Oleh: Uthe
Kerusakan lingkungan yang terjadi di Raja Ampat akibat eksploitasi tambang nikel kembali menjadi sorotan publik. Kawasan yang dikenal sebagai “surga terakhir di bumi” kini terancam kehilangan ekosistem laut dan hutan tropisnya akibat keserakahan industri. Padahal wilayah ini merupakan kawasan konservasi yang semestinya dilindungi. Ironisnya, kegiatan tambang justru dilegalkan oleh pemerintah atas nama pembangunan dan transisi energi hijau.
Fenomena ini bukanlah kejadian tunggal. Data dari JATAM menunjukkan ratusan izin usaha tambang nikel tersebar luas di berbagai daerah, menyebabkan deforestasi besar-besaran dan pencemaran lingkungan. Kerusakan ini bukan semata-mata karena tambangnya, tetapi karena sistem ekonomi yang menaunginya: Kapitalisme. Sistem ini menempatkan sumber daya alam sebagai komoditas dan menjadikan negara sebagai pelayan kepentingan pemilik modal, bukan pelindung rakyat.
Kapitalisme melahirkan oligarki, yaitu segelintir elite ekonomi-politik yang menguasai kekayaan negara dan memengaruhi kebijakan publik. Mereka bisa meloloskan izin tambang, menguasai ribuan hektare tanah, bahkan menggusur masyarakat adat demi investasi. Maka, tak heran jika proyek-proyek besar seperti tambang, perkebunan sawit, atau infrastruktur raksasa kerap menimbulkan konflik agraria, pencemaran, dan kemiskinan struktural di wilayah-wilayah kaya sumber daya.
Islam secara tegas melarang kerusakan lingkungan. Firman Allah dalam QS al-A’raf [7]: 56 dan QS ar-Rum [30]: 41 mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia. Kerusakan ekologis ini sejatinya merupakan bentuk kemaksiatan yang mengundang musibah dan azab dari Allah SWT. Karena itu, solusi sesungguhnya bukan sekadar regulasi tambang atau pengawasan yang lebih ketat, tapi mencabut akar masalahnya: sistem Kapitalisme itu sendiri.
Islam memiliki sistem yang jelas dalam mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam syariah, tambang dan SDA strategis adalah milik umum (milkiyyah ‘âmmah) yang haram dimiliki swasta atau asing. Negara bertanggung jawab langsung mengelola SDA tanpa merusak alam dan memastikan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Negara bukan mitra korporasi, melainkan pelayan umat (râ’in), dan pengelola SDA harus amanah sesuai syariah.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam meninggalkan sistem Kapitalisme yang telah nyata merusak dan menindas. Solusi hakiki terletak pada penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Hanya dengan sistem Islam, keberkahan bumi dan langit bisa diraih, sebagaimana janji Allah dalam QS al-A’raf [7]: 96. Inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan alam, menjaga hak masyarakat, dan mewujudkan keadilan ekologis yang sejati.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar