Oleh : Tias Anggraini (Pemerhati Remaja)
Dulu saat duduk di sekolah dasar saya seringkali mendapatkan ejekan dari teman-teman. Bukan hanya secara verbal, melainkan kekerasan fisik juga pernah saya alami. Pernah seluruh cewek satu kelas saya membenci tanpa alasan. Saya tidak tahu apa yang membuat mereka tidak suka terhadap saya. Mereka sangat senang melihat saya bisa melawan dan mengamuk begitu hebat. Namun, apakah mereka akan berhenti membully saya? Nyatanya tidak. Satu kelas saya buat kegaduhan, hingga wali kelas mengetahui segalanya.
Beberapa tahun kemudian, ketahuan siapa dalang dibalik kasus perundungan saya. Akhirnya kedua orangtuanya memutuskan untuk pindah sekolah. Saya harap dia berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Sayapun masih ingat dengan perkataan guru olahraga, ketika saya diejek "Jangan dimasukan ke dalam hati. Jika kamu ingin membalasnya, lebih baik kamu berwudhu dan duduk diam." Guru saya mengajarkan bagaimana cara mengelola emosi dengan benar.
Kisah tentang perundungan ternyata masih berlanjut sampai akhir ini. Saya membaca dibeberapa platfoam ternyata perudungan malah semakin parah. Ada yang mengalami kekerasan hingga berujung pada kematian. Fakta terus bertambahnya kasus perundungan setiap tahunnya makin menguatkan bahwa kasus perundungan anak ini adalah fenomena gunung es.
Hal ini menunjukkan gagalnya regulasi dan lemahnya sistem sanksi, yang juga serta dengan definisi anak dalam sistem hari ini. Di sisi lain juga menunjukkan kegagalan sistem Pendidikan. Faktor pendukung seperti tontonan berbahaya, mencoba meminum minuman/ makanan haram, dan kekerasan oleh anak. Kasus ini menambah bentuk/ beragam perundungan yang sudah ada.
Semua ini merupakan buah buruk penerapan sistem kehidupan yang sekuler kapitalistik dalam semua aspek kehidupan. Dengan demikian dibutuhkan adanya perubahan yang mendasar dan menyeluruh, tidak cukup dengan menyusun regulasi atau sanksi yang memberatkan, namun juga pada paradigma kehidupan yang diemban oleh negara Islam menjadikan perundungan sebagai perbuatan yang haram dilakukan, baik verbal apalagi fisik bahkan dengan menggunakan barang haram.
Semua perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan. Islam menjadikan baligh sebagai titik awal pertanggumgjawaban seorang manusia. Hadis Nabi ï·º menunjukkan hal itu. Islam menjadikan sistem pendidikan yang berasas akidah Islam memberikan bekal untuk menyiapkan anak mukallaf pada saat baligh. Pendidikan ini menjadi tanggung jawab keluarga masyarakat dan negara sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam menyusun kurikulum Pendidikan dalam semua level. Bahkan Pendidikan dalam keluarga pun negara memiliki kurikulumnya. Semua untuk mewujudkan generasi yang memiliki kepribadian Islam.
Sistem informasi dan sistem sanksi menguatkan arah Pendidikan yang dibuat oleh negara. Dengan demikian akan lahir generasi yang berkepribadian Islam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar