Oleh : Sylvi Raini
Belakangan ini, masyarakat dibuat kaget dengan beredarnya beras oplosan. Beras kemasan yang tidak sesuai dengan labelnya. Beras kemasan yang memiliki label “premium’ ternyata bukanlah beras yang bagus. Bahkan isinya dicampur dan takarannya dikurangi.
Kementerian pertanian menemukan ada sekitar 212 merek beras kemasan yang tidak sesuai dengan standar. Ada yang beratnya kurang dari yang ditulis dalam kemasan, ada juga yang di campur dengan beras biasa lalu dijual seolah olah adalah beras premium. “ Ini sudah merugikan masyarakat” kata Menteri Pertanian, dikutip dari Tempo.co.
Temuan ini tidak hanya ditemukan di pasar tradisional namun juga ditemukan di Supermarket, sebuah tempat kelas atas yang rasanya mustahil untuk dimasuki barang-barang yang tidak sesuai dengan standar. Banyak merek terkenal ikut diperiksa. Bahkan, menurut Kompas.com, praktik ini ditemukan oleh pemerintah sudah berjalan cukup lama dan menyebar luas.
Karena beras tidak sesuai dengan berat dan label, maka masyarakat mengalami kerugian besar. Menurut Badan Pangan Nasional, total kerugiannya mencapai Rp 100 Trilliun pertahun. (Metrotvnews.com, 2025)
Beberapa nama perusahaan besar ikut diperiksa, seperti PT Food Station Tjipinang Jaya dan anak perusahaan Japfa Group. Wakil Gubernur Jakarta mengatakan, jika mereka terbukti bersalah, maka mereka harus dihukum sekalipun itu termasuk perusahaan pemerintah.
Kebobolan Barang Oplosan Kesekian Kalinya
Praktik kecurangan yang dilakukan hanya demi mengejar keuntungan adalah sesuatu yang lumrah dalam sistem yang tidak dibangun di atas nilai agama dan moral. Selama untung, semua bisa dibenarkan. Yang haram menjadi halal. Aturan bisa dilanggar, bahkan dimanipulasi. Beginilah wajah sistem ekonomi kapitalisme sekuler. Menjadikan keuntungan sebagai ukuran utama, bukan kebenaran atau kejujuran.
Berlarut-larutnya masalah ini menunjukkan bahwa pengawasan negara sangat lemah. Sanksi yang seharusnya tegas pun tidak memberi efek jera. Tak bisa dipungkiri, hal ini juga berkaitan dengan sistem pendidikan yang gagal mencetak individu yang amanah dan bertakwa. Jika sejak dini tidak ditanamkan nilai kejujuran dan tanggung jawab, maka kelak ketika berkuasa atau punya usaha, seseorang bisa dengan mudah tergoda untuk curang.
Masalah ini juga menunjukkan bahwa negara absen dalam urusan pangan. Dari hulu ke hilir, pengelolaan beras dikuasai oleh korporasi. Negara hanya menguasai kurang dari 10% pasokan beras nasional. Artinya, negara tidak punya kekuatan tawar (bargaining power) untuk menekan korporasi. Akibatnya, sulit untuk mengontrol harga, mutu, bahkan distribusi beras.
Inilah yang membuat pengawasan menjadi tidak efektif. Bahkan ketika ada kecurangan, sanksi pun tidak mudah dijalankan karena ada kekuatan modal dan jaringan yang melindungi para pelaku. Kita perlu menyadari bahwa pangan adalah urusan hidup rakyat. Ia tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar semata. Negara harus hadir dan memimpin pengelolaan pangan secara langsung, bukan sekadar mengatur dari jauh. Jika tidak, rakyat akan terus menjadi korban dalam sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Islam Punya Solusi dalam Tata Niaga Pangan
Dalam Islam, pemimpin bukanlah penguasa yang bebas, melainkan raain (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Artinya, pejabat publik harus amanah dan bertanggung jawab. Ia wajib menjaga keadilan, termasuk memastikan tidak ada penipuan dalam perdagangan makanan pokok seperti beras. Islam mengajarkan bahwa tegaknya aturan dalam masyarakat bergantung pada tiga pilar, ketakwaan individu, kontrol sosial dari masyarakat dan enegakan aturan oleh negara secara tegas.
Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW pernah melewati seorang pedagang di pasar yang menjual gandum. Beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan gandum dan mendapati bagian bawahnya basah. Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa bagian dalamnya basah, wahai penjual gandum?" Pedagang itu menjawab, “Kena hujan, ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah bersabda: “Mengapa tidak kamu letakkan di atas agar orang bisa melihat? Barang siapa menipu, maka ia bukan bagian dari umatku.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa Islam sangat keras terhadap kecurangan, bahkan Rasul menyatakan bahwa orang yang menipu bukan bagian dari umat beliau. Ini bukan ancaman kecil, tapi bentuk penolakan sosial dan spiritual.
Dalam Islam, kecurangan dalam takaran dan timbangan disebut tatfif. Allah SWT secara khusus mengecam pelakunya dalam Surah Al-Muthaffifin: "Celakalah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (QS. Al-Muthaffifin: 1-3)
Hukumannya bisa berupa Ta’zir yaitu sanksi yang ditetapkan oleh negara untuk memberi efek jera. Bentuknya bisa teguran, denda, penjara, bahkan diumumkan ke publik. Jika terjadi dalam konteks besar dan merugikan banyak orang, bisa masuk dalam kejahatan ekonomi yang berat, dan negara berhak menutup usaha, mencabut izin, bahkan menyita harta pelaku jika itu hasil dari penipuan.
Dalam sistem Islam, juga ada Qadi Hisbah yaitu semacam hakim pasar yang bertugas mengawasi, menyelidiki, dan mengadili pelanggaran seperti ini. Hisbah bukan hanya menunggu laporan, tapi aktif turun ke pasar untuk memastikan tidak ada kecurangan.
Islam juga memandang bahwa negara harus hadir secara penuh dalam urusan pangan. Mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, negara harus mengatur agar pangan terdistribusi secara adil, tidak dimonopoli, dan bebas dari penipuan. Negara tidak boleh hanya jadi penonton ketika korporasi menguasai hulu dan hilir rantai pangan. Negara juga wajib menjamin ketersediaan, kestabilan harga, dan kejujuran pasar. Pangan bukan sekadar komoditas, tapi hak dasar rakyat yang harus dijamin negara. Ketika negara lalai, maka rakyat yang jadi korban. Ketegasan dan keadilan yang demikian hanya bisa di terapkan dalam sistem islam dalam bingkai Daulah Islamiyyah. Wallahu’alam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar