Refleksi Muharram : Mewujudkan Kebangkitan Umat Yang Hakiki


Oleh : Ummu Nadira

Tahun baru Islam 1447 H tidak lama lagi akan tiba. Berdasarkan kalender Hijriah Kementerian Agama (Kemenag), tahun baru Islam 1 Muharram 1447 H jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025.

Bagi umat Islam, tahun baru Islam bukan sekadar perayaan tahunan. Pergantian tahun adalah momentum untuk memperbaiki diri dari tahun-tahun sebelumnya. Di penghujung tahun inilah menjadi waktu yang pas untuk memperbaiki diri agar tahun berikutnya lebih baik.

Di momen tahun baru ini, udah sepatutnya bukan tahunnya aja yang berganti. Tapi, diri kita ini yang menjalani kehidupan, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, bahkan tahun ke tahun juga harus berganti menjadi sosok yang baru. Yaitu menjadi sosok yang semakin taat pada Allah dan Rasul-Nya. 

Selain kita ini sebagai individu muslim harus senantiasa memperbaiki diri, kaum muslimin secara keseluruhan juga harus memperbaiki diri sehingga bisa merealisasikan predikat khairu ummah atau umat terbaik.

Namun hari ini predikat sebagai umat terbaik tak nampak nyata dalam kehidupan. Pada faktanya kaum muslimin hari ini justru dijajah, baik secara fisik, pikiran, bahkan dalam segala aspek kehidupan. Kita lihat bagaimana saudara-saudara kita di Palestina dibantai, diculik, dipenjara tanpa alasan, nyawa mereka seakan begitu murah untuk ditumpahkan. Di sisi lain, para pemuda muslim justru banyak yang sibuk hidup dalam gemerlap duniawi yang ditawarkan musuh-musuh Islam. Banyak generasi muslim yang hidup dalam jurang 3F (food, fun, and fashion). Belum lagi negeri-negeri muslim lainnya yang dikeruk kekayaan alamnya dan dibuat tunduk pada para kapitalis pemilik modal.

Dari tahun ke tahun, kondisi umat memang belum juga membaik. Berbagai krisis dan bencana seolah tidak mau beranjak dari kehidupan bangsa ini. Pada sektor ekonomi, misalnya, banyak PR besar yang tidak bisa dipecahkan. Meski pemerintah mengeklaim pertumbuhan ekonomi terus membaik, bahkan Indonesia berhasil lolos masuk dalam kelompok negara berpenghasilan menengah, tampak nyata tidak membuat kehidupan mayoritas masyarakat bertambah sejahtera, apa lagi diliputi keberkahan.

Belum lagi pembaratan budaya makin menggila, pendangkalan akidah terus berjalan, kristenisasi tidak kunjung berhenti, peruntuhan nilai akhlak kian terang-terangan, gaya hidup hedonis, konsumtif, dan serba boleh terus dijajakan di layar TV dan media massa,kerusakan moral tidak tabu dipertontonkan ,para pelaku maksiat dan menyimpang malah eksis menjadi idola dan teladan, kriminalitas juga makin mengerikan.

Mirisnya, penguasa tampak tidak peduli moral generasi kian rusak lantaran teracuni paham bahwa urusan moral adalah ranah individual. Alih-alih menerapkan sistem aturan yang mengukuhkan kepribadian generasi, negara malah dengan sadar melahirkan undang-undang dan kebijakan yang berpotensi melegalkan kerusakan. Pengesahan UU TPKS, pengarusderasan moderasi beragama dan proyek deradikalisasi, penerapan kurikulum merdeka, dan sebagainya, hanya sebagian contoh aturan yang kontraproduktif bagi penyelamatan generasi.

Politik pun kian tampak naif dan hipokrit. Alih-alih negara hadir sebagai pengurus dan penjaga umat, sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkannya justru menjadikan negara sebagai sumber penderitaan bagi rakyat banyak. Kekuasaan politik hanya jadi rebutan pemburu materi dan kedudukan. Terbukti, lahir dari tangan para penguasanya, berbagai kebijakan yang antirakyat, tetapi sangat pro pemilik modal.

Jika dicermati lebih dalam, semua problem yang terjadi hanyalah cabang dari satu akar persoalan, yakni diterapkannya sistem sekuler yang menafikan peran Tuhan atau agama dalam pengaturan kehidupan.

Sistem inilah yang telah melahirkan berbagai aturan yang jauh dari fitrah penciptaan karena aturan tersebut lahir dari akal pikir manusia yang lemah dan terbatas. Akal tidak bisa menjangkau hakikat segala persoalan dan tidak mampu memberi solusi komprehensif sebagaimana dibutuhkan. Alih-alih membawa kebaikan, sistem ini bahkan nyata-nyata menjauhkan umat dari kemuliaan.


Mengambil hikmah

Adanya peringatan momentum hijrah seharusnya menjadi modal bagi kaum muslim untuk menemukan kembali jati dirinya sebagai sebaik-baik umat. Peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah yang momentumnya oleh Khalifah Umar bin Khaththab dijadikan acuan tahun pertama Hijriah, sesungguhnya mengandung spirit perubahan hakiki dari masyarakat jahiliah menuju terwujudnya masyarakat Islam.

Satu-satunya cara untuk meraih kembali kemuliaan adalah dengan kembali kepada aturan Allah dan menerapkannya dalam kehidupan secara kaffah. Umat disadarkan akan kebutuhannya pada Khilafah sebagai institusi yang akan menjadi junnah bagi ummat.

Karena itu umat harus disadarkan hakekatnya sebagai muslim dan didorong untuk ikut memperjuangkannya. Penyadaran umat ini membutuhkan bimbingan dari jamaah dakwah yang tulus dan istiqamah berjuang di jalan Allah.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar