Oleh: Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Di era digital yang semakin kompleks, ancaman kejahatan siber terhadap anak-anak kian nyata. Perkembangan teknologi yang melaju pesat tidak hanya menghadirkan kemudahan dalam mengakses informasi, tetapi juga membuka celah bagi berbagai bentuk kriminalitas digital, dari perundungan siber (cyberbullying), eksploitasi seksual daring (online grooming), hingga manipulasi data pribadi.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Balikpapan menyelenggarakan workshop bertema “Pemenuhan Hak Anak: Mencegah Terjadinya Cyber Crime pada Anak”. Kegiatan ini diikuti ratusan pelajar dari berbagai sekolah sebagai bagian dari komitmen pemerintah daerah dalam mewujudkan Balikpapan sebagai Kota Layak Anak (KLA).
Namun, seiring dengan tingginya kompleksitas tantangan di dunia maya, muncul pertanyaan mendasar: apakah workshop semacam ini cukup untuk membentengi anak-anak dari serangan masif kejahatan siber?
Kewajiban Melindungi Anak: Tanggung Jawab Kolektif, Bukan Sekadar Kesadaran Individu
Di tengah derasnya arus digital hari ini, anak-anak bukan hanya pengguna pasif, tetapi juga menjadi sasaran utama berbagai bentuk kejahatan siber. Mereka bisa dengan mudah terseret dalam konten kekerasan, pornografi, ujaran kebencian, hingga menjadi korban eksploitasi. Siapa yang bertanggung jawab melindungi mereka?
Al-Qur’an telah memberi garis tegas dalam QS. At-Tahrim ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."
Ayat ini menegaskan bahwa perlindungan terhadap anak adalah tanggung jawab utama orang tua dan masyarakat. Melindungi di sini tidak hanya dimaknai sebagai menjaga dari bahaya fisik, tetapi juga dari bahaya moral dan spiritual, termasuk konten digital yang merusak fitrah dan akidah anak. Maka, membiarkan anak bebas menjelajah dunia maya tanpa kontrol adalah bentuk kelalaian yang fatal.
Namun lebih dari itu, sistem sosial dan negara pun memikul tanggung jawab serupa. Sebab tidak semua keluarga mampu menahan gempuran sistemik dari industri digital yang dikuasai logika kapitalisme. Oleh karena itu, perlindungan generasi tidak bisa didelegasikan hanya kepada keluarga atau sekolah — negara harus menjadi pelindung utama yang mengatur dan membatasi akses terhadap konten merusak.
Keterbatasan Pendekatan Edukatif: Upaya Parsial dalam Sistem yang Rusak
Program workshop semacam ini memang penting sebagai bentuk edukasi awal. Namun, pendekatan ini tidak menyentuh akar persoalan. Pertama, ia bersifat one-shot event, tidak terintegrasi dalam kurikulum atau ekosistem digital anak. Kedua, ia hanya menyentuh aspek kognitif—memberi pengetahuan, tanpa disertai perlindungan sistemik terhadap lingkungan digital yang beracun.
Dalam kenyataannya, edukasi tanpa sistem proteksi hanya akan membuat anak sadar bahaya, tetapi tidak memiliki daya untuk menghindar. Ketika sistem digital tetap terbuka, konten tetap bebas diakses, dan pelaku kejahatan tidak ditindak tegas, maka workshop semacam ini hanya menjadi formalitas belaka.
Di sinilah negara seharusnya hadir, bukan hanya sebagai fasilitator edukasi, tapi sebagai pelindung dan pengatur. Negara harus membangun ekosistem digital yang sehat, melalui:
* Regulasi ketat terhadap konten berbahaya
* Pengawasan terhadap algoritma platform digital
* Sistem pelaporan dan penindakan yang cepat
* Pendidikan digital berbasis nilai, bukan sekadar teknis.
* Keterlibatan aktif orang tua dan masyarakat dengan didukung negara
Sayangnya, negara dalam sistem sekuler saat ini justru tunduk pada kepentingan industri digital global. Peran negara cenderung minimalis dan hanya reaktif terhadap insiden, bukan membangun sistem pencegahan yang berkelanjutan.
Larangan Menyebarkan Keburukan: Islam Tutup Celah Penyimpangan Sejak Akar
Realitas dunia digital saat ini memperlihatkan betapa mudahnya keburukan tersebar luas. Konten pornografi, kekerasan, challenge berbahaya, hingga penistaan agama bisa menyebar dalam hitungan detik. Bahkan sebagian justru menjadi viral karena algoritma platform digital lebih mengedepankan keterlibatan pengguna, bukan nilai moral.
Dalam QS. An-Nur ayat 19, Allah memperingatkan secara tegas:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang suka agar (berita) perbuatan yang keji itu tersiar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih..."
Ayat ini tidak hanya mengecam pelaku maksiat (fahisyah), tetapi juga orang-orang yang menyukai tersebarnya keburukan. Dalam konteks digital, ini termasuk mereka yang memproduksi, menyebarkan, atau membiarkan beredarnya konten amoral. Maka, membiarkan platform dan media sosial menyajikan konten tak terbatas tanpa sensor syar’i adalah bentuk kemungkaran yang nyata.
Islam memandang penyebaran konten keji sebagai perbuatan berbahaya karena akan merusak akhlak publik, mengikis rasa malu, dan menghancurkan benteng moral generasi. Oleh sebab itu, sistem Islam akan memblokir segala bentuk penyebaran fahisyah dan menjatuhkan sanksi tegas kepada pelaku dan penyokongnya, baik individu maupun institusi media.
Inilah bedanya Islam dengan sistem sekuler. Jika sistem sekuler memuja kebebasan informasi, Islam justru meletakkan kebebasan di bawah kendali hukum syara'. Karena dalam pandangan Islam, media bukanlah ruang netral, melainkan ladang dakwah atau ladang maksiat—tergantung siapa yang mengaturnya.
Islam: Sistem Pelindung Menyeluruh untuk Anak
Berbeda dengan sistem sekuler-liberal yang menyerahkan keamanan digital kepada individu atau keluarga, Islam menawarkan paradigma berbeda. Negara bertanggung jawab penuh atas perlindungan generasi. Perlindungan anak adalah kewajiban sistemik yang dijalankan oleh negara, masyarakat, dan keluarga secara terpadu dalam bingkai nilai ilahiyah.
Dalam sistem Islam, media dan teknologi diawasi secara ketat oleh negara. Tidak ada konten yang bebas tanpa pertanggungjawaban moral dan syar’i. Segala bentuk tayangan, aplikasi, hingga kurikulum pendidikan dipastikan selaras dengan syariat Islam.
Negara juga menetapkan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan siber, baik individu maupun perusahaan digital. Tidak ada kekebalan hukum atas nama kebebasan berekspresi atau pasar bebas.
Anak-anak dididik dalam suasana keimanan yang kuat, dengan keterlibatan aktif keluarga dan masyarakat. Budaya amar makruf nahi mungkar dijalankan sebagai sistem sosial yang menekan munculnya penyimpangan.
Negara menyediakan sarana digital yang berkah, seperti media dakwah, pendidikan daring berbasis tauhid, dan platform edukatif yang mendukung pertumbuhan iman, ilmu, dan akhlak.
Islam tidak menolak kemajuan teknologi. Namun Islam mengarahkan agar kemajuan itu berada dalam koridor maslahat. Sebab teknologi tanpa iman akan menjadi alat pembinasaan moral generasi.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa solusi sejati untuk menyelamatkan anak dari bahaya digital bukanlah pelatihan atau program sepekan. Melainkan perubahan sistemik—dari sistem sekuler permisif menuju sistem Islam yang menyejahterakan dan melindungi.
Generasi adalah aset umat. Maka tugas umat bukan hanya mendidik mereka menjadi baik, tetapi juga memperjuangkan sistem yang menjaga mereka tetap baik.
Wallahu'alam bishawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar