Oleh: Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Lebih dari 2.000 bangku kosong di Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Samarinda menjadi tanda tanya besar yang tak boleh dianggap remeh. Bukan hanya soal rendahnya angka pendaftar, tapi tentang turunnya kepercayaan publik terhadap pendidikan negeri. Pernyataan ini disampaikan oleh Darlis Pattalongi, Sekretaris Komisi IV DPRD Kalimantan Timur. Ia menyebut bahwa kondisi ini harus disikapi sebagai peringatan serius bagi penyelenggara pendidikan.
Fenomena ini tidak terjadi secara kebetulan atau insidental. Ia mencerminkan gejala krisis sistemik yang tengah dialami oleh dunia pendidikan kita. Krisis ini tak dapat diselesaikan hanya dengan promosi sekolah, perbaikan fasilitas, atau program insentif. Diperlukan perubahan menyeluruh yang menyentuh akar persoalan, yaitu paradigma sistem pendidikan itu sendiri.
Sekolah Negeri Kehilangan Daya Tarik
Tren meningkatnya minat masyarakat terhadap sekolah swasta, khususnya berbasis Islam, menunjukkan bahwa banyak orang tua kini mencari lembaga pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek akademik, tetapi juga pembentukan karakter dan nilai keislaman.
Sekolah negeri dianggap gagal membentuk kepribadian anak secara menyeluruh. Kurikulum terlalu fokus pada nilai-nilai akademik dan kelulusan administratif, namun minim muatan ruhiyah. Di sisi lain, lingkungan sekolah negeri dinilai kurang kondusif dari segi moral, kedisiplinan, dan suasana belajar. Ini menjadi alasan logis mengapa orang tua mulai meninggalkan pendidikan negeri.
Rendahnya minat terhadap sekolah negeri bukan hanya soal persepsi, melainkan juga pengalaman nyata. Banyak sekolah negeri menghadapi keterbatasan sarana dan prasarana: ruang kelas yang padat atau rusak, kurangnya laboratorium dan perpustakaan, hingga minimnya kebersihan dan kenyamanan. Hal ini diperparah oleh rasio guru dan siswa yang tinggi, menjadikan pembelajaran kurang personal dan rawan kehilangan arah.
Sementara itu, sekolah swasta, terutama yang berbasis Islam, menawarkan kelas yang lebih kecil, pendekatan personal, serta integrasi kurikulum agama dan akhlak yang lebih kuat.
Bukan hanya itu, sekolah swasta cenderung punya keunggulan dalam inovasi program. Mereka menawarkan bilingual program, full-day school, pendidikan karakter, dan pelatihan kepemimpinan atau teknologi yang jarang dimiliki sekolah negeri. Di sisi lain, keterlibatan orang tua dalam kegiatan sekolah swasta biasanya lebih aktif. Ini menciptakan komunikasi yang sehat dan sistem pendidikan yang terasa lebih terawasi secara moral maupun akademik.
Tak sedikit pula orang tua mempertimbangkan faktor gengsi sosial. Di banyak daerah, sekolah negeri dikaitkan dengan siswa dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Hal ini membentuk stigma dan persepsi sosial yang turut memengaruhi keputusan.
Data dan Realitas yang Menguatkan
Kekhawatiran masyarakat bukan tanpa dasar. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 72 dari 81 negara dalam aspek literasi membaca. Sementara dalam bidang matematika dan sains, posisi Indonesia juga masih berada di bawah rata-rata global.
Selain itu, data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan adanya ketimpangan mutu antara sekolah negeri dan swasta, serta antara daerah perkotaan dan pedesaan. Kesenjangan ini tidak hanya terjadi pada fasilitas fisik, tapi juga pada kompetensi guru, kinerja kepala sekolah, dan dukungan manajemen pendidikan. Ini menciptakan ketimpangan sistemik yang tidak bisa diatasi hanya dengan pelatihan atau insentif.
Di tengah itu semua, reformasi kurikulum yang silih berganti dari KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka belum mampu membenahi kualitas pendidikan secara menyeluruh. Perubahan hanya terjadi pada tataran teknis, tanpa menyentuh fondasi ideologis pendidikan.
Evaluasi Harus Menyentuh Sistem
Ketika pemerintah daerah atau pusat menyerukan "evaluasi total" pendidikan, maka evaluasi itu semestinya diarahkan pada aspek yang paling mendasar: paradigma dan sistem yang melandasi seluruh bangunan pendidikan nasional.
Selama sistem pendidikan berada dalam kerangka sekularisme—yang memisahkan agama dari kehidupan—maka pendidikan akan terus kehilangan arah. Pendidikan tak lagi diarahkan untuk membentuk insan beriman dan bertakwa, tetapi diarahkan semata untuk memenuhi tuntutan dunia kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Negara bertindak sebagai fasilitator, bukan pemimpin peradaban. Guru dijadikan pekerja teknis, bukan murobbi (pendidik) ruhani dan akal. Arah pendidikan menjadi pragmatis dan materialistik. Pendidikan direduksi menjadi komoditas, bukan proses pembentukan manusia seutuhnya.
Islam Menawarkan Sistem Pendidikan Alternatif
Islam memiliki sistem pendidikan yang paripurna. Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah ibadah dan kewajiban, bukan jasa yang dikomersialisasi. Rasulullah ï·º bersabda:
"Thalabul 'ilmi faridhatun 'ala kulli muslim"
Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim. (HR. Ibnu Majah)
Allah SWT juga berfirman: "Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadalah: 11)
Sistem pendidikan Islam menjadikan negara sebagai penanggung jawab utama. Pendidikan diberikan secara gratis, berkualitas, dan berlandaskan akidah Islam. Kurikulum disusun untuk membentuk manusia yang beriman, cakap ilmu, dan siap menjalankan tugas sebagai hamba Allah dan pemimpin bumi (khalifah fi al-ardh).
Sejarah membuktikan keberhasilan sistem ini. Di era Daulah Abbasiyah, Baitul Hikmah menjadi pusat riset dan terjemahan ilmu pengetahuan dunia. Madrasah Nizamiyah melahirkan ulama besar seperti Imam Al-Ghazali. Universitas Al-Qarawiyyin dan Al-Azhar menjadi pusat pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan selama berabad-abad. Semua ini dilakukan tanpa biaya dari peserta didik, tanpa diskriminasi sosial, dan dalam atmosfer yang penuh adab serta ketakwaan.
Penutup
Ribuan bangku kosong di sekolah negeri bukan sekadar data, melainkan cermin dari turunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan yang dijalankan dalam kerangka sekuler dan kapitalistik. Perbaikan administratif tak akan cukup jika akar sistem tidak disentuh.
Sudah saatnya kita tidak hanya mengevaluasi kinerja lembaga pendidikan, tetapi juga mengganti sistem pendidikan itu sendiri dengan sistem yang benar. Islam memiliki sistem pendidikan yang terbukti membangun peradaban besar di masa lalu, dan layak diterapkan kembali hari ini.
Kita membutuhkan pendidikan yang tak hanya mencetak generasi pintar, tapi juga berkepribadian Islam. Pendidikan yang tidak sekadar mengejar ijazah, tetapi membentuk arah hidup. Dan itu hanya bisa terwujud dalam sistem Islam yang menaungi seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan.
Wallahu’alam bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar