Penambangan Nikel di Raja Ampat, Harus Sesuai Syariat


Oleh : Sherly Agustina, M.Ag. (Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)

Pengelolaan SDA jika tak sesuai syariat hanya akan membawa pada kerusakan, terbukti apa yang terjadi di Raja Ampat. Penambangan nikel di Raja Ampat mengancam kelestarian alam, publik berekasi keras terutama penduduk Papua Barat. Walau mereka tak tahu apakah suara protes mereka berpengaruh, terpenting bersuara merupakan suatu sikap penolakan atas kezaliman yang terjadi dari pada diam seribu bahasa. Lantas, bagaimana pengelolaan SDA yang sesuai syariat?

Beberapa hari terakhir, ramai di sosial media membicarakan Raja Ampat hingga viral. Suara protes rakyat kian nyaring dan menggema, jika melihat video yang beredar tentang keindahan Raja Ampat sungguh sangat menyayangkan jika benar telah terjadi eksploitasi besar-besaran. Melihat keseriusan rakyat menyuarakan secara kritis untuk menolak eksploitasi membuat siapa saja pasti membelanya. Berikut dilansir dari beberapa media terkait penambangan nikel di Raja Ampat. 

Masyarakat sipil mengkritik aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Karena aktivitas tersebut selain mencemari lingkungan juga berpotensi melanggar ketentuan pidana, tak terkecuali pidana korupsi. Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Kalimatan Timur, Herdiansyah Hamzah menyatakan, Kepulauan Raja Ampat masuk dalam kualifikasi pulau-pulau kecil yang dilindungi lewat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada Pasal 35 huruf k mengamanatkan pelarangan penambangan mineral di pulau-pulau kecil yang menimbulkan kerusakan ekologis, mencemari lingkungan, atau merugikan masyarakat sekitar.

Sedangkan Pasal 73 ayat (1) huruf f mengatur soal sanksi pidananya. Ancaman pidana penjara mencapai 10 tahun. Oleh karena itu, jika kemudian ada izin pertambangan nikel yang keluar di Raja Ampat, apabila merujuk pada UU 27 Tahun 2007, jelas adalah tindak pidana. Herdiansyah mempertanyakan izin penambangan nikel di Raja Ampat dikeluarkan pemerintah terhadap PT GAG Nikel. Dia berpendapat, jika izin tersebut keluar dengan adanya persekongkolan, bukan tidak mungkin hal itu mengarah pada tindak pidana korupsi.

"Karena sesuatu yang dilarang, tapi akhirnya diberikan izin, artinya ada semacam tawar-menawar antara otoritas pemberi izin dan penerima izin. Jatuhnya bisa suap, bisa gratifikasi," ujar dia. (Metrotvnews.com, 7-6-2025)

Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup menemukan banyaknya pelanggaran serius di Raja Ampat terkait aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat. Di wilayah yang terkenal akan keindahan pariwisatanya itu, terdapat empat perusahaan tambang nikel yang menjadi objek pengawasan KLH. Keempat perusahaan itu yakni PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa. (Tirto.id, 7-6-2025)


Kapitalisme Biang Kerusakan 

Raja Ampat merupakan tempat di ujung timur Indonesia yang disebut sebagai surga terakhir di bumi. Lautnya sebening kaca, karangnya penuh warna, dan budaya yang melimpah seperti kitab yang tak pernah selesai dibaca. Raja Ampat merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia, rumah bagi lebih dari 1.700 spesies ikan dan lebih dari 75 persen spesies karang dunia. 

Sayangnya, kini Raja Ampat berada di persimpangan yang kompleks antara pengembangan industri nikel untuk baterai kendaraan listrik dan teknologi energi terbarukan. Di sisi lain, ada kekhawatiran eksplorasi dan eksploitasi tambang nikel, terutama di wilayah yang sensitif secara ekologis seperti Raja Ampat, bisa berdampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.

Tak heran, Greenpeace Indonesia dalam kampanyenya yang menjuluki Raja Ampat sebagai "Surga Terakhir" di dunia berada dalam kehancuran akibat pertambangan nikel. Raja Ampat merupakan kabupaten yang terletak di Provinsi Papua Barat. Kabupaten ini memiliki 610 pulau, dengan empat pulau besar: Salawati, Batanta, Waigeo, dan Misool. Dari keseluruhan pulau tersebut hanya 35 pulau yang dihuni dan sisanya tidak berpenghuni bahkan belum bernama. Di antara keempat pulau itu, Misool yang paling menarik wisatawan lantaran keindahan alamnya membuat destinasi ini dijuluki sebagai Surga Terakhir di Bumi.

Di mata dunia, Raja Ampat bahkan sudah terkenal dengan keindahan lautnya. Sekitar 75% jenis terumbu karang yang ada di dunia terkumpul dan hidup dengan baik di sini. Iqbal Damanik mengatakan Raja Ampat adalah tempat menyelam terbaik. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan Greenpeace Indonesia, sejak tambang nikel beroperasi di empat pulau dampak kerusakan lingkungan yang paling terlihat adalah sedimentasi. Limpahan lumpur dari pembukaan lahan mencemari wilayah pesisir yang banyak terdapat terumbu karang. Bahkan, karang-karang tersebut banyak yang mati. 

Di Pulau Gag sendiri Greenpeace melihat banyak terumbu karang sudah mati atau terganggu. Di antara yang paling terlihat kasat mata adalah pembukaan lahan, deforestasi, dan limpasan lumpur ke wilayah pesisir. Kapitalisme memang ganas, membuat manusia menjadi rakus dan serakah. Tak peduli lingkungan rusak, yang diinginkan hanyalah keuntungan materi semata. Lihat saja apa yang dilakukan oleh para korporat, misalnya PT Anugerah Surya Pratama melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian. 

Lalu, PT Gag Nikel, perusahaan yang beroperasi di Pulau Gag dengan luas ±6.030,53 hektare. Meski bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil namun tetap dilakukan. Pemerintah pun mengatakan akan menghentikan sementara, hanya sekadar retoris saja untuk meredam protes warga. Tak ada pilihan. Lain, jika ingin sumber daya alam negeri ini dikelola dengan baik harus berdasarkan syariat. Karena hanya dengan syariat pengelolaan SDA akan benar tidak merusak lingkungan. 


Hima dalam Islam

Prinsip dalam Islam sangat jelas tentang pengelolaan sumber daya alam, bahwa SDA milik umum bisa dimiliki bersama berdasarkan hadis Baginda Nabi saw., "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Akan tetapi, negara yang mengelola SDA tersebut agar rakyat bisa menikmatinya. Negara bertanggung jawab terhadap pengelolaan SDA semata-mata untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan sistem kapitalisme, korporat atau pengusaha yang dibiarkan mengelola, memiliki, dan menikmati SDA yang ada di negeri ini. Bahkan, SDA yang ada dieksploitasi besar-besaran tanpa melihat dampaknya yaitu kerusakan lingkungan dan pelanggaran. Hal ini dapat dilihat dari SDA emas dan nikel yang ada di Papua.

Namun, Islam juga menetapkan bahwa negara wajib menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan yang akan berpengaruh terhadap hidup manusia. Islam juga memiliki konsep "hima“, yang akan melindungi lingkungan dari kerusakan akibat adanya eksplorasi. Allah pun sudah menegaskan di dalam Al-Qur'an surah ar-Rum ayat 41 yang berbunyi, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Adapun Sabda Rasulullah saw. tentang hima yaitu, "Tempat tinggal yang paling menyenangkan adalah hima, andai saja di sana tak terdapat banyak ular." (HR Nasa'i).

Riwayat lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada hima (wilayah yang dilindungi) kecuali milik Allah dan Rasul-Nya." (HR Imam Al-Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa'i, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim.

Hadis Nabi tentang hima sebagai tempat yang menyenangkan, pada masanya tempat ini adalah padang rumput, di mana tidak boleh seorang pun menjadikannya sebagai tempat menggembala ternak. Hima merupakan tanah milik umum untuk kepentingan umum, memastikan bahwa kawasan penting tetap terjaga dan lingkungan sekitarnya terlindungi, sekaligus menjamin keseimbangan dan keharmonisan kehidupan manusia dan habitat lainnya. Peneliti bidang kajian Islam, Syauqi Abu Khalil dalam Atlas Hadits menjelaskan bahwa di tempat hima, ada larangan berburu binatang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem. Bahkan, manusia dilarang memanfaatkannya selain kepentingan bersama. (nationalgeographic.grid.id, 12-4-2023)

Nabi Muhammad saw. pernah melakukan hima di kawasan an-Naqi', yaitu tempat di mana kuda kaum muslimin digembalakan yang terletak di sekitar Kota Madinah. Di wilayah itu Rasulullah saw. melarang berburu binatang pada radius empat mil. Sedangkan salah satu hima terluas yang dibangun pada masa Khalifah Umar ibn Khatab yaitu Hima al-Rabadha. Dalam Islam, pemimpin menjalankan aturan sesuai dengan hukum syariat, dan berperan sebagai raain (yang mengurus rakyat) yang akan mengelola SDA dengan aman dan menjaga kelestarian lingkungan. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw., para sahabat dan khalifah setelahnya. Allahua'lam Bishawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar