Oleh : Demaryani, S.Pd (Aktivis Muslimah Purwakarta)
Tanah merupakan hal krusial yang menyangkut kehidupan khalayak umat, tempat berlangsungnya semua aktivitas manusia, sumber pangan, tempat tinggal, bahkan pembangunan peradaban dimulai dari sana. Untuk itu, tanah menjadi hak dasar setiap individu untuk dikelola demi keberlangsungan hidup.
Dilansir dari Kompas.com, Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) menggulirkan wacana penertiban tanah terlantar yang tidak dimanfaatkan dalam kurun waktu dua tahun. (kompas.com 18/07/25)
Pengambilan tanah ini tidak hanya berlaku untuk tanah yang bersertifikat Hak Guna Usaha (HGU), atau Hak Guna Bangun (HGB) saja, namun negara bisa mengambil tanah berstatus hak milik, yang artinya tanah pribadi apabila terlantar.
Sekilas kebijakan ini tampak berpihak kepada rakyat. Namun, Kebijakan yang nampaknya paripurna, apakah benar untuk rakyat jelata atau permainan kapital semata?
Kapital-Liberalis
Permasalahan tanah terlantar, sejatinya merupakan manifestasi dari masifnya sistem kapitalime yang diemban masyarakat. Sistem ekonomi ini mengedepankan materi dan keuntungan dalam regulasinya, dan bukan untuk kepentingan umat. Dampak yang terasa pada sistem ini yakni kepemilikan aset, tanah, dan modal bersifat individu atau swastanisasi. Imbasnya perputaran ekonomi dan kekayaan, hanya berkutat disekeliling pemegang raksasa modal dan mitranya saja, maka tidak heran jika tanahpun dijadikan sebagai komoditas, dan bukan amanah publik.
Akhirnya, ketika sistem kapitalis menjadikan tanah sebagai komoditas, maka yang berlaku bukan nilai kemaslahatan umat, melainkan keuntungan pribadi/pemilik modal semata. Komersialisasi ini merupakan ciri khas sistem kapitalis yang menganggap tanah sebagai barang bahkan properti yang bisa diperjualbelikan.
Sistem ini menjadikan nilai tanah tidak dilihat dari segi manfaat dan keberlangsungan untuk umat/peradaban, melainkan hanya berlaku pada nilai tukar ekonomis saja, diperhitungkan seberapa menguntungkan jika tanah ini diprivatisasi. Artinya, nilai komoditas ini tidak akan mengacu pada hak dasar umat, namun untuk mengeruk keuntungan setingi-tingginya meskipun harus mengorbankan rakyat.
Parahnya di sistem liberal ini, tanah dalam skema HGU dan HGB lebih banyak dikuasai korporasi besar, sementara rakyat kecil kesulitan memiliki lahan untuk tempat tinggal, bertani, atau berdagang. Selaras dengan nilai tukar ekonomis tadi, Negara justru menjadi fasilitator kepentingan pemodal, bukan pelindung hak rakyat. Penarikan tanah telantar bahkan bisa menjadi celah pemanfaatan tanah untuk oligarki.
Misalnya ketika kepemilikan tanah berhasil dikuasai, alih-alih mendistribusikannya kepada umat, namun malah menawarkan lahan tersebut kepada pemilik modal atau investor besar, dengan dalih program pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal sejatinya investor ini adalah para oligarki yang sebagian besar memegang alur perekonomian kapitalis bahkan politik.
Di saat yang sama, kita sering melihat, banyak tanah milik negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum justru dibiarkan terbengkalai. Sayang sekali, tanah kosong ini tidak dikelola untuk kepentingan pembangunan, pertanian, perumahan, atau kegiatan produktif lainya demi kepentingan umat. Malah, pemerintah pun belum memiliki rencana yang jelas untuk memanfaatkan lahan terlantar itu. Sehingga dapat memicu penyalahgunaan atau pengelolaan tidak tepat sasaran.
Selain itu, amat berpotensi menimbukan konflik dan sengketa, serta tidak memberikan kontribusi ekonomi untuk rakyat. Bahkan bisa jadi rakyat kembali menjadi korban, sementara pengusaha mendapat kemudahan. Artinya, ketidaktegasan pengelolaan aset-aset tersebut, ketidakjelasan kepemilikan tanah sitaan, lemahnya perencanaan tata ruang, dan minimnya pengawasan, masih menjadi PR bagi intansi untuk wacana penertiban tanah terlantar ini. Alih-alih mengkondusifkan lahan malah menimbulkan dampak kerugian ekonomi tadi, karna tidak dimanfaatkan.
Termasuk dalam hal pengelolaan tanah, selalu dikaitkan dengan ketersediaan anggaran, seolah kepemilikan tanah hanya bermanfaat jika menguntungkan secara finansial. Pelaku ekonomi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan, berpandangan bahwa sebidang tanah bernilai ketika menghasilkan materi/keuntungan. Dijual, disewakan atau bahkan menjadi properti investasi dan komersialisasi.
Padahal, tanah adalah sumber kehidupan, bukan sekedar hamparan fisik yang dipijak, tapi merupakan komponen dasar kehidupan umat. Tempat tinggal, pertanian, perkebunan, peternakan, yang artinya penunjang keberlangsungan manusia. Hal ini menjadikan tanah memiliki nilai sosial, dan ekologis yang penting untuk umat.
Namun, kapitalisme menjadikan semua hal, termasuk tanah, tunduk pada kepentingan bisnis dan investor, serta memberikan kesempatan seluas-luasnya pada akumulasi kepemilikan pribadi tanpa batas-batas yang jelas. Sehingga rakyat kecil, petani kecil, buruh tani, peternak kecil dll, yang merupakan pelaku utama perputaran ekonomi menjadi semakin tersingkirkan.
Ekonomi kapitalisme, menganut sistem bebas milik. Sehingga, sang pemodal/investor dapat menguasai apapun termasuk hal-hal krusial bahkan aset negara, Meski harus mengorbankan alam dan rakyat, demi mencapai tujuannya, yakni keuntungan. Sehingga, wacana kebijakan penertiban tanah/lahan untuk didistribusikan kembali kepada rakyat, akan terasa sulit dicapai apabila ekonomi kapitalis ini masih amat erat diemban.
Solusi Kaffah Persoalan Tanah
Kepemilikan tanah yang adil dan terarah akan bisa diwujudkan oleh institusi Islam. Misalnya, dalam sistem Islam, kepemilikan harta termasuk tanah dikategorikan dalam tiga bentuk, yakni: pertama, kepemilikan pribadi (Milk al-fard) seperti rumah pribadi, lahan pertanian, kendaraan dan tabungan. Kedua, kepemilikan umum/rakyat (Milk al-Amm), contohnya tanah yang mengandung SDA berlimpah, karena umat muslim berserikat dalam tiga hal yakni air, padang rumput dan api. Komponen ini adalah mutlak kepemilikan umat dan haram hukumnya untuk diprivatisasi. Ketiga, kepemilikan negara (Milk al-Dawlah), contohnya tanah kharajiyah.
Disini negara berperan sebagai wakil umat untuk mengolah Amanah milik Allah, bertanggung jawab mengelola, mengatur dan mendistribusikan SDA secara bijak, untuk kepentingan rakyat. Maka Islam menjadikan tanah/lahan, sumber daya alam, menjadi kepemilikan dan amanah publik yang harus diriayyah dan dipergunakan untuk khalayak umat, dan memastikan tidak ada penyalahgunaan didalamnya.
Firman Allah Swt : "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..." (QS. Al-Baqarah: 29)
Berdasarkan ayat diatas, Allah mempersiapkan bumi dan segala isinya untuk kepentingan manusia. Yakni untuk dimanfaatkan dan dipergunakan untuk kelangsungan hidup, untuk semata-mata beribadah kepada Allah Ta’ala. Artinya, bukan untuk diprivatisasi atau dimonopoli oleh segelintir manusia. Kembali lagi kepada nilai-nilai ekologis yang berlaku disini bahwa tanah adalah asset umat untuk fasilitas kehidupan, bukan properti bisnis ataupun komoditas dagang.
Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim: "Barang siapa yang menghidupkan tanah mati (yang tidak dimiliki siapa pun), maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. Bukhari, no. 2335; Muslim, no. 1551)
Dalam hadis tersebut, kepemilikan atas tanah diberikan Islam kepada siapapun yang menghidupkan atau memanfaatkannya. Dalam konteks ini, tanah tersebut berupa tanah kosong yang bukan milik individu atau negara.
Menurut pendapat ulama, dalam kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid dan Al-Kharaj karya Abu Yusuf (ulama besar dari mazhab Hanafi) disebutkan: “Jika seseorang memiliki tanah namun tidak memanfaatkannya dalam jangka waktu yang lama, maka negara dapat mencabut haknya jika itu menimbulkan kerugian bagi umat, dan memberikannya kepada orang lain yang siap mengelolanya.”
Artinya, berbeda dengan sistem kapitalis tadi, bahwa Islam mengambilalih tanah terlantar untuk maksud dimanfaatkan kembali oleh orang yang sanggup mengelola tanah tersebut. Atau dikelola oleh negara dan didistribusikan kembali kepada rakyat. Bukan sertamerta ditawarkan kepada investor demi keuntungan semata. Pengambilan tanah ini pula, tidak lantas mencabut atau menghapus kepemilikan sah tanah secara mutlak, namun hanya berupa penertiban pengelolannya saja untuk kemaslahatan. Artinya, tanah yang ditarik oleh negara bukan untuk dikomersilkan, tapi untuk dikembalikan kepada umat yang membutuhkan.
Sesuai dengan keterangan ayat diatas, dalam Islam diharamkan untuk memberikan hak kepemilkan negara kepada swasta atau perorangan. Jelas, menyerahkan lahan kepada perorangan akan menciptakan kesenjangan, ketidakmerataan dan monopoli lahan.
Karena Negara Islam berfungsi sebagai (ra’ain) pengelola, bukan kepemilikan mutlak, sehingga tidak berwenang untuk menyerahkan lahan kepemilikan negara kepada swasta. Hal ini mencakup padang rumpat, air, api, dan hutan yang haram hukumnya untuk diprivatisasi.
Negara Islam akan mengelola tanah-tanah milik negara untuk proyek strategis yang menyentuh kebutuhan rakyat: permukiman, pertanian, infrastruktur umum. Bukan untuk dijual ke asing atau dikuasai korporasi. Tujuannya bukan laba, melainkan kesejahteraan dan keberkahan. Islam memiliki mekanisme pengelolaan tanah termasuk tanah terlantar dan tanah mati.
Wallahualam bishshawwab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar