Oleh: Nisrina, S.IP
Kejujuran itu mahal. Benarkah begitu?
Atau sebenarnya, ia hanya tak cocok hidup dalam sistem yang kotor?
Di Indonesia, kita merasakan betul bahwa kejujuran semakin tak terjangkau—bahkan oleh negeri sebesar ini, dengan APBN yang menembus ribuan triliun rupiah. Di layar berita, hampir setiap pekan kita disuguhkan kabar korupsi baru: dari pengadaan alat EDC di bank pelat merah senilai Rp2,1 triliun, hingga proyek jalan di Sumatera Utara yang disusupi rekayasa e-katalog. Ironisnya, di saat rakyat diminta berhemat karena pemangkasan tunjangan dan bantuan sosial, negara justru bocor di banyak sisi.
Yang mengejutkan, pelajaran tentang kejujuran justru datang dari tempat yang sering kita anggap “tertinggal”: Afghanistan. Negara ini, yang selama bertahun-tahun dilanda perang, konflik, dan krisis ekonomi, menunjukkan keberanian moral yang luar biasa.
Sebagai contoh, pada musim haji tahun 2022, pemerintah Afghanistan mengembalikan kelebihan dana sebesar USD 108 per jamaah—total lebih dari USD 1,1 juta dikembalikan ke rakyat. Tahun berikutnya, mereka kembali mengembalikan sisa dana senilai hampir sama.
Dalam proyek pembangunan kanal sepanjang 280 kilometer, pemerintah Afghanistan dengan jujur menyatakan tidak memiliki anggaran untuk menggaji para pekerja. Mereka tak mengobral janji kosong. Solusinya sederhana namun jujur: membayar para pekerja dengan gandum—satu-satunya yang bisa mereka sediakan saat itu.
Namun membandingkan Afghanistan dengan Indonesia tidak sesederhana menilai siapa yang lebih baik. Sistem politik, ekonomi, dan budaya di setiap negara punya kompleksitasnya. Korupsi bukan hanya soal sistem, tapi juga karakter, moralitas, dan penegakan hukum.
Menurut Corruption Perceptions Index (CPI) 2023 dari Transparency International, negara-negara dengan indeks terbersih justru didominasi oleh negara sekuler seperti Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru. Sementara banyak negara mayoritas Muslim justru berada jauh di bawah.
Namun, data ini tidak otomatis menjadikan sistem sekuler patut dibanggakan. Justru di negara-negara berkembang seperti Indonesia, sistem demokrasi sekuler kapitalistik menjadi penyelenggara utama “liga korupsi”. Dalam laporan Muslimah News berjudul “Liga Korupsi Indonesia ‘Diselenggarakan’ oleh Sistem Sekuler Kapitalisme” (7 Maret 2025), terungkap skandal korupsi Pertamina hampir Rp1 kuadriliun.
Semua ini berakar dari sistem demokrasi sekuler kapitalistik yang menjadikan kekuasaan sebagai alat dagang, bukan amanah. Biaya politik mahal, rekrutmen jabatan berdasar loyalitas, dan sanksi hukum lunak telah menciptakan budaya impunitas. Sistem ini mencampakkan agama dari ruang publik. Maka wajar jika ia tak mampu melahirkan kejujuran, karena ia tak memiliki fondasi moral dan spiritual yang mengakar.
Sebaliknya, Islam sebagai sistem hidup, memberikan kerangka tata kelola negara yang sangat berbeda. Kekuasaan adalah amanah berat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Di dalam Al-Qur’an terdapat peringatan: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian, padahal kalian tahu.” (QS Al-Anfal: 27)
Islam tidak hanya menawarkan sanksi bagi pelaku korupsi, tetapi juga membangun kejujuran dari akar masyarakat—melalui sistem pendidikan yang menumbuhkan karakter zuhud, qana’ah, dan takut kepada Allah, bukan takut kamera.
Dalam sistem Islam (Khilafah), kekayaan alam wajib dikelola negara untuk kemaslahatan umat. Politik uang haram hukumnya. Pejabat dipilih karena takwa dan kapabilitas, bukan karena modal atau lobi. Sanksi terhadap korupsi tegas dan memberi efek jera: mulai dari pemecatan, penyitaan harta, hingga hukuman mati, tergantung beratnya kejahatan. Rasulullah ï·º bersabda: “Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji maka apa saja yang ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR. Abu Dawud)
Islam juga memberi jaminan atas kebutuhan dasar rakyat: sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Ini bukan utopia, tapi realitas sejarah.
Sejarah mencatat kekuatan sistem ini. Di masa Umar bin Khattab, rakyat bebas menyampaikan kritik. Di era Harun al-Rasyid, Baghdad menjadi pusat peradaban dan keadilan sosial. Zakat dan baitulmal dikelola dengan transparan. Bahkan sejarawan Barat seperti Will Durant mengakui bahwa birokrasi Islam dikenal bersih dan adil dalam masa kejayaannya.
Afghanistan tentu belum ideal seperti masa Khilafah. Tapi sikap jujur yang mereka tunjukkan hari ini, membuktikan bahwa nilai Islam bisa menjadi fondasi keberanian moral—bahkan di tengah krisis.
Sementara kita, yang konon lebih maju, justru terus menyaksikan hak rakyat menguap di bawah sorotan sidang. Pertanyaannya pun berubah:
Mengapa kita kalah amanah dari negeri yang katanya tertinggal?
Mungkin karena kita bukan kekurangan dana, tapi kekurangan nilai. Karena kejujuran bukan soal anggaran, tapi soal fondasi sistem.
Kita mungkin belum bisa mengubah sistem dalam semalam. Tapi kita bisa memulai dari kesadaran dan keberanian menuntut sistem yang berpihak pada kebenaran. Kita harus jujur bahwa sistem sekuler demokrasi kapitalistik bukanlah rumah sehat bagi amanah.
Kejujuran tidak cukup bertahan di tengah sistem yang korup. Ia butuh sistem yang bersih, kuat, dan tunduk pada hukum Allah. Jika bangsa ini ingin memulihkan kepercayaan publik yang runtuh, maka yang perlu dibenahi bukan hanya siapa yang memimpin, tapi sistem apa yang melahirkan para pemimpinnya.
Islam kafah bukan sekadar solusi spiritual, tapi tawaran sistemik—untuk membangun negara yang jujur, adil, dan bertanggung jawab. Dan Indonesia bisa belajar dari Afghanistan. Bukan karena mereka lebih kaya, tapi karena mereka lebih berani jujur. Dan yang terpenting—mereka tidak memisahkan agama dari kehidupan.
📌 Catatan Sumber:
1. BeritaSatu, 8 Juli 2025 – KPK Usut Kasus Korupsi EDC Bank Pelat Merah Rp 2,1 Triliun
2. Kumparan, 7 Juli 2025 – Kasus Jalan di Sumut Ungkap Rekayasa e-Katalog
3. Denhardt & Denhardt (2000), The New Public Service: Serving Rather than Steering
4. Ariana News (2022) – Ministry to Refund Balance of Payment to Pilgrims
5. MOHIA.gov.af (2023) – Disbursement Program of Hajj Surplus Funds
6. Tolo News (2023) – Afghanistan Begins Canal Project, Pays Workers in Wheat
7. MuslimahNews, 7 Maret 2025 – Liga Korupsi Indonesia ‘Diselenggarakan’ oleh Sistem Sekuler Kapitalisme
8. Will Durant, The Story of Civilization, Vol. 4: The Age of Faith
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar