Rasa Kemanusiaan Telah Mati. Lalu Bagaimana Solusi Hakiki Dari Genosida Ini?


Oleh : Annisa (Penulis dan Aktivis Dakwah Muslimah)

Sabtu, 14 Juni 2025—langit Gaza kembali diselimuti duka. Ribuan warga Palestina yang kelaparan tetap mendatangi lokasi distribusi bantuan, meski telah ditutup. Mereka datang bukan karena tak tahu bahaya, tapi karena tak punya pilihan. Harapan akan sepotong roti justru dibalas dengan peluru dan ledakan. Sejak operasi penyaluran bantuan GHF dimulai bulan lalu, lebih dari 274 orang tewas dan 2.000 lainnya terluka.
 
GHF (Gaza Humanitarian Foundation) merupakan lembaga bantuan yang dikendalikan Amerika Serikat dan Israel, menjanjikan pertolongan, tapi yang terjadi justru sebaliknya—jalur bantuan menjadi ladang pembantaian. Wartawan Al-Jazeera, Hind Khoundary, melaporkan bahwa zona-zona kemanusiaan di Gaza Selatan terus-menerus diserang. Bahkan menteri keamanan Israel, Itamar Ben-Gvir, dengan terang menyatakan bahwa selama para sandera belum dibebaskan, “musuh” tak boleh menerima makanan, listrik, atau bantuan apa pun.
 
Itulah kenyataan memilukan yang membuat dunia mulai bersuara. Kekejaman itu tak lagi tersembunyi di balik tembok propaganda. 
 
Pada Minggu, 15 Juni 2025, lebih dari 150.000 orang di Den Haag, Belanda, turun ke jalan. Mereka mengenakan pakaian merah, membentuk simbol “garis merah” sebagai tanda bahwa kekejaman ini sudah melewati batas. Bukan hanya sekadar unjuk rasa—ini adalah jeritan dari hati manusia yang masih peduli.
             
Dari Swedia hingga Mesir, ribuan aktivis internasional menunjukkan solidaritas untuk Palestina. Greta Thunberg dan timnya dari Swedia ditangkap saat mengirim bantuan lewat kapal The Medleen. . Di Tunisia, 1.500 aktivis dari Afrika Utara melakukan konvoi darat Soumoud yang berarti keteguhan, menuju Gaza. Sementara di Mesir, 2.500 aktivis dari 50 negara, termasuk Indonesia, menempuh 50 km dalam Global March to Gaza sebagai wujud kepedulian atas penderitaan rakyat Palestina.
         
Sementara rakyat mereka menangis untuk Palestina, para pemimpinnya sibuk menjalin persahabatan dengan musuh: Amerika Serikat, dalang utama penjajahan ini. Penguasa-penguasa Arab bahkan menandatangani Abraham Accord—sebuah perjanjian yang dengan terang-terangan mengakui kedaulatan Zionis Israel atas tanah yang mereka rampas. 
 
Apa yang membuat mereka begitu beku? Takut kehilangan kekuasaan? Atau memang nurani mereka telah mati? Ironisnya, justru orang-orang non Muslim, yang berbeda aqidah sekalipun, berani bersuara, berani bertindak. Mereka tak rela melihat satu bangsa dihancurkan atas nama kekuasaan. Mereka bergerak, sementara para pemimpin Muslim hanya berunding, tersenyum di balik meja diplomasi, dan membiarkan rakyat Palestina sekarat.
             
Saat dunia berteriak, mereka memilih diam. Saat rakyatnya bergerak, mereka justru menghalangi. Dan saat Palestina menangis, mereka berpaling. 
 
Lebih menyakitkan lagi tak ada satu pun dari mereka yang berani mengangkat senjata. Tak satu pun berani menurunkan tentaranya untuk membela rakyat Palestina yang dizalimi. Yang mereka lakukan hanyalah retorika kosong: kutukan yang tak berdampak, kecaman yang tak menolong. 
 
Padahal, Islam telah menjelaskan dengan terang: jika seorang Muslim diserang, maka membelanya adalah kewajiban. Hukumnya fardhu 'ain bagi mereka yang diserang dan fardhu kifayah bagi seluruh umat Islam di luar wilayah tersebut. Membiarkan penjajahan ini berlangsung berarti membiarkan saudara seiman disiksa, dibunuh, dan dilucuti kehormatannya setiap hari.
 
Lalu di mana seruan jihad itu? Bukankah ini perintah Allah? Bukankah Allah telah berfirman, “Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu sesuatu yang kalian benci.” (QS Al-Baqarah [2]: 216).

Dan bukankah Rasulullah ï·º telah bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya dizalimi.” (HR Muslim)?
 
Jihad bukan sekadar seruan emosional. Ia adalah hukum syariat. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah menjelaskan bahwa jihad adalah kewajiban mutlak bagi umat Islam untuk menghapuskan penjajahan dan membela kaum Muslimin.
 
Namun jihad memerlukan kesiapan militer, persenjataan, dan komando yang terpusat. Dan itu hanya mungkin terwujud dalam sistem pemerintahan Islam yang sejati: khilafah. Tanpa khilafah, umat Islam terpecah dalam negara-negara kecil bernama nation state yang lemah dan terikat kepentingan politik global seperti hari ini. Sistem ini membuat mereka lebih takut pada tekanan diplomatik daripada kepada azab Allah. Mereka tidak akan pernah menyerukan jihad, karena mereka tidak berdiri atas dasar akidah.
 
Sesungguhnya, membela Palestina bukan hanya persoalan kemanusiaan—tetapi panggilan iman. Allah Ta’ala telah menyatukan kita dalam ikatan aqidah: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS Al-Hujurat [49]: 10). Maka ketika Palestina diserang, itu bukan hanya luka mereka. Itu luka kita semua—luka umat Islam.
 
Palestina tidak butuh belas kasihan, mereka butuh pembelaan. Dan satu-satunya cara untuk benar-benar membebaskan mereka adalah dengan jihad yang dipimpin oleh pemimpin sejati umat—yang hanya akan lahir dalam naungan khilafah.
 
Oleh karena itu, sudah saatnya umat ini bangkit—bukan sekadar marah, bukan sekadar mengutuk, tapi benar-benar berjuang untuk menegakkan khilafah. Sebab selama umat masih terjebak dalam sistem kufur seperti kapitalisme dan sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, maka penjajahan akan terus berlangsung, dan darah kaum Muslimin akan terus ditumpahkan tanpa pembelaan.
 
Khilafah tidak akan tegak dengan sendirinya. Ia membutuhkan perjuangan, konsistensi, dan kesabaran. Diperlukan sebuah jamaah dakwah ideologis yang teguh menyuarakan perubahan ini, yang terus-menerus menyeru umat kepada Islam yang kaffah. Sebagaimana firman Allah Taala dalam QS Ali Imran ayat 104: "Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung."
 
Jamaah ini hadir untuk menyadarkan umat bahwa tidak ada solusi hakiki atas penjajahan, kehinaan, dan penderitaan kaum Muslimin kecuali dengan kembali pada Islam secara total. Mereka menyeru umat agar membuka mata, membuang sistem rusak warisan kolonial, dan menggantikannya dengan sistem Islam di bawah naungan khilafah.
 
Kini tinggal bagaimana umat menyambut seruan ini. Umat Islam di seluruh dunia, termasuk kita, harus menjawab panggilan ini dengan penuh kesadaran dan iman. Bersama jamaah dakwah Islam ideologis, kita berjuang menjemput janji pertolongan Allah Taala. Sebab pertolongan itu pasti datang—bagi mereka yang yakin dan terus berjuang.
 
"Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS Al-Baqarah [2]: 214)

[Wallahualam.]





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar