Oleh : Sylvi Raini
Kembali pada awal Juli 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar dua kasus yang cukup besar. Dengan menunjukkan pola korupsi serupa seperti manipulasi sistem pengadaan demi keuntungan pribadi. Proyek jalan di Sumatera Utara dan pengadaan mesin EDC (Electronic Data Capture) di bank milik negara yaitu BRI menjadi sorotan dengan dua lokasi yang berbeda.
Dilaporkan dari kumparan.com, ada sekitar lima orang yang terdiri dari pejabat dinas PUPR dan dua pengusaha, terjaring dalam OTT (operasi tangkap tangan) oleh KPK. Mereka diduga mengatur proyek jalan lewat sistem ekatalog. Seharusnya, ekatalog dibuat untuk transparansi pengadaan. Namun nyatanya, waktu tayang dokumen sangat singkat, sehingga hanya pihak tertentu yang bisa mengakses dan memenangkan tender. KPK menemukan uang tunai ratusan juta rupiah dan menyebut ada komitmen fee senilai Rp 2 miliar.
Sementara itu, di Jakarta, KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus korupsi pengadaan mesin EDC senilai Rp 2,1 triliun di BRI. Dugaan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 700 miliar. Vendor tertentu diduga sudah disiapkan sejak awal, dan harga pengadaan sengaja dinaikkan. Salah satu pejabat bahkan menerima hadiah berupa sepeda dan kuda mahal. (BeritaSatu.com)
BeritaSatu juga mengabarkan jika KPK mencegah 13 orang bepergian ke luar negeri. Mereka berasal dari lingkungan BRI dan masih berstatus saksi. Pencegahan dilakukan agar tidak ada yang kabur atau menghilangkan bukti.
Kontradiksi Pemangku Kekuasaan
Menjadi hal yang memprihatinkan, skandal-skandal ini muncul di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran yang justru berdampak langsung pada rakyat. Kita menyaksikan pemangkasan dana pada sektor-sektor yang menyangkut hak dasar warga negara, semisal penonaktifan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS, pengurangan tunjangan kinerja (tukin) guru, pemotongan dana riset, dana militer, hingga pengurangan bantuan sosial. Semua itu dilakukan dengan dalil "penghematan."
Namun dalam kondisi yang bersamaan, uang negara ratusan miliar bahkan triliunan justru bocor melalui praktek-praktek korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan elite birokrasi. Ini bukan lagi soal oknum. Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa sistem pengelolaan negara berbasis sekuler kapitalistik-neoliberal telah gagal menjalankan amanah kekuasaan untuk melayani rakyat.
Pandangan hidup negara dengan mengadopsi sistem demokrasi sekuler memberi ruang besar bagi politik transaksional. Kekuasaan dipandang sebagai alat tawar-menawar, bukan tanggung jawab pelayanan publik. Para pejabat yang semestinya menjadi pengelola urusan rakyat justru bertransaksi dengan pemilik modal untuk saling menguntungkan, sementara rakyat menanggung akibatnya. Layanan publik menurun, kesejahteraan menjadi sebuah kamuflase, dan keadilan sosial makin jauh dari harapan.
KPK memang bekerja keras. Tapi sistem yang ada seolah terus mereproduksi praktik korupsi dari waktu ke waktu. Budaya korupsi tumbuh subur karena akar persoalannya ada pada sistem politik dan ekonomi yang cacat sejak awal. Selama pandangan hidup sebuah negara masih dibangun di atas prinsip untung-rugi, bukan amanah dan pelayanan, korupsi akan selalu menjamur ditengah-tengah masyarakat.
Dua kasus besar ini menjadi gambaran nyata dari kegagalan struktural. Transparansi digital seperti e-katalog atau reformasi pengadaan bukan jaminan bila sistem dan mentalitas penguasa masih tunduk pada logika kapital. Perlu lebih dari sekadar penangkapan dan pencegahan. Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem yang dijalankan negara.
Bukan Utopia, Islam Memiliki Ketegasan
Berbeda dengan sistem yang berjalan hari ini, Islam menawarkan solusi menyeluruh dalam mengatur kehidupan, termasuk dalam urusan kepemimpinan dan pengelolaan harta publik. Islam tidak hanya mengatur ibadah pribadi, tetapi juga memiliki sistem pemerintahan, ekonomi, dan hukum yang lengkap dan adil. Hal yang demikian kita tidak boleh menutup mata, dengan mengatakan islam hanya ibadah ritual saja tanpa mampu mengentaskan permasalahan kehidupan. Karena di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sudah di contohkan.
Kepemimpinan bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Pemimpin wajib menjalankan syariat, menegakkan keadilan, dan menjaga kesejahteraan rakyat. Sistem Islam juga mewajibkan adanya amar makruf nahi munkar yaitu mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Baik dilakukan oleh individu, masyarakat, maupun negara. Islam memiliki aturan tegas untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Rasulullah bersabda : “Barang siapa yang melakukan penggelapan (ghulul), maka pada hari kiamat ia akan membawa barang yang ia curangi itu.” (HR. Bukhari-Muslim)
Adapun sanksi di dunia, jika seseorang terbukti melakukan penggelapan (ghulul) akan dilakukan penyitaan harta yang digelapkan dan dikembalikan ke Baitul Mal (kas negara). Setelah itu akan ada hukuman ta'zir berupa pemecatan, pengasingan, penjara, atau sanksi social, tergantung keputusan qadhi (hakim syar’i) atau khalifah (pemimpin Daulah Islamiyyah) dan tingkat kesalahan.
Salah satu contoh di masa khulafur rasyidin adalah saat Khalifah Umar bin Khattab mengangkat Abu Hurairah sebagai gubernur Bahrain. Setelah selesai menjabat, Abu Hurairah kembali membawa kekayaan besar, sekitar 10.000 dirham. Umar tidak tinggal diam. Beliau langsung melakukan tabayyun, bahkan menuduh dengan keras: “Wahai musuh Allah dan Kitab-Nya, apakah kau menggelapkan harta Allah?” Abu Hurairah menjawab dengan tenang, bahwa harta itu berasal dari usaha pribadinya. Beternak, gaji, dan hasil perang. Umar kemudian menghentikan jabatannya sementara dan melakukan penyelidikan seperti audit keuangan. Setelah terbukti bersih, Umar mengembalikan jabatannya. Namun, Abu Hurairah menolak. Ia memilih mundur karena khawatir tergelincir atau disalahpahami. Ini menunjukkan tingginya integritas pribadi dan akuntabilitas dalam sistem Islam.
Kisah ini adalah bukti nyata bahwa Islam memiliki mekanisme pencegahan korupsi yang kuat, berbasis keimanan dan tanggung jawab di hadapan Allah. Islam tidak hanya bicara soal ibadah, tapi juga soal pemerintahan, keuangan publik, dan keadilan sosial. Jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh, korupsi dan penyelewengan kekuasaan bisa dicegah, dan masyarakat bisa hidup adil dan sejahtera. Inilah yang tidak bisa diberikan oleh sistem sekuler kapitalistik hari ini. Wallahu’alam bishowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar