Urgensi Perlindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Siber Berbasis Gender


Oleh : Maya Dhita

Lonjakan data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di awal hingga pertengahan tahun 2025 makin tidak terkendali. Sejumlah 11.800 kasus kekerasan dalam kurun waktu 1 Januari-Juni 2025. Kasus ini meningkat menjadi 13.000 kejadian per 7 Juli 2025. (Tempo.co, 11-7-2025)

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi mengatakan bahwa kekerasan pada perempuan dan anak sebagian besar dipengaruhi oleh sosial media. Fenomena ini harus menjadi perhatian khusus mengingat tingginya paparan anak terhadap dunia digital tanpa disertai bimbingan dan kontrol yang memadai.


Digitalisasi Memunculkan Peluang Kejahatan 

Di tengah digitalisasi informasi yang berkembang pesat, kejahatan berbasis siber pun tak dapat dielakkan. Mereka memanfaatkan akun sosial media dan berbagai aplikasi yang membutuhkan pengisian identitas pengguna untuk kemudian diambil datanya dan disalah gunakan.

Tak jarang mereka memanfaatkan teknologi AI untuk membuat rekayasa digital dan menyalahgunakannya untuk kepentingan tertentu. Banyak kejadian yang berakhir dengan pemerasan dan penipuan dengan memanfaatkan teknologi ini. 

Kekerasan pada wanita dan anak berbasis siber ini pun ada berbagai macam jenisnya. Di antaranya adalah:

1. Pelecehan daring
Pelecehan daring bisa berupa pelecahan verbal, misalnya komentar kasar, merendahkan, dan mengancam.
Trolling, yaitu tindakan memancing emosi orang lain secara online.
Ancaman untuk mengintimidasi korban dengan menggunakan tulisan, gambar, maupun video.

2. Penyebaran gambar pribadi tanpa izin
Hal ini dilakukan dengan menyebarkan foto atau video dengan tujuan mempermalukan atau mengontrol korban 

3. Doxxing
Penyebaran informasi secara online tentang data pribadi korban yang dapat membahayakan korban di dunia nyata serta dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan melacak keberadaan korban. 

4. Pemerasan seksual
Memaksa dan memeras korban dengan ancaman akan meyebarkan informasi pribadi korban jika tidak menuruti permintaannya.

5. Cyberstalking
Pemantauan atau penguntitan korban secara terus-menerus melalui media sosial atau platform online lainnya.

6. Ujaran kebencian berbasis gender
Penyebaran konten yang merendahkan atau mendiskriminasi perempuan, seringkali dengan menggunakan bahasa yang kasar dan ofensif. 
Penyebaran stereotip negatif tentang perempuan dan anak perempuan. 

7. Cyberflashing
Mengirimkan gambar eksplisit atau tidak senonoh secara acak kepada korban melalui pesan singkat atau media sosial. 

8. Deepfake pornografi 
Penggunaan teknologi kecerdasan buatan untuk menciptakan konten pornografi yang menampilkan wajah atau tubuh korban tanpa persetujuan mereka. 

Kekerasan berbasis siber ini bisa dialami oleh semua orang. Namun, wanita dan anak-anak cenderung lebih rentan menjadi korban. 


Aksi Pemerintah 

Pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk mengatasi kekerasan siber berbasis gender (KSBG). Di antaranya:  

1. Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberikan kerangka hukum untuk pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan dalam kasus kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di ranah siber. 

2. Pembentukan Satgas PPKS
Kementerian/Lembaga dan Bawaslu telah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) untuk melakukan sosialisasi dan penanganan kasus di lingkungan masing-masing. 

3. Penguatan literasi digital
Kementerian Kominfo, bersama dengan berbagai pihak, termasuk komunitas, melakukan literasi digital untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keamanan data pribadi di internet dan cara melindungi diri dari KSBG.  

Dan masih banyak lagi upaya praktis untuk melindungi wanita dan anak dari kekerasan siber berbasis gender. Juga termasuk di dalamnya pendampingan para korban.


Problem Sistemik 

Sejatinya kekerasan siber berbasis gender ini bukanlah masalah parsial yang bisa diselesaikan dengan mudah. Ini adalah problem sistemik yang memerlukan penanganan di semua aspek kehidupan. 

Dalam Islam, kekerasan siber ini merupakan bentuk kezaliman terhadap kehormatan umat. Untuk itu diperlukan penanganan secara komprehensif dan menyentuh akar permasalahannya. 

Akar permasalahan dari segala kerusakan yamg terjadi di negeri ini adalah tidak diterapkannya syariat Islam secara menyeluruh. Maka diperlukan sebuah institusi yang memungkinkan untuk diterapkannya seluruh syariat Islam. Institusi tersebut adalah Khilafah. 


Penjagaan dalam Islam

Maka saat Khilafah tegak dan syariat telah diterapkan maka bisa dipastikan tidak akan ada kekerasan siber berbasis gender. Hal ini disebabkan:

1. Sistem pendidikan berbasis akidah Islam
Adanya sistem pendidikan berbasis akidah. Di dalamnya akan ditanamkan juga tentang sistem pergaulan dalam Islam. Hal ini merupakan tindakan preventif untuk mencegah kemaksiatan.

Sistem pendidikan berbasis akidah ini akan membentuk pribadi-pribadi yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami, mereka tumbuh menjadi manusia berkepribadian Islam. Umat yang takut akan Tuhannya. Sehingga mereka tidak akan berani melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Ini berarti tidak akan ada kemaksiatan, kriminalitas, dan tindak kezaliman terhadap orang lain.

2. Sanksi hukum yang menjerakan.
Penerapan aturan dengan sanksi tegas bagi pelaku KSBG. Sanksi sesuai syariat bersifat jawabir (menghapuskan dosa) dan zawajir (memberikan efek jera). Hal ini akan menurunkan tingkat kekerasan siber berbasis gender hingga titik terendah.

3. Perlindungan terhadap korban
Korban akan diberikan rasa aman, pendampingan, rehabilitasi, dan perlindungan. 

4. Pengawasan ruang digital.
Negara akan menjaga agar ruang digital menjadi tempat yang aman bagi umat. Tidak ada celah bagi konten kemaksiatan. Negara menjamin terpeliharanya lingkungan digital yang islami. Negara juga memastikan keamanan data pribadi umat dengan penjagaan maksimal.

Penanganan KSBG dalam sistem Islam akan mangacu pada prinsip-prinsip syariat Islam yang menyeluruh, preventif, represif, dan solutif.


Khatimah 

Dalam sistem Islam, negara akan menjalankan perannya sebagai pengurus umat di mana akan memastikan bahwa ruang digital akan aman dari segala bentuk KSBG. Negara tidak akan membiarkan konten-konten maksiat dan destruktif berkeliaran di ruang digital daulah. Semua akan difilter dan dijaga. Hanya Khilafah yang mampu mengkondisikan ruang digital menjadi lingkungan yang Islami bagi umat. Wallahualam bissawab. []




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar