Sekolah Rakyat di Tengah Kemiskinan Struktural: Saat Nilai Moral Bertemu Realitas Sosial


Oleh : Ika Putri Novitasari, S.Pd

Dalam sebuah kunjungannya di Sentra Terpadu Dalam forum pembelajaran yang berlangsung di Sentra Terpadu Prof. Soeharso Surakarta, Menteri Sosial Republik Indonesia, Saifullah Yusuf lebih dikenal sebagai Gus Ipul menyampaikan pesan yang bernilai edukatif kepada para siswa Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 17 Surakarta. Dalam penyampaiannya, beliau menekankan bahwa kedisiplinan bukan sekadar kebiasaan personal, melainkan fondasi karakter yang menentukan arah hidup serta berperan strategis dalam membentuk keberhasilan seseorang di masa mendatang. Di hadapan para siswa yang berasal dari latar belakang sosial dan ekonomi yang beragam, Gus Ipul menggarisbawahi bahwa kedisiplinan adalah karakter dasar yang harus dimiliki untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Tidak dapat dipungkiri, nilai kedisiplinan memiliki peran sentral dalam pembentukan karakter dan keberhasilan individu. Ia menumbuhkan sikap teguh dalam menjalani setiap proses kehidupan, membiasakan kepatuhan pada aturan sebagai bentuk kedewasaan, serta mendorong kemampuan untuk mengelola diri dengan konsistensi yang mencerminkan kematangan pribadi. Dalam banyak pengalaman tokoh besar dan individu sukses di berbagai bidang, disiplin selalu muncul sebagai salah satu kunci keberhasilan.

Sekalipun kedisiplinan berperan sebagai dasar pembentukan perilaku, dalam lanskap sosial yang ditandai oleh ketimpangan pendidikan dan kemiskinan sistemik, ia perlu ditopang oleh kebijakan dan sistem yang adil serta menyeluruh. Masalah yang dihadapi kelompok miskin menuntut penyelesaian yang melampaui aspek personal, menuju perubahan pada tataran sistem dan struktur yang membentuk realitas mereka. Sebaliknya, kemiskinan yang membelenggu sebagian besar masyarakat merupakan bentuk kemiskinan struktural yang lahir dari ketimpangan sistemik.

Inisiatif pemerintah melalui Program Sekolah Rakyat (SR) merupakan bentuk intervensi kebijakan yang bertujuan membuka ruang pendidikan bagi kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan oleh hambatan ekonomi struktural. Program ini merupakan bagian dari inisiatif strategis Presiden Prabowo Subianto dalam upaya memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi sebuah persoalan laten yang tak kunjung terselesaikan akibat terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap pendidikan yang bermutu dan merata. Secara administratif, langkah ini patut diapresiasi.

Namun, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah: sejauh mana program ini dapat benar-benar mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat miskin? Sebab, realitas hari ini menunjukkan bahwa kemiskinan bukan hanya akibat dari keterbatasan pendidikan, tetapi juga karena sistem ekonomi yang timpang dan eksklusif. Bahkan lulusan yang telah memperoleh pendidikan pun tidak secara otomatis dapat memasuki dunia kerja, mengingat sempitnya ketersediaan lapangan pekerjaan serta tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih terus berlangsung di berbagai sektor ekonomi.

Sistem kapitalisme yang melandasi kebijakan ekonomi saat ini telah menggeser posisi negara dari pengemban tanggung jawab sosial menjadi sekadar pengatur mekanisme pasar, sehingga fungsi perlindungan terhadap rakyat menjadi semakin lemah. Negara lebih berperan sebagai regulator yang tunduk pada kepentingan oligarki ekonomi ketimbang sebagai pengurus kebutuhan dasar masyarakat. Di tengah kondisi ini, program-program seperti SR kerap kali hanya menjadi solusi tambal sulam yang tidak menyentuh akar masalah.

Sekolah Rakyat memang memberikan layanan pendidikan gratis. Di sisi lain, banyak sekolah negeri reguler masih dihadapkan pada persoalan yang kompleks, mulai dari kekurangan tenaga pendidik, disparitas kualitas pembelajaran, hingga sarana dan prasarana yang belum layak. Dalam konteks ini, kehadiran Sekolah Rakyat secara implisit merefleksikan bahwa sistem pendidikan formal belum sepenuhnya inklusif dan masih menyisakan jurang akses bagi kelompok masyarakat tertentu.

Lebih jauh, pendidikan yang ditawarkan pun tidak terlepas dari tantangan lain: apakah ia mampu mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi dunia kerja yang terus berubah? Pendidikan, meskipun berkualitas, tidak akan mampu memberikan dampak transformatif terhadap kesejahteraan masyarakat jika tidak dibarengi dengan sistem ekonomi yang mendukung, berpihak, dan mampu menciptakan keadilan distributif secara nyata.

Dalam pandangan sistem Islam, pendidikan bukan sekadar sarana transfer ilmu, melainkan fondasi peradaban yang dibangun oleh negara guna mewujudkan masyarakat berilmu, berakhlak, dan sejahtera dengan jaminan hak yang menyeluruh bagi setiap individu. Dalam sistem Islam, pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara dan wajib disediakan oleh negara tanpa memandang status ekonomi. 

Dalam sistem Islam, negara memikul tanggung jawab penuh untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses secara cuma-cuma oleh seluruh warga, dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. 

Dalam sistem Islam, pendidikan dibiayai sepenuhnya oleh negara melalui Baitul Mal, tanpa ketergantungan pada utang asing atau kapitalisasi swasta, dengan pengelolaan yang menjunjung tinggi keadilan dan amanah. Sumber pendanaannya mencakup berbagai pos keuangan syariah seperti zakat, kharaj, jizyah, serta hasil pengelolaan kepemilikan umum yang diperuntukkan bagi kemaslahatan umat secara kolektif.

Negara dalam Islam tidak hanya berfungsi sebagai regulator, tetapi sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung) yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan seluruh warganya. Dalam paradigma Islam, negara tidak sekadar bertindak sebagai penyelenggara layanan dasar, tetapi sebagai entitas pengatur yang memiliki tanggung jawab moral dan struktural dalam memastikan terpenuhinya hak-hak fundamental setiap warga negara. Pemenuhan hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kebutuhan dasar merupakan bentuk nyata komitmen negara dalam menjaga harkat dan martabat manusia, sebagaimana diamanahkan oleh sistem Islam yang menempatkan kesejahteraan umat sebagai prioritas utama. Sistem ini dibangun di atas prinsip keadilan distributif, di mana kekayaan tidak berputar pada segelintir kelompok, tetapi dikelola dan dialirkan secara adil melalui mekanisme yang sistemik dan berbasis nilai-nilai kemanusiaan serta keberpihakan pada publik.

Penanggulangan kemiskinan tidak akan efektif jika terbatas pada pendekatan simbolik seperti pembukaan sekolah atau distribusi bantuan pangan, tanpa menyentuh akar persoalan yang bersifat struktural dan sistemik. Yang mendesak adalah perombakan sistemik yang menyentuh akar persoalan, agar kemiskinan tidak terus-menerus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan ini menuntut transformasi yang mendasar, dari sistem ekonomi yang eksploitatif menuju sistem yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.

Pesan Gus Ipul tentang pentingnya disiplin tetap relevan. Namun, disiplin harus disertai dengan keberpihakan sistemik agar individu tidak hanya berjuang sendirian melawan keterbatasan. Negara harus hadir sepenuhnya, bukan hanya dalam bentuk program, tetapi dalam sistem yang adil dan menyeluruh. Sebab, dalam masyarakat yang sehat, keberhasilan individu bukan hanya ditentukan oleh usaha pribadi, tetapi juga oleh sistem yang mendukung dan memberi ruang bagi semua untuk tumbuh dan berkembang secara setara.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar