hanya menyentuh aspek lahiriah dan psikis, namun abai terhadap kebutuhan spiritual dan ideologis peserta didik?
Retorika Besar ala Sistem Kapitalisme
Tidak sedikit agenda pembangunan sumber daya manusia di negeri ini yang terjebak dalam kemasan slogan, namun kehilangan substansi. Kita berbicara tentang revolusi mental, karakter unggul, generasi tangguh. Tapi dalam praktiknya, banyak program yang justru dangkal dan seremonial. Kita sibuk mendisiplinkan, tapi lupa menanamkan makna. Kita mendorong untuk berpikir maju, tapi tak memberi arah berpikir. Kita mendidik agar kuat, tapi membiarkan peserta didik kehilangan tujuan hidup.
Padahal, generasi muda hari ini sedang menghadapi tantangan yang tidak ringan. Arus informasi yang tak terbendung, budaya populer yang meracuni cara pandang, serta sistem pendidikan yang semakin liberal, semua itu membentuk mentalitas generasi yang mudah rapuh, cenderung apatis, dan kehilangan jati diri. Gangguan kesehatan mental meningkat, pornografi mudah diakses, bahkan fenomena self-diagnosis hingga penyimpangan perilaku pun makin merebak.
Lalu, di tengah realitas seperti ini, bisakah kita berharap pelatihan fisik dan mental yang berlangsung tiga hari dapat menjawab persoalan sedalam itu?
Pendidikan Karakter Tanpa Ruh
Sudah terlalu sering kita memaknai “pendidikan karakter” sebatas etika umum: sopan, jujur, disiplin, dan tangguh. Kita bicara tentang nilai-nilai universal, tapi enggan menyentuh akar ideologisnya. Seolah membentuk karakter cukup dengan latihan fisik, kerja kelompok, dan ceramah motivasi. Padahal karakter sejati tumbuh dari dasar pemahaman hidup: siapa aku, untuk apa aku hidup, dan ke mana aku akan kembali.
Sayangnya, dalam sistem sekuler hari ini, pendidikan cenderung menjauhkan anak didik dari nilai-nilai Islam yang hakiki. Agama diposisikan hanya sebagai pengetahuan kognitif, bukan sebagai asas berpikir dan pengarah perilaku. Pendidikan Islam dijalankan sekadarnya, bahkan tak jarang yang phobia terhadap ajaran syariat secara kaffah. Maka jangan heran jika pelajar terlihat “baik” di depan, tapi goyah ketika ujian hidup datang. Mereka didorong untuk percaya diri, tapi tak tahu kepada siapa harus bergantung. Mereka diajarkan kepemimpinan, tapi tak mengenal ketaatan kepada hukum Allah.
Inilah lubang besar dalam sistem pendidikan kita hari ini: karakter tanpa ruh, kepribadian tanpa landasan akidah.
Sistem Emas, Bukan Pelatihan Kilat
Jika kita benar-benar ingin membentuk generasi emas, maka tak cukup dengan pelatihan-pelatihan sesaat. Yang dibutuhkan adalah sistem emas—sebuah sistem kehidupan dan pendidikan yang menyeluruh, berasaskan pada akidah Islam. Karena hanya sistem seperti itulah yang mampu menjawab kebutuhan manusia secara utuh baik fisik, akal, dan ruh.
Islam sejak dahulu telah membuktikan dirinya mampu mencetak generasi berkualitas tinggi. Dalam sejarah peradaban Islam, kita mengenal sosok-sosok luar biasa, Ali bin Abi Thalib yang cerdas sejak muda, Usamah bin Zaid yang memimpin pasukan besar di usia 17 tahun, Muhammad Al-Fatih yang menaklukkan Konstantinopel di usia 21 tahun. Mereka adalah produk sistem pendidikan Islam yang menyatu antara ilmu dan iman, antara akal dan akhlak, antara strategi dan syariat.
Mereka tak dibentuk lewat pelatihan militer tiga hari, tapi lewat kurikulum yang menanamkan akidah Islam sejak dini, mengajarkan mereka berpikir sistemik berdasarkan wahyu, dan membekali mereka dengan visi hidup sebagai hamba Allah sekaligus pemimpin umat.
Saatnya Jadi Agent of Change yang Sejati
Maka jika pemerintah daerah, institusi pendidikan, dan seluruh elemen masyarakat sungguh ingin melahirkan generasi emas, jangan hanya berhenti pada agenda pelatihan karakter dalam sistem sekuler. Arahkan upaya pembentukan karakter pada landasan akidah Islam. Jangan memusuhi syariat, jangan asingkan Islam dari ruang publik pendidikan. Justru dari situlah akan lahir para pemimpin tangguh yang tak hanya berani di lapangan, tapi juga kuat memimpin perubahan peradaban.
Kini saatnya para pelajar, guru, tokoh masyarakat, bahkan para pengambil kebijakan menyadari bahwa perubahan besar tak bisa dihasilkan dari sistem yang kecil. Bahwa cita-cita emas tak bisa dicapai dengan metode tambal sulam. Generasi emas hanya bisa lahir dari sistem emas, sistem Islam yang menyatukan akal, iman, dan amal dalam satu kesatuan yang utuh.
Wallahu'alam bishawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar