Pejabat Menuntut Kenaikan Anggaran Disaat Anggaran bagi Rakyat Diefisienkan, Pantaskah?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Terlalu, sikap pejabat negeri ini sungguh melukai hati. Mereka ramai-ramai meminta uang negara agar diberikan kepada mereka untuk mensukseskan berbagai program yang katanya untuk rakyat. Permintaan itu mereka ajukan pada rapat kerja di DPR yang membahas Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 (7-7-2025). 

Sebelumnya, pemerintah begitu memaksa mengefisienkan anggaran di segala bidang demi mensukseskan program andalan MBG. Akibat efisiensi tersebut, banyak sudah rakyat yang jadi korban, karena pada hakikatnya yang ditekan adalah anggapan untuk rakyat secara langsung. Kini mereka sendiri yang tanpa malu meminta kenaikan anggaran.

Mereka adalah Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Rp100,609 miliar), Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Rp728,8 miliar), Kementerian Perindustrian (Rp2,05 triliun), Kemkomdigi (Rp12,6 triliun), Kejaksaan Agung (Rp 18,5 triliun), Komisi Pemilihan Umum (Rp986 miliar), KPK (Rp1,34 triliun), Kementerian Koperasi dan UKM (Rp7,85 triliun), Kementerian Pertahanan (Rp184 triliun), Kementerian ATR/BPN (Rp3,63 triliun), Kementerian Ekraf (Rp2,3 triliun), dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Rp248 miliar).

Ada juga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (Rp1,05 triliun), Kemenpan RB dan BKN (Rp 314,7 miliar), Kementerian Pekerjaan Umum (Rp68,88 triliun), Polri (Rp63,7 triliun), Kementerian PPN/Bappenas (Rp2,01 triliun), Kementerian BUMN (Rp604 miliar), Kementerian Kelautan dan Perikanan (Rp 22,11 triliun, Kementerian Agama (Rp11,1 triliun), Badan Pangan Nasional (Rp16,02 triliun), dan Kementerian Pertanian (Rp44,64 triliun).

Mereka beralasan anggaran yang ditetapkan dalam pagu indikatif tidak mencukupi kebutuhan K/L. Sebagai contoh, anggaran Kemenkraf hanya cukup untuk membayar gaji pegawai. Sedangkan pada K/L lain, kenaikan anggaran tersebut diperlukan untuk pelaksanaan program. Terjadinya kekurangan anggaran ini merupakan dampak kebijakan efisiensi anggaran yang dilaksanakan Presiden Prabowo Subianto.

Sejumlah kementerian akhirnya disetujui DPR untuk mendapatkan tambahan anggaran. Misalnya Kementerian Keuangan (Rp4,8 triliun), Kementerian Agama (Rp36,7 triliun), Kemendiktisaintek (Rp12,535 triliun), dan Perpusnas (Rp1,035 triliun). Sedangkan K/L lainnya masih dalam pembahasan.

Buah si malakama dalam sistem Kapitalisme ketika efisiensi digulirkan, yang menjadi korban adalah rakyat. Tapi ketika dituruti kenaikan anggaran maka terjadi pemborosan dan sebagian besarnya bukan untuk rakyat. Lagi-lagi rakyat hanya jadi korban.

Di dalam sistem kapitalisme yang mendominasi negeri ini, posisi penguasa di hadapan rakyat adalah sebatas regulator dan fasilitator. Negara tidak mengurusi (riayah) kemaslahatan rakyat hingga tertunaikan secara tuntas. Hal ini mereduksi tanggung jawab penguasa untuk mengurus urusan rakyat.

Dalam konteks anggaran, penguasa sudah merasa menjalankan tugasnya ketika mereka membuat rancangan program berikut anggarannya, kemudian merealisasikan program itu ke masyarakat hingga anggaran terserap habis. Ketika program terlaksana dan anggaran terserap 100%, seolah-olah pemerintah telah berhasil. Penguasa tidak memastikan, mengawasi, dan mengevaluasi apakah programnya efektif menyelesaikan problem publik. 

Posisi penguasa yang hanya menjadi regulator dan fasilitator juga mereduksi tanggung jawab penguasa untuk menjaga harta rakyat berupa kekayaan alam yang melimpah ruah sehingga pasti cukup untuk menjadi modal menyejahterakan rakyat. Berbagai tambang diserahkan pada korporasi kapitalis lokal maupun global, sedangkan negara merasa puas hanya mendapatkan bagian dividen dan pajak yang jumlahnya sangat minim jika dibandingkan dengan nilai komoditas hasil tambang. Yang lebih mengenaskan, negara juga membiarkan praktik tambang ilegal marak terjadi sehingga negara tidak mendapatkan apa-apa, kecuali kerusakan masif di darat, udara, dan lautan.

Ketika hasil kekayaan alam masuk ke kantong pengusaha dan tidak masuk APBN, sedangkan kebutuhan keuangan negara amat besar, lantas penguasa menggaungkan efisiensi. Rakyat dipaksa “berhemat”, padahal mereka berdiri di atas kekayaan alam yang luar biasa. Sungguh miris, tetapi inilah kapitalisme yang melegalkan perampokan kekayaan alam sebuah negara oleh para kapitalis sehingga rakyat hanya gigit jari melihat tambang mereka dikeruk, sedangkan layanan publik yang mereka rasakan begitu buruk.

Situasi pengelolaan anggaran yang sudah kacau balau ini diperparah oleh praktik korupsi yang berurat berakar dalam pemerintahan. Penerapan sistem demokrasi yang berbiaya tinggi telah membuat korupsi tumbuh subur sehingga menggerogoti keuangan negara. Alhasil, pengurusan kemaslahatan rakyat makin minimalis.

Berbeda dengan sistem Islam. Islam memosisikan penguasa negara sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat). Berdasarkan predikat raa’in ini, penguasa (khalifah) memiliki tanggung jawab dunia akhirat untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat dengan mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dalam konteks anggaran, penguasa wajib memastikan dua hal, yaitu pemasukan yang cukup dan pembelanjaan yang amanah sesuai syariat Islam. Hal ini tercakup dalam pengelolaan APBN sesuai syariat.

 Ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw.,
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam/khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

APBN dalam sistem ekonomi Islam diperankan oleh baitulmal sebagai lembaga penyimpanan berbagai pemasukan sekaligus bertugas untuk mengalokasikan pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan pos-posnya yang ada menurut syariat. (Syekh Abdul Qadim Zallum, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukmi wa al-Idârah, hlm. 135). 

Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan di dalam Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) hlm. 26, pendapatan negara meliputi tiga bagian, yaitu fai dan kharaj, pemilikan umum, dan zakat. Bagian fai dan kharaj meliputi seksi ganimah (mencakup ganimah, anfal, fai, dan khumus), kharaj, status tanah, jizyah, dharibah (pajak). 

Bagian pemilikan umum meliputi seksi minyak dan gas; listrik; pertambangan; laut, sungai, perairan dan mata air; hutan dan padang (rumput) gembalaan; dan aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Sedangkan bagian zakat meliputi seksi zakat uang dan perdagangan; zakat pertanian dan buah-buahan; dan zakat ternak (unta, sapi, dan kambing).

Dengan semua pemasukan tersebut, negara akan memiliki anggaran yang sangat besar sehingga cukup untuk memenuhi kemaslahatan rakyat. Negara mengelola kekayaan milik umum, termasuk tambang, sehingga hasilnya bisa dirasakan oleh rakyat dalam bentuk layanan publik.

Pembelanjaan harta di baitulmal dilakukan sesuai kebutuhan demi kemaslahatan umat dan negara. Khalifah berwenang menentukan pembelanjaan negara berdasarkan ijtihad dan pandangannya. 

Pos-pos pengeluaran APBN Khilafah meliputi sebagai berikut. Pertama, harta zakat menjadi hak delapan golongan berdasarkan QS. At-Taubah ayat 60:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Kedua, pembelanjaan wajib untuk fakir miskin, ibnusabil, atau untuk jihad. Ketiga, kompensasi jasa untuk negara, misalnya gaji tentara, ASN, hakim, guru, dan sebagainya. Keempat, pembelanjaan karena darurat, seperti bencana longsor, banjir, gempa, dll. Kelima, untuk proyek-proyek kemaslahatan vital yang jika tidak ada, umat akan merasakan kesulitan, seperti jalan raya, sekolah, rumah sakit, dll. Keenam, untuk pembangunan kemaslahatan umat, tetapi sifatnya nonvital (sekunder).

Khilafah akan melakukan pengelolaan APBN secara efisien (sesuai kebutuhan, tidak boros dan tidak pelit) sesuai dengan syariat Islam. Mekanismenya adalah para wali (gubernur) dan amil (bupati/wali kota) melihat kebutuhan masing-masing daerah lalu mengajukan kebutuhan tersebut kepada khalifah. Selanjutnya khalifah menentukan anggaran untuk sebuah wilayah dan membagi anggaran tersebut ke setiap departemen/dinas yang ada di wilayah itu. Departemen/dinas itu akan menyalurkan anggaran dalam bentuk program berdasarkan keputusan khalifah.

Wali/amil akan mengawasi proses penyaluran anggaran ini hingga sampai ke rakyat, baik dalam bentuk layanan (jasa), barang, maupun uang. Wali dan amil akan melakukan evaluasi efektivitas pelaksanaan program dan menyerahkan hasil evaluasi beserta usulan perbaikan kepada khalifah. Mekanisme ini menjadikan seluruh rakyat bisa merasakan layanan publik tanpa kecuali. Semua kebutuhan rakyat akan terpenuhi dengan baik sehingga terwujudlah kesejahteraan rakyat.

Politik pengelolaan anggaran ini didukung oleh iklim politik yang bersih (tidak transaksional), para pejabat dan pegawai yang bertakwa, mekanisme pengawasan harta pejabat oleh khalifah, aktivitas muhasabah oleh rakyat, serta sistem sanksi yang tegas sehingga mampu mencegah terjadinya praktik korupsi. Walhasil anggaran akan dikelola secara amanah sesuai syariat sehingga mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat tanpa kecuali. 

Sudah saatnya Indonesia mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem Islam yang telah terbukti selama 13 abad mensejahterakan rakyatnya sehingga Islam rahmatan lil 'alamin benar-benar dirasakan oleh seluruh alam bahkan cahayanya menyinari dua pertiga dunia. Mari bersama-sama kita mewujudkannya dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar