Oleh : Indah Nurzannah S.Sos
Danau Toba sedang tidak baik-baik saja. Dalam beberapa minggu terakhir, danau vulkanik terbesar di dunia ini mengalami krisis lingkungan yang mengkhawatirkan. Ikan-ikan mati massal, air berubah warna menjadi keruh kecokelatan, dan titik-titik kebakaran hutan terus muncul di sekitarnya. Semua ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan akumulasi dari kelalaian sistemik sebuah ironi pahit dari proyek besar yang katanya demi kemajuan, tapi nyatanya menyisakan penderitaan.
Puluhan ton ikan budidaya mati mengapung di permukaan air. Peternak lokal merugi, tetapi negara abai. Data dari berbagai sumber menyebut bahwa penurunan drastis kadar oksigen di air (hanya 3,9 mg/l dari standar aman 5 mg/l) menjadi penyebab utama. Tapi ini bukan sekadar soal oksigen ini tentang ketimpangan. Ketika sistem dibiarkan berjalan untuk kepentingan korporasi dan oligarki pariwisata, masyarakat lokal hanya dijadikan penonton atas kehancuran ruang hidupnya sendiri.
Suhu ekstrem, kemarau panjang, dan angin kencang mengangkat lumpur dari dasar danau. Tapi siapa yang selama ini membebani danau ini dengan puluhan ribu keramba apung demi pasokan ikan untuk pasar besar? Siapa yang mengizinkan pembukaan lahan, penebangan hutan, dan pembangunan tanpa kontrol lingkungan yang serius? Jawabannya: mereka yang duduk dalam lingkaran kekuasaan oligarki politik dan ekonomi yang menguasai Danau Toba seolah-olah milik pribadi.
Alih-alih menjadi ruang konservasi dan warisan budaya, Danau Toba justru dikerangkeng dalam proyek-proyek raksasa: Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), pembangunan jalan tol, bandara internasional, dan bahkan food estate yang mengorbankan tanah ulayat masyarakat adat. Semua atas nama pembangunan. Tapi pembangunan yang tak melibatkan rakyat hanya akan melahirkan bencana. Dan sekarang bencana itu sedang kita lihat nyata dan menyakitkan.
Masyarakat adat di kawasan Toba sudah lama berteriak. Tapi suara mereka kalah nyaring dibanding gemuruh alat berat dan suara pejabat yang melegitimasi proyek atas nama kemajuan. Kemajuan untuk siapa? Untuk oligarki yang menguasai tanah, air, dan bahkan udara di sekitar danau ini?
Oligarki di Balik Krisis Ekologis
Kerusakan lingkungan di Danau Toba bukan terjadi dalam ruang hampa. Ini adalah akibat dari sistem ekonomi-politik yang membiarkan alam menjadi korban demi kepentingan segelintir elit. Di balik wajah “pembangunan pariwisata”, tersembunyi gurita kekuasaan yang menjadikan tanah adat sebagai komoditas, dan rakyat kecil sebagai korban sampingan.
BPODT (Badan Pelaksana Otorita Danau Toba) yang dibentuk lewat Perpres No. 49 Tahun 2016 justru memperlihatkan betapa eksklusifnya arah pembangunan. Masyarakat adat sering kali tak diajak bicara dalam pengambilan keputusan. Lahan-lahan produktif mereka dialihfungsikan, dan ketika protes muncul, suara mereka dibungkam atas nama “kemajuan”.
Proyek-proyek raksasa ini tidak hanya menyingkirkan rakyat, tapi juga mengabaikan aspek keseimbangan lingkungan. Ribuan keramba jaring apung dilepas tanpa pengawasan kualitas air. Hutan-hutan dibabat untuk memperluas akses wisata. Semua demi satu hal: menghidupi mesin ekonomi oligarki.
Kita sedang menyaksikan bagaimana kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah untuk semua diubah menjadi ladang keuntungan segelintir orang yang punya kuasa dan modal. Dan ketika alam mulai menjerit, mereka tetap sibuk membangun panggung kemewahan.
Bukan Solusi Tambal Sulam, Inilah Jawaban Syariat yang Paripurna
Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya adalah amanah dari Allah SWT, bukan milik pribadi atau korporasi. Dalam Islam, pemimpin adalah raa’in (pengurus umat) dan junnah (pelindung)—bukan fasilitator bisnis oligarki. Rasulullah saw. bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار
Artinya: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa sumber daya alam seperti air dan danau adalah milik umum yang haram dikomersialisasi atau dimonopoli.
Dalam sistem Islam, pengelolaan sumber daya alam dilakukan negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Negara wajib menjaga keseimbangan ekosistem, mencegah kerusakan, dan menindak tegas siapa pun yang mencemari lingkungan. Negara juga tidak boleh menyerahkan pengelolaan hutan, air, dan tanah kepada investor baik lokal maupun asing.
Islam menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam pembangunan, bukan objek pembangunan. Tanah-tanah adat dijaga, hak-hak rakyat dilindungi, dan pembangunan dilakukan berdasarkan prinsip maslahat, bukan laba semata.
Seruan Toba untuk Kembali pada Hukum Allah
Ketika Danau Toba berubah keruh, ikan-ikan mati mengambang, dan hutan terbakar tanpa arah, ini bukan sekadar alarm ekologi ini adalah teguran dari Allah atas kezaliman sistem buatan manusia. Kapitalisme sekuler yang memberi ruang bagi keserakahan oligarki telah terbukti gagal menjaga amanah bumi. Kekuasaan dijadikan alat menjarah, bukan menjaga. Rakyat disisihkan, alam dilukai, dan hukum Allah disingkirkan dari ruang publik.
Kita tak sedang kekurangan regulasi, tapi kehilangan keberanian untuk meninggalkan sistem kufur. Solusinya bukan pada tambal sulam kebijakan, bukan pada ganti pejabat, tapi pada ganti sistem. Islam kaffah hadir bukan sebagai utopia, tapi sebagai satu-satunya sistem yang meletakkan kepemilikan umum, keadilan, dan tanggung jawab ekologis dalam kerangka syariat.
Maka, menyelamatkan Danau Toba dan seluruh kehidupan bukan sekedar soal lingkungan, tapi soal ketaatan. Saatnya umat ini kembali kepada aturan Sang Pencipta. Karena bumi, air, dan seluruh makhluk, hanya akan selamat jika dikelola dengan hukum yang datang dari-Nya: Syariat Islam di bawah naungan Khilafah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar