Sekolah Kurang Peserta Didik, Islam Punya Solusi


Oleh : Intan Marfuah (Aktivis Muslimah)

Mengutip dari infosatu.co bahwa ribuan bangku kosong di Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Samarinda menjadi alarm terbuka bagi penyelenggara pendidikan negara.

Darlis Pattalongi, Sekreataris Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, mengungkap bahwa jumlah kursi siswa yang belum terisi di SDN mencapai lebih dari 2.000.

Temuin ini menandakan rendahnya peminatan masyarakat terhadap sekolah negeri sehingga menuntut perbaikan segera.

Hal tersebut disampaikan Darlis menghadiri Rapat Paripurna ke -22 DPRD Kaltim di legislatif provinsi Jalan Teuku Umar, Rabu 9 Juli 2025.

Meski isu ini tidak tercantum dalam agenda, ia merasa perlu disampaikan sebagai refleksi terhadap kualitas layanan sekolah negeri.

"Di Samarinda, bangku SD yang kosong jumlah nya mencapai 2.000 lebih. Ini harus menjadi bahan intropeksi sekolah-sekolah negeri. Artinya,tingkat kepercayaan terhadap sekolah swasta lebih tinggi daripada sekolah negeri", tegas Darlis Pattalongi.

Darlis memaparkan faktor penyebab turunnya minat masyarakat dalam memilih SD. Salah satunya adalah persepsi bahwa sekolah swasta menwarkan layanan dan kualitas pengajaran yang lebih unggul.

Sehingga katanya, orang tua bersedia membayar lebih meski perekonomian Kaltim relatif tinggi.

Darlis mendesak pihak sekolah dan Dinas Pendidikan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kualitas guru, sarana-prasarana, hingga pendekatan kurikulum yang dapat menarik kembali kepercayaan orang tua.

Kekhwatirannya, jika tren kekosongan bangku ini berlanjut, pemerintah akan mempertimbangkan langkah efisiensi, termasuk potensi penutupan beberapa SDN yang terus menurun muridnya. (Infosatu.co, 10 - Juli -2025)

Evolusi dunia pendidikan di negeri ini sedikit banyak dipengaruhi sistem regulasi yang ada. Era 90-an hingga 2000, sekolah berbasis negeri masih menjadi pilihan dengan daya tampung yang mencukupi. Tentu saja, terdapat sekolah unggulan yang menjadi favorit utamanya bagi siswa berprestasi.

Seiring bergantinya regulasi, terjadi banyak perubahan di dunia pendidikan. Kurikulum, inovasi pembelajaran, sarana prasarana, juga problem ketersediaan tenaga pengajar, seakan menjadi atmosfer yang melengkapi menurunnya performa tata kelola pendidikan publik.

Orang tua siswa bukannya tidak berminat dengan sekolah negeri, terlebih biaya pendidikannya lebih terjangkau daripada swasta. Hanya saja, niat untuk memasukkan anak mereka di sekolah negeri justru terhambat regulasi yang ada. Daya tampung dan kebijakan sistem zonasi adalah dua di antara beberapa penyebab yang menghambat peserta didik mengenyam pendidikan negeri.

Sistem zonasi yang terus menuai polemik pun memperparah kondisi ini. Kebijakan yang katanya bertujuan untuk memeratakan kualitas, justru banyak menimbulkan masalah. Alih-alih memeratakan kualitas untuk menghapus adanya kesan sekolah unggulan, kebijakan ini justru memunculkan banyak kecurangan.

Seharusnya pemerintah mengevaluasi diri dan membaca minat masyarakat. Bagaimanapun, orang tua mengharapkan anaknya memperoleh pendidikan yang layak, berkualitas, dan dengan harga terjangkau. Jika daya tampung kurang, sedangkan jalur zonasi tidak menutupi keinginan orang tua siswa, satu-satunya pilihan ya ke sekolah swasta.

Di sisi lain, tidak dimungkiri sekolah swasta terus melakukan inovasi. Bahkan, masyarakat tidak bisa menutup mata bahwa banyak di antara sekolah swasta memiliki keunggulan yang jauh melampaui sekolah negeri. Oleh karenanya, tidak sedikit orang tua siswa yang memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta meski harus membayar lebih demi mendapatkan kualitas pendidikan terbaik. Jadi, problem mendasarnya adalah keinginan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dengan harga terjangkau.

Banyaknya masalah yang menggelayuti dunia pendidikan negeri merupakan alarm bagi pemerintah untuk berbenah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi PR besar. Pertama, memperbaiki tata kelola pendidikan. Kedua, memajukan mutu pendidikan. Dua hal ini seiring sejalan dalam rangka mewujudkan pendidikan yang merata dan berkualitas.

Geliat sekolah swasta dengan berbagai inovasinya seharusnya menjadi cambuk untuk mengevaluasi kebijakan agar tidak ada ketimpangan di tengah masyarakat dalam mengakses pendidikan. Jangan sampai masalah ini dibiarkan berlarut-larut hingga pendidikan menjadi barang mahal bagi sebagian masyarakat.

Bagi masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas, terbatasnya akses ke sekolah negeri ditambah kualitas sekolah swasta yang lebih mentereng jelas bukan masalah. Namun, bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah? Jangankan untuk memasukkan anak mereka ke sekolah, membelikan kebutuhan sekolah anak saja sudah cukup mencekik.

Bagi sekolah negeri, kebijakan sistem pendidikan hari ini secara tidak langsung telah menyebabkan masalah. Salah satunya adalah ancaman berkurangnya peserta didik. Konsekuensi atas hal ini hadir wacana regrouping atau penyatuan beberapa sekolah yang terancam tutup.

Perlu pembenahan sistemis untuk mewujudkan sistem pendidikan yang merata dan berkualitas. Sistem pendidikan hari ini faktanya belum mampu mewujudkan hal tersebut. Sebabnya tidak lain karena sistem sekuler kapitalisme yang mendudukkan negara sekadar sebagai regulator dan fasilitator. Hasilnya, ya, setengah hati dalam mengurus kebutuhan rakyat.

Regulasi yang negara rumuskan tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat terhadap pendidikan secara utuh dan sempurna, apalagi merata dan berkualitas. Ini tentu berbeda dengan paradigma sistem pemerintahan Islam.

Dalam Islam, negara memahami tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat. Negara juga memahami bahwa masa depan negara berada di tangan generasi. Alhasil, negara serius menyiapkan masa depan cemerlang melalui sistem pendidikan yang merata dan berkualitas. Merata karena negara memahami bahwa setiap individu rakyat, miskin maupun kaya memiliki hak yang sama. Berkualitas dalam arti negara merancang sistem pendidikan dengan merumuskan kurikulum yang sesuai dengan strata pendidikan dan membangun sarana prasarana memadai dalam pelaksanaannya.

Negara pun akan membangun sekolah hingga pelosok dan memastikan setiap anak mampu mengakses pendidikan. Mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat adalah spirit bagi negara. Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut, negara mendirikan struktur administratif yang terdiri dari departemen (maslahah), jawatan-jawatan (da’irah), dan unit-unit (idarah).

Inilah struktur administratif yang berperan dalam memeratakan akses pendidikan di masyarakat. Sekolah-sekolah dibangun sesuai kebutuhan dan negara memastikan peserta didik mampu mengaksesnya secara gratis atau berbiaya murah. Realitas inilah yang pernah hadir di pentas peradaban Islam. Saat itu, peradaban Islam mampu menjadi mercusuar pendidikan yang memenuhi kebutuhan masyarakat dunia terhadap dunia pendidikan.

Pada masa Khilafah Islam, pendidikan Islam mengalami kecemerlangan yang luar biasa. Ini ditandai dengan tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis ilmu pengetahuan, serta lahirnya ulama dan ilmuwan yang pakar dalam berbagai disiplin pengetahuan.

Beberapa lembaga pendidikan Islam kala itu antara lain, Nizhamiyah (1067—1401) di Baghdad, Al-Azhar (975—sekarang) di Mesir, Al-Qarawiyyin (859—sekarang) di Fez, Maroko, dan Sankore (989—sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika. Lembaga pendidikan Islam ini pun menerima para siswa dari Barat. Paus Sylvester II, sempat menimba ilmu di Universitas Al-Qarawiyyin.

Literasi warga negara Khilafah saat itu pun lebih tinggi daripada Eropa. Perpustakaan Umum Cordova (Andalusia) memiliki lebih dari 400 ribu buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Perpustakaan Al-Hakim (Andalusia) memiliki 40 ruangan yang di setiap ruangannya berisi lebih dari 18 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah (Mesir) mengoleksi sekitar dua juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoli (Syam) mengoleksi lebih dari tiga juta judul buku. Perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah negara Khilafah.

Pada masa Khilafah lahir banyak ulama di bidang tsaqâfah Islam. Filosofi Islam, mazjul-mâddah bir-rûh, yang mengintegrasikan belajar dan kesadaran akan perintah Allah Swt. menjadikan tsaqâfah Islam sebagai inspirasi, motivasi, dan orientasi pengembangan matematika, sains, teknologi, dan rekayasa hingga melahirkan banyak ilmuwan dan teknolog founding father disiplin ilmu pengetahuan modern.

Tsaqâfah Islam, ilmu pengetahuan yang kita pelajari, juga produk-produk industri yang kita nikmati saat ini tidak lain adalah sumbangan para ulama dan ilmuwan muslim. Mereka adalah para perintisnya. Sebut saja Ibnu Sina (pakar kedokteran), al-Khawarizmi (pakar matematika), Al-Idrisi (pakar geografi), Az-Zarqali (pakar astronomi), Ibnu al-Haitsam (pakar fisika), Jabir Ibnu Hayyan (pakar kimia), dll.

Kemajuan pendidikan pada masa keemasan peradaban Islam ini, bahkan telah terbukti menjadi rujukan peradaban lainnya. Hal tersebut antara lain diungkapkan oleh Tim Wallace-Murphy (WM) yang menerbitkan buku berjudul What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization (London: Watkins Publishing, 2006). Buku WM tersebut memaparkan fakta tentang transfer ilmu pengetahuan dari Dunia Islam (Khilafah) ke Dunia Barat pada Abad Pertengahan.

Disebutkan pula bahwa Barat telah berutang pada Islam dalam hal pendidikan dan sains. Utang tersebut tidak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun. Cendekiawan Barat, Montgomery Watt, menyatakan, ”Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi “dinamo”-nya, Barat bukanlah apa-apa.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar