Perundungan Anak Terus Terjadi, PR Besar Perlindungan Anak


Oleh : Ratu Azmaira Khalisah

Pendahuluan

Perundungan anak kembali menjadi perhatian publik setelah serangkaian kasus kekerasan terjadi di Bandung. Yang paling menyita perhatian adalah insiden bocah diceburkan ke sumur oleh teman sebayanya hanya karena menolak minum tuak. Kasus lain juga muncul dari Bandung yang menunjukkan bahwa korban perundungan adalah siswa SMP yang mengalami trauma berat akibat dikeroyok oleh rekan-rekan sekolahnya. Ironisnya, para pelaku perundungan masih tergolong anak-anak usia sekolah.

Fenomena ini bukan sekadar kejadian insidental, melainkan bagian dari fenomena yang lebih besar, yakni menguatnya tindakan kekerasan di kalangan anak-anak dan remaja. Kasus-kasus semacam ini mencerminkan semakin rusaknya tatanan kehidupan sosial anak di bawah sistem sekuler kapitalistik yang saat ini mengatur negeri ini. Padahal, anak-anak adalah aset bangsa, generasi penerus peradaban. Ketika mereka terjerumus dalam perundungan, apalagi dilakukan dengan kekerasan fisik, bahkan dengan barang haram seperti tuak, maka ini merupakan peringatan keras bagi bangsa tentang bobroknya sistem kehidupan yang diterapkan.

Fakta Kasus Perundungan Anak di Bandung
Pada 8 Juni 2023, publik digegerkan dengan kasus siswa SMP di Bandung yang menjadi korban perundungan. Korban dianiaya oleh teman-teman sebayanya di dalam kelas. Video yang tersebar di media sosial memperlihatkan korban dipukul, ditendang, hingga kepalanya dihantam. Hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa korban mengalami trauma psikologis berat dan ketakutan untuk kembali ke sekolah. Orangtua korban melaporkan sebanyak 11 pelaku ke pihak berwajib (Kompas.com, 10 Juni 2023).

Belum reda kasus tersebut, pada Juni 2025 muncul lagi kasus lain yang lebih ekstrem. Seorang anak di Bandung diceburkan ke sumur karena menolak minuman keras tradisional (tuak) yang ditawarkan oleh teman-temannya. Tuak adalah minuman keras yang jelas haram dalam Islam dan dilarang oleh hukum. Namun dalam kasus ini, minuman tersebut bukan hanya dikonsumsi, tetapi juga digunakan untuk memaksa orang lain. Ketika korban menolak, ia dihukum dengan cara diceburkan ke dalam sumur oleh sekelompok remaja (CNN Indonesia, 26 Juni 2025).

Kedua kasus ini menegaskan bahwa perundungan yang terjadi bukan hanya berupa ejekan verbal atau pengucilan sosial, tetapi sudah melibatkan unsur kriminal: penganiayaan berat, pemaksaan, dan penggunaan zat terlarang. Ini mencerminkan bahwa fenomena perundungan anak telah menjelma menjadi fenomena gunung es, yang akar masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar ketidakdisiplinan siswa.


Kegagalan Sistem: Pendidikan, Hukum, dan Kehidupan Sekuler

Kasus-kasus perundungan yang terus berulang membuktikan bahwa regulasi yang ada tidak cukup memberikan efek jera atau mencegah tindakan serupa. Banyak kasus kekerasan anak yang berakhir tanpa keadilan karena pelakunya masih di bawah umur, atau karena sanksi yang dijatuhkan terlalu ringan. Hal ini menunjukkan kelemahan sistem hukum dan sanksi yang berlaku saat ini, yang tidak memiliki standar moral yang kokoh dan tidak mampu membentuk perilaku manusia sejak dini.

Tak kalah penting, kasus ini mencerminkan gagalnya sistem pendidikan nasional. Kurikulum pendidikan hari ini lebih menitikberatkan pada aspek kognitif dan akademik semata, tanpa memperhatikan pembentukan karakter dan kepribadian berbasis nilai. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi benteng pertama dalam membentuk generasi yang sehat secara mental, spiritual, dan sosial. Fakta bahwa anak SMP sudah terbiasa dengan kekerasan, mengonsumsi tuak, dan tidak takut melukai orang lain, menunjukkan bahwa pendidikan telah kehilangan arah.

Yang menjadi akar dari semua ini adalah sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang diterapkan di negeri ini. Sistem sekuler telah memisahkan agama dari kehidupan. Nilai halal-haram dianggap tidak relevan dalam ruang publik, termasuk dalam dunia pendidikan. Anak-anak diajarkan untuk mengejar prestasi dan kesuksesan materi, tanpa dibekali akidah yang kuat. Media hiburan dan platform digital juga dipenuhi dengan konten kekerasan dan hedonisme, yang dengan mudah dikonsumsi anak-anak tanpa pengawasan ketat.


Paradigma Islam dalam Menangani Perundungan

Berbeda dengan sistem sekuler, Islam memiliki pandangan yang menyeluruh dalam membina manusia sejak usia dini. Islam melarang segala bentuk perundungan, baik verbal maupun fisik, terlebih jika dilakukan menggunakan barang haram seperti tuak. Dalam Islam, setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, baik ia dilakukan oleh anak-anak maupun orang dewasa.

Nabi Muhammad ï·º bersabda: “Pena (catatan amal) diangkat dari tiga golongan: dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia baligh, dan dari orang gila sampai ia sembuh.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)

Hadis ini menjelaskan bahwa baligh adalah titik awal pertanggungjawaban hukum dalam Islam. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan anak agar sejak kecil terbiasa dengan tanggung jawab, takut kepada Allah, dan menjauhi maksiat. Dengan demikian, saat ia mencapai usia baligh dan menjadi mukallaf, ia siap menjalani hidup sebagai hamba Allah yang taat.

Islam menetapkan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Tujuan pendidikan dalam Islam bukan sekadar mencetak orang pintar, tetapi mencetak manusia yang berkepribadian Islam—yakni pola pikir dan pola sikap yang dibentuk berdasarkan akidah Islam. Pendidikan ini menjadi tanggung jawab tiga pihak:
Keluarga sebagai pendidik pertama dan utama.
Masyarakat sebagai kontrol sosial dan lingkungan pendukung.
Negara sebagai penanggung jawab utama dalam menyusun kurikulum, mengatur lembaga pendidikan, dan memastikan bahwa sistem informasi publik juga mendukung pendidikan akidah Islam.

Negara Islam bahkan memiliki kurikulum untuk pendidikan keluarga, termasuk materi yang wajib diketahui orangtua untuk mendidik anak mereka. Semua ini bertujuan melahirkan generasi bertakwa yang kuat akidahnya dan bersih dari akhlak tercela, seperti perundungan.


Sistem Sanksi dalam Islam dan Efektivitasnya

Selain sistem pendidikan, Islam juga memiliki sistem sanksi (uqubat) yang bertujuan mencegah kejahatan, bukan hanya menghukum setelah kejahatan terjadi. Sanksi ini tidak bersifat balas dendam, melainkan sebagai penebus dosa bagi pelaku dan peringatan bagi masyarakat agar tidak mengulangi perbuatan serupa.

Dalam kasus perundungan yang mengandung unsur kekerasan, Islam mengkategorikannya sebagai jinayah (kejahatan fisik). Bila menyebabkan luka, maka pelaku diwajibkan membayar diyat (ganti rugi) dan bisa dijatuhi hudud atau ta’zir tergantung pada dampaknya. Penggunaan tuak juga merupakan dosa besar yang memiliki hukuman had dalam Islam.

Adanya sistem sanksi yang tegas, adil, dan bersumber dari wahyu membuat masyarakat merasa aman dan anak-anak belajar untuk bertanggung jawab. Sanksi bukan hanya diberikan pada pelaku, tetapi juga pada lingkungan yang lalai, seperti orangtua atau sekolah, jika terbukti abai dalam membina dan mengawasi anak-anak.


Pentingnya Perubahan Sistemik dan Tegaknya Islam Kaffah

Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa solusi parsial seperti revisi undang-undang, peningkatan sanksi, atau konseling psikologis semata tidak akan menyelesaikan masalah. Selama sistem yang rusak masih diterapkan, selama nilai-nilai sekuler masih menjadi dasar kehidupan, maka kekerasan anak, perundungan, penyalahgunaan zat, dan kejahatan lainnya akan terus tumbuh.

Oleh karena itu, perubahan mendasar dan menyeluruh mutlak dibutuhkan. Perubahan itu tidak cukup dalam level individu atau komunitas, tetapi pada paradigma kehidupan dan sistem negara. Islam datang bukan hanya sebagai agama ritual, tetapi juga sebagai sistem kehidupan yang sempurna, termasuk dalam bidang pendidikan, hukum, sosial, dan pemerintahan.

Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam institusi negara, sistem pendidikan Islam bisa ditegakkan secara menyeluruh, sistem sanksi bisa ditegakkan secara adil, dan sistem informasi bisa diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam. Dengan begitu, anak-anak akan tumbuh sebagai generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga takut kepada Allah, sayang kepada sesama, dan bertanggung jawab atas perbuatannya.


Penutup

Kasus perundungan anak di Bandung adalah tamparan keras bagi kita semua. Ia memperlihatkan bagaimana anak-anak kehilangan arah, menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan, dalam sistem yang gagal membentuk mereka. Sistem sekuler kapitalistik telah menciptakan masyarakat yang hedonis, permisif, dan individualis. Dalam sistem seperti ini, anak-anak bukan dibina untuk menjadi manusia bertakwa, tetapi ditelantarkan dalam lingkungan yang rusak secara moral.

Islam memiliki solusi hakiki dan menyeluruh untuk menyelamatkan anak-anak dari kerusakan ini. Pendidikan berbasis akidah Islam, sistem sanksi yang tegas dan adil, serta peran negara sebagai pelindung umat akan membentuk generasi yang kuat dan berkepribadian mulia. Sudah saatnya umat Islam memperjuangkan tegaknya sistem Islam secara kaffah agar kasus perundungan dan kejahatan lainnya benar-benar dapat diberantas dari akarnya.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar