Skandal Halal Palsu, Gagalnya Sistem Sekuler


Oleh : Lisa Izzate

Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan temuan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait sembilan produk pangan olahan yang terbukti mengandung unsur babi. Ironisnya, tujuh di antaranya telah bersertifikat halal. Fakta ini berdasarkan hasil uji laboratorium menggunakan parameter DNA dan/atau peptida porcine. Meski telah diberi sanksi berupa penarikan produk dari peredaran, kasus ini menguak sesuatu yang jauh lebih serius: bobroknya sistem yang seharusnya menjamin kehalalan konsumsi masyarakat Muslim di negeri ini.

Masalah ini bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi mencerminkan cacat struktural dari sistem kapitalisme-sekuler yang dianut Indonesia saat ini. Sistem ini memisahkan nilai-nilai agama dari urusan ekonomi dan pemerintahan, sehingga halal-haram dianggap urusan pribadi, bukan tanggung jawab negara. Akibatnya, regulasi, pengawasan, dan sertifikasi hanya dijalankan secara administratif dan profit-oriented, bukan sebagai manifestasi ketundukan kepada hukum Allah. Dalam sistem seperti ini, label halal bisa dijadikan komoditas bisnis, bukan jaminan syar’i.

Padahal, Islam telah menegaskan secara eksplisit keharaman mengonsumsi babi, khamr, dan makanan najis lainnya. Konsumsi makanan haram tidak hanya membahayakan fisik, tetapi juga merusak akhlak, spiritualitas, dan bahkan menjadi penghalang dikabulkannya doa. Islam memerintahkan umatnya untuk mengonsumsi yang halalan thayyiban, yakni makanan yang tidak hanya halal menurut hukum syariah, tetapi juga baik dan menyehatkan secara lahir dan batin. Sistem yang abai terhadap prinsip ini pada akhirnya menjerumuskan masyarakat dalam krisis keberkahan dan moral.

Fakta bahwa produk haram bisa lolos dengan sertifikat halal adalah bukti nyata bahwa sistem yang berjalan hari ini tidak mampu menjamin apa yang paling mendasar bagi umat Islam. Ini adalah kegagalan sistemik, bukan insiden insidental. Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan peringatan atau sanksi administratif. Selama aturan yang dijalankan bukan berasal dari syariat Allah, maka pengkhianatan terhadap amanah halal akan terus terjadi, sebab standar moral dan pengawasan yang ada tidak berlandaskan takwa, melainkan untung-rugi.

Solusi yang benar-benar tuntas adalah dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam sistem Islam (Khilafah), negara bertanggung jawab penuh menjamin kehalalan makanan rakyatnya. Khalifah akan menunjuk aparat pengawas khusus seperti Qadhi Hisbah untuk mengontrol pasar, dan melarang peredaran produk haram secara tegas. Sistem ini telah terbukti historis dalam menjamin kebaikan dan keamanan pangan di bawah kekuasaan Islam, sebagaimana pernah dijalankan pada masa Rasulullah saw. hingga para khalifah setelahnya.

Masyarakat tidak boleh terus-menerus terjebak pada solusi tambal sulam. Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang bersumber dari wahyu, yang menjadikan halal-haram sebagai standar mutlak, bukan sekadar formalitas. Hanya dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah, keabsahan produk halal benar-benar terjamin, dan kesejahteraan lahir batin masyarakat dapat diwujudkan. Sebab aturan Allah tidak hanya benar, tetapi juga pasti membawa kemaslahatan yang hakiki.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar