Oleh: Tsaqifa Farhana W (Aktivis Mahasiswa)
Tahun baru Islam kembali hadir. Muharram membuka lembaran baru dalam kalender hijriyah, namun tidak serta merta membuka lembaran baru dalam nasib umat Islam. Justru sebaliknya, umat ini terus didera nestapa.
Genosida atas saudara-saudara kita di Palestina belum berhenti. Bom terus berjatuhan. Anak-anak syahid, wanita dilukai, dan masjid-masjid dihancurkan. Di tengah jeritan ini, para penguasa negeri-negeri Muslim justru bungkam, berkhianat, atau bahkan bersekongkol dengan musuh-musuh Islam.
Umat Islam hari ini hidup dalam penderitaan yang seolah tak berujung. Dari Palestina, Suriah, Yaman, hingga Rohingya. Dari mahalnya kebutuhan pokok, kerusakan moral, hingga krisis identitas di kalangan generasi muda.
Maka, saat Muharram tiba, ia bukan sekadar momentum seremonial mengganti kalender, melainkan panggilan untuk berhenti sejenak dan merenung dalam-dalam.
Dari Perjuangan Menuju Kemuliaan
Muharram tak bisa dipisahkan dari hijrahnya Rasulullah ï·º bersama para sahabat dari Makkah ke Madinah. Bukan sekadar pindah tempat, hijrah ini adalah titik balik sejarah Islam. Sebuah peristiwa monumental yang mengubah wajah dunia. Di Madinah, Rasulullah ï·º membangun Daulah Islam pertama, tempat syariat Allah ditegakkan secara menyeluruh. Di sanalah umat Islam hidup dalam naungan aturan ilahi, bersatu, kuat, dan dihormati. Islam menyebar ke penjuru dunia bukan dengan kekacauan, tapi dengan rahmat dan keadilan.
Hijrah menjadi titik awal bangkitnya umat Islam sebagai umat terbaik, sebagaimana Allah tegaskan: "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah." (QS Ali ‘Imran: 110)
Namun, jika kita bercermin pada kondisi hari ini, dimanakah letak keunggulan umat ini?
Mengapa Umat Terpuruk? Inilah Akarnya
Realitanya, hari ini predikat umat terbaik tak tampak dalam kehidupan nyata. Umat Islam tercerai-berai, hidup di bawah hukum buatan manusia, dan kehilangan jati dirinya.
Sistem kapitalisme sekuler mengatur kehidupan, menggantikan syariat Allah dengan undang-undang buatan yang lahir dari hawa nafsu manusia. Akibatnya, masyarakat kehilangan arah, moralitas runtuh, ketimpangan makin parah, dan kehormatan umat diinjak-injak.
Semua ini sejatinya adalah konsekuensi logis dari meninggalkan aturan Allah. Sebagaimana firman Allah dalam QS Thaha ayat 1ini "Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit..."
Inilah fakta keras yang tak bisa kita pungkiri. Kita tak akan bangkit dengan sistem buatan manusia, karena sistem itu hanya menghasilkan ketidakadilan, penjajahan gaya baru, dan penderitaan tanpa ujung.
Waktu, Niat, dan Warisan yang Abadi
Tahun baru Islam bukan hanya tentang menghitung waktu yang berlalu, tapi juga merenungi: Untuk apa waktu itu kita habiskan? Untuk siapa usia muda ini digunakan?
Setiap hari yang berlalu adalah bagian dari hidup yang tak akan kembali. Setiap detik adalah peluang—entah kita isi dengan amal yang mendekatkan ke surga, atau sekadar rutinitas yang memperjauh dari tujuan hidup sebenarnya.
Muharram seharusnya menjadi cermin, bukan hanya kalender baru. Waktu adalah amanah. Dan pemuda, adalah fase hidup terbaik untuk digunakan di jalan yang paling mulia: dakwah Islam.
Kita semua sibuk. Kuliah, tugas, organisasi, kerja paruh waktu. Tapi... untuk siapa semua kesibukan ini?
Atau... sudahkah semua itu menjadi bagian dari langkah menuju ridha Allah?
Muharram ini seharusnya jadi momen untuk meluruskan kembali niat. Bukan sekadar menjadi mahasiswa aktif, atau aktivis yang sibuk, tapi menjadi pengemban dakwah sejati.
Karena dakwah bukan sampingan. Ia bukan pilihan. Tapi misi hidup.
“Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am: 162)
Kesadaran ini butuh komitmen. Komitmen untuk menghidupkan dakwah dalam langkah nyata. Bukan cuma lewat kata, tapi juga waktu, pikiran, tenaga, bahkan air mata.
Perjuangan Islam butuh generasi yang siap totalitas. Generasi yang tak menjadikan dunia sebagai orientasi utama, tapi menempatkan dakwah sebagai poros hidupnya.
Dan satu hal yang sering kita lupa, tapi justru paling pasti: kematian.
Kalau besok aku pergi,
apa jejak yang sudah aku tinggalkan untuk Islam?
Apa kontribusiku untuk dakwah ini?
Apa warisan yang akan aku tinggalkan?
Rasulullah ï·º tidak mewariskan dinar atau dirham. Tapi beliau mewariskan ilmu, keteladanan, dan sistem hidup Islam yang membentuk peradaban dunia.
Dan kita, sebagai umatnya, bukan hanya dituntut untuk mengenangnya. Tapi untuk melanjutkan jejaknya.
Perjalanan dakwah ini adalah kesempatan emas. Bukan beban. Tapi anugerah. Karena siapa pun yang mengikutinya, akan meninggalkan warisan yang abadi—warisan yang akan tetap hidup, bahkan setelah tubuh ini tak lagi bernyawa.
Akhir tahun ini, mari berhenti sejenak. Renungi langkah. Luruskan niat. Dan tanyakan dalam hati:
Sudah sejauh apa aku berjalan untuk Islam? Dan sudah seikhlas apa aku memperjuangkannya?
Karena waktu terus berjalan. Dan dakwah menanti kita untuk mengambil peran.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar