KHUTBAH PERTAMA
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا.
اللهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلًا نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا. أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ٩٦ (اَلْأَعْرَافُ)
Alhamdulillâhi Rabbil ‘Âlamin, Segala puji bagi Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ yang telah menganugerahkan kita nikmat iman dan Islam, serta mempertemukan kita di tempat yang diberkahi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallâhu alaihi wasallam, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Bertakwalah kepada Allah Subhânahu Wa Taâlâ dengan sebenar-benarnya takwa sebagaimana firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. (QS. Âli Imrân [3]: 102)
Sungguh takwa adalah benteng terakhir kita di tengah kehidupan akhir zaman saat ini. Dan sungguh, hanya dengan takwa kita akan selamat di dunia dan akhirat.
Maâsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Di tengah dinamika kebijakan ekonomi nasional, publik dikejutkan dengan vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada mantan Menteri Perdagangan 20152016, Tom Lembong, dalam kasus impor gula. Vonis ini menuai kontroversi karena didasarkan pada penilaian bahwa Tom menjalankan kebijakan yang condong pada sistem ekonomi kapitalis. Kapitalisme sendiri merupakan bagian dari ideologi Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, kepemilikan pribadi dijunjung tinggi, termasuk kepemilikan atas sumber daya alam strategis. Dampaknya nyata terlihat: menurut APBN 2024, PNBP dari sektor energi (migas, minerba, dll) hanya sekitar Rp 500 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan pemasukan pajak rakyat yang mencapai hampir Rp 2.000 triliun. Ketimpangan lahan pun mencolokdari 60 juta hektar lahan bersertifikat, setengahnya dikuasai hanya oleh 60 keluarga (data dari Menteri ATR, Nusron Wahid), sementara jutaan rakyat tak punya lahan sama sekali.
Ironisnya, penguasaan sumber daya oleh segelintir oligarki itu justru dilegalkan oleh negara melalui berbagai regulasi, termasuk UU Cipta Kerja yang dibuat bersama oleh DPR dan Pemerintah. Artinya, jika penerapan kebijakan ekonomi kapitalis dianggap sebagai kejahatan, maka aktor utamanya adalah lembaga-lembaga negara itu sendiri. Negara bahkan menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan, yang pada 2024 menyumbang lebih dari 70% APBN. Selain itu, negara juga aktif dalam praktik riba dengan terus menambah utang berbungabunga utangnya saja hampir mencapai Rp 500 triliun di tahun 2024. Semua ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi kapitalis bukan dijalankan oleh individu semata, tetapi justru dilembagakan oleh struktur kekuasaan negara.
Maâsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Al-Allaamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w.1977), ulama dan pemikir Islam terkemuka sekaligus pendiri Hizbut Tahrir, menyampaikan kritik tajam terhadap sistem ekonomi kapitalis dalam karya monumentalnya Nizhaam al-Iqtishaadi fii al-Islaam. Kritik beliau sangat mendasar.
Pertama, asas Kapitalisme adalah Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang jelas-jelas batil karena bertentangan dengan Islam yang menjadikan wahyu (syariah) sebagai sumber hukum dalam seluruh aspek kehidupan.
Kedua, konsep kepemilikan dalam Kapitalisme batil karena membolehkan individu atau perusahaan memiliki sumber daya milik umum seperti air, tambang, dan migas, padahal dalam Islam semua itu adalah milik umat yang wajib dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim.
Ketiga, sistem ekonomi kapitalis hanya fokus pada akumulasi kekayaan, bukan distribusi yang adil, sehingga menciptakan kesenjangan yang sangat tajam antara si kaya dan si miskinrealitas yang nyata di negeri-negeri yang mengadopsi Kapitalisme, termasuk Indonesia.
Keempat, negara dalam sistem ini lebih melayani kepentingan korporasi dan kaum kapitalis daripada rakyat, sebagaimana diungkap Mahfud MD bahwa setiap pasal dalam undang-undang ada harganya, termasuk UU Cipta Kerja yang berpihak pada oligarki.
Kelima, kebebasan ekonomi yang tidak terkendali justru melahirkan berbagai kezaliman seperti monopoli, eksploitasi buruh, serta kriminalitas ekonomi seperti riba dan spekulasi. Karena itu, Syaikh Taqiyuddin secara tegas menolak ideologi Kapitalisme dan menyerukan sistem ekonomi Islam sebagai solusi yang adil dan sesuai wahyu.
Maâsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, hanya sistem ekonomi Islam yang mampu mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat. Hal ini dijelaskan dalam kitab Nizhaam al-Iqtishaadi fii al-Islaam. Di antara poin-poin sistem ekonomi Islam:
Pertama, tujuan utama sistem ekonomi Islam adalah distribusi kekayaan secara adil kepada individu, bukan sekadar pertumbuhan atau akumulasi kekayaan nasional (GDP).
Kedua, kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga: kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu didasarkan pada firman Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ;
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْاۗ
”...Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan...” (QS. an-Nisâ’ [4]: 32).
Kepemilikan umum ditegaskan dalam hadits Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam;
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ
“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah No.2463).
Serta contoh nyata pencabutan pengelolaan tambang garam dari Abyadh bin Hammal (HR Ibnu Majah). Adapun kepemilikan negara mencakup kharaaj, jizyah, fai, anfaal, harta murtad, dan harta tak bertuan. Firman Allah Subhânahu Wa Taâlâ;
فَاَنَّ لِلّٰهِ خُمُسَهٗ وَلِلرَّسُوْلِ
”...Sesungguhnya seperlima dari ghaniimah itu adalah untuk Allah dan Rasul...” (QS. al-Anfâl [8]: 41) menjadi dasar pengelolaan kekayaan oleh negara demi kemaslahatan umat.
Ketiga, sistem ekonomi Islam melarang kepemilikan harta dari jalan yang haram seperti riba, gharar (ketidakjelasan), maysir (judi), monopoli, dan spekulasi. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman;
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
”...Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...” (QS al-Baqarah [2]: 275), dan Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam melarang jual beli yang mengandung gharar (ketidakjelasan) (HR Muslim). Larangan ini bertujuan menjaga kebersihan transaksi dan keadilan dalam aktivitas ekonomi. Islam tidak memberi ruang bagi praktik ekonomi eksploitatif yang merugikan masyarakat luas. Sebaliknya, Islam mendorong transaksi yang jelas, saling menguntungkan, dan terbebas dari penindasan ekonomi.
Keempat, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Syaikh Taqiyuddin menegaskan hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu alaihi wasallam: ”Imam (Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Kelima, negara juga wajib menjamin distribusi sumber daya alam secara merata dan melarang privatisasi aset milik umum. Tambang, air, gas, hutan, dan listrik harus dikelola oleh negara demi kepentingan seluruh rakyat, bukan diserahkan kepada individu atau korporasi. Pandangan ini sekaligus merupakan penolakan tegas terhadap privatisasi yang marak dalam sistem ekonomi kapitalis.
Maâsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Dengan demikian, jelas bahwa negeri ini masih mempertahankan ideologi Kapitalisme beserta subsistemnya, yakni sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini telah nyata gagal mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, karena hanya menguntungkan segelintir orang (oligarki) melalui penguasaan atas sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik umum. Ironisnya, perampasan tersebut dilegalkan melalui berbagai undang-undang yang berpihak pada kepentingan pemilik modal, bukan rakyat.
Sudah saatnya negeri ini meninggalkan sistem Kapitalisme dan kembali pada ideologi Islam dengan sistem ekonomi Islam sebagai subsistemnya. Islam menjadikan syariah sebagai dasar pengaturan seluruh aspek kehidupan, termasuk ekonomi, demi keadilan dan keberkahan. Sebagaimana janji Allah Subhânahu Wa Taâlâ dalam Al-Quran: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..." (QS. al-A’râf [7]: 96). Inilah solusi hakiki untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
KHUTBAH KEDUA
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى رِضْوَانِهِ، اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُواللّٰهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَقَالَ تَعاَلَى: إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ، وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِي، وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ، وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءَ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللّٰهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيْنَ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ، وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
اللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَاْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ، وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ بُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ، رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar