Oleh: Ika Putri Novitasari, S.Pd.
Beras, sebagai makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia, memegang posisi vital dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik negeri ini. Maka tidak mengherankan jika setiap persoalan yang terkait dengan beras hampir selalu menimbulkan reaksi luas dari publik. Salah satu persoalan yang kembali mencuat adalah isu mengenai kualitas beras premium yang beredar di pasaran.
Dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring pada 26 Juni 2025, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkap bahwa dari 157 merek beras premium yang diuji, hanya 26 yang memenuhi standar mutu sesuai regulasi. Artinya, lebih dari 80 persen beras yang dijual sebagai “premium” tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Data ini diperoleh dari hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh 13 laboratorium milik Badan Urusan Logistik (Bulog), mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31 Tahun 2017 serta Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023.
Temuan ini sangat memprihatinkan karena bukan hanya menyoroti masalah teknis soal mutu beras, tetapi juga membuka tabir lebih lebar tentang adanya kecurangan sistemik dalam tata niaga pangan di negeri ini. Di balik sebutan “premium”, ternyata tersembunyi praktik manipulatif yang menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat dan negara. Parahnya lagi, pelaku utama kecurangan ini justru berasal dari perusahaan besar yang seharusnya menjadi contoh dalam penegakan etika bisnis dan kepatuhan hukum.
Kita menghadapi kenyataan pahit bahwa urusan pangan yang seharusnya menjadi prioritas utama negara justru menjadi ajang permainan keuntungan sepihak. Dalam banyak kasus, kepentingan bisnis mengalahkan tanggung jawab moral dan sosial. Orientasi utama para pelaku usaha adalah profit, bukan kejujuran atau amanah. Inilah watak asli sistem ekonomi kapitalisme: nilai dan etika dikorbankan demi keuntungan maksimal.
Dalam sistem kapitalisme, pangan diperlakukan sebagai komoditas biasa. Siapa yang menguasai modal dan memiliki jaringan distribusi, dialah yang memegang kendali atas alur pangan dari sawah hingga meja makan rakyat. Negara, dalam hal ini, lebih sering berperan sebagai regulator yang lemah, tanpa kontrol penuh atas rantai pasok. Bahkan, data menunjukkan bahwa penguasaan negara terhadap pasokan beras nasional tidak lebih dari 10 persen. Artinya, lebih dari 90 persen pasokan pangan kita berada dalam kendali swasta. Ini membuat posisi negara sangat lemah dalam menetapkan harga, mengawasi mutu, maupun menindak pelanggaran.
Persoalan ini semakin kompleks jika dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan. Ketika pelanggaran dilakukan secara massif oleh pemain besar dan tidak ditindak secara tegas, hal itu akan mendorong pelaku lain untuk melakukan hal serupa. Inilah siklus kecurangan yang sulit diputus jika negara tidak mengambil peran tegas dan menyeluruh.
Islam memiliki pendekatan yang sangat berbeda dalam mengelola urusan pangan. Dalam pandangan Islam, pangan bukan sekadar komoditas, melainkan bagian dari kebutuhan dasar rakyat yang wajib dijamin oleh negara. Islam menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung atas ketersediaan dan distribusi pangan. Negara tidak boleh hanya menjadi penonton atau sekadar pembuat regulasi, tetapi harus benar-benar terlibat dari hulu hingga hilir.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pemelihara, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks ini, pemimpin atau pemerintah harus menjaga keadilan dan memastikan seluruh rakyat dapat memenuhi kebutuhannya secara layak dan bermartabat.
Islam juga menetapkan tiga pilar utama dalam penegakan keadilan sosial, termasuk dalam tata niaga pangan: (1) ketakwaan individu, (2) kontrol masyarakat (hisbah), dan (3) penegakan hukum oleh negara. Ketiganya membentuk sistem sosial yang tangguh untuk mencegah kecurangan dan kerusakan.
Dalam sistem Islam, ada lembaga khusus yang disebut qadhi hisbah, seorang hakim pengawas pasar yang bertugas memeriksa transaksi ekonomi, memastikan kesesuaian timbangan, mutu barang, dan kejujuran dalam penjualan. Jika ditemukan pelanggaran, qadhi hisbah memiliki kewenangan langsung untuk memberikan sanksi dan bahkan menyita barang yang menipu.
Dengan sistem pengawasan yang kokoh dan berlandaskan nilai kebenaran, segala bentuk pemalsuan dari label hingga mutu dapat dicegah, bahkan sebelum sempat memasuki rantai niaga. Tidak ada celah untuk bermain curang karena semua aspek dalam sistem telah dirancang untuk saling menguatkan: individu didorong untuk jujur karena iman, masyarakat aktif mengontrol karena peduli, dan negara menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Kita harus menyadari bahwa perbaikan sistem pangan tidak cukup hanya dengan memperketat regulasi atau meningkatkan laboratorium uji. Selama sistem ekonomi kapitalisme masih menjadi fondasi utama, selama itu pula peluang untuk curang akan tetap terbuka. Solusi mendasar adalah mengganti sistem tersebut dengan sistem yang menjamin keadilan dan menjadikan tanggung jawab sebagai bagian dari iman.
Islam menawarkan alternatif sistem ekonomi yang adil, transparan, dan berbasis nilai-nilai ilahiah. Dalam sistem ini, negara tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga pelayan rakyat yang bertanggung jawab memastikan kebutuhan pokok rakyat terpenuhi secara layak.
Krisis mutu beras premium yang baru-baru ini terungkap bukan sekadar masalah teknis, melainkan cermin dari kerusakan sistemik yang melanda tata niaga pangan di negeri ini. Kecurangan yang terjadi adalah buah dari sistem kapitalisme yang mengabaikan etika dan nilai spiritual dalam aktivitas ekonomi.
Solusinya tidak cukup hanya dengan memperketat pengawasan atau memperbarui regulasi. Diperlukan perubahan menyeluruh dalam cara pandang terhadap pengelolaan pangan. Negara harus kembali mengambil peran sentral dalam memastikan ketersediaan, distribusi, dan kualitas pangan. Sementara masyarakat perlu dididik dengan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab sebagai bagian dari pembentukan karakter.
Islam, dengan sistemnya yang menyeluruh dan nilai-nilainya yang luhur, memberikan solusi yang bukan hanya bersifat tambal sulam, tetapi menyentuh akar masalah. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, keadilan dalam urusan pangan dapat benar-benar terwujud.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar