Oleh : Munawaroh Artiningsih
Isu pengupahan selalu menjadi salah satu persoalan krusial dalam hubungan industrial di Indonesia. Gubernur Jawa Barat periode 2025, Dedi Mulyadi (KDM), baru-baru ini menggagas reformasi pengupahan dengan mengubah sistem Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) yang selama ini berbasis lokasi, menjadi berbasis industri nasional. Gagasan ini menuai dukungan dari kalangan pengusaha, namun ditolak keras oleh buruh, terutama di kawasan industri padat seperti Kabupaten Bekasi.
Bekasi dikenal sebagai pusat manufaktur dan kawasan industri terbesar di Indonesia. Tercatat lebih dari 7.000 perusahaan beroperasi di wilayah ini, dari sektor otomotif, elektronik, hingga tekstil. Tidak heran jika Bekasi memiliki salah satu UMK tertinggi di Jawa Barat. Namun, biaya hidup di Bekasi pun sangat tinggi, sehingga buruh menilai kebijakan baru ini justru akan menurunkan kesejahteraan mereka.
Tulisan ini akan menguraikan secara komprehensif persoalan reformasi pengupahan tersebut, mulai dari gagasan pemerintah, protes buruh, dukungan pengusaha, hingga dampaknya bagi perekonomian dan kehidupan masyarakat. Selain itu, akan dikaji pula bagaimana Islam memandang persoalan pengupahan dan solusi yang ditawarkannya, sehingga menjadi alternatif bagi sistem kapitalistik yang selama ini justru menyengsarakan rakyat.
Rencana Reformasi Pengupahan ala KDM
Kebijakan pengupahan berbasis lokasi selama ini menimbulkan disparitas antarwilayah. UMK Bekasi, misalnya, pada tahun 2025 ditetapkan sekitar Rp5,3 juta, jauh lebih tinggi dibandingkan UMK Kabupaten Garut yang berada di kisaran Rp2,1 juta. Disparitas ini, menurut KDM, membuat investasi cenderung terkonsentrasi di wilayah dengan UMK rendah, sementara daerah dengan UMK tinggi mengalami tekanan kompetitif.
Dengan alasan itu, KDM mendorong perubahan skema pengupahan agar tidak lagi berbasis lokasi, melainkan berbasis industri nasional. Artinya, buruh yang bekerja di sektor industri sejenis akan mendapat standar upah yang sama, tanpa memperhitungkan perbedaan biaya hidup di masing-masing daerah. Dengan cara ini, pemerintah berharap distribusi investasi lebih merata dan beban pengusaha berkurang.
Namun, gagasan ini justru dianggap tidak peka terhadap kondisi nyata buruh, terutama di kota-kota besar seperti Bekasi, Karawang, dan Jakarta. Biaya hidup di kawasan industri padat jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lain, mulai dari biaya kontrakan, transportasi, hingga harga kebutuhan pokok.
Penolakan Buruh Bekasi
Buruh di Bekasi menilai kebijakan ini akan menurunkan daya beli mereka secara drastis. Selama ini saja, dengan UMK tertinggi, banyak buruh masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dasar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025 menunjukkan bahwa biaya hidup layak di wilayah Jabodetabek rata-rata mencapai Rp6,5 juta per bulan, jauh di atas UMK yang berlaku.
Jika UMK diseragamkan berbasis industri nasional, besar kemungkinan upah buruh Bekasi justru akan diturunkan agar sejajar dengan daerah lain. Konsekuensinya, buruh harus menanggung kesenjangan antara pendapatan dan biaya hidup, yang ujungnya berpotensi meningkatkan angka kemiskinan perkotaan.
Selain itu, buruh menilai reformasi pengupahan ini lebih berpihak pada pengusaha. Dengan biaya produksi yang lebih rendah, pengusaha tentu akan mendapatkan keuntungan lebih besar, namun kesejahteraan buruh terabaikan. Tidak heran jika serikat buruh di Bekasi dan sekitarnya segera menggelar aksi protes, menuntut pemerintah membatalkan rencana ini.
Dukungan dari Pengusaha
Berbeda dengan buruh, kalangan pengusaha justru menyambut positif kebijakan KDM. Menurut mereka, UMK berbasis lokasi sering kali membebani industri, terutama sektor padat karya seperti tekstil, garmen, dan sepatu. Dengan tingginya UMK di Bekasi, banyak perusahaan memilih relokasi ke daerah dengan upah lebih rendah atau bahkan ke luar negeri.
Dengan standar pengupahan nasional berbasis industri, pengusaha berharap dapat menekan biaya produksi, meningkatkan daya saing global, dan menarik lebih banyak investasi. Dukungan ini menunjukkan bahwa kebijakan KDM lebih mengutamakan kepentingan kapitalis, bukan kesejahteraan buruh.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, dampaknya terhadap buruh di Bekasi sangat signifikan. Beberapa di antaranya:
1. Daya beli turun – Buruh tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan dasar karena gaji tidak sebanding dengan biaya hidup.
2. Kesenjangan sosial melebar – Ketimpangan antara buruh dan pemilik modal semakin tajam.
3. Kemiskinan perkotaan meningkat – Banyak buruh akan kesulitan membayar kontrakan, biaya pendidikan anak, hingga layanan kesehatan.
4. Potensi konflik industrial – Aksi mogok kerja dan demonstrasi buruh berpotensi meningkat, mengganggu stabilitas ekonomi dan politik.
Artinya, kebijakan ini tidak hanya berimplikasi pada ekonomi, tetapi juga pada stabilitas sosial di wilayah industri besar seperti Bekasi.
Kegagalan Sistem Kapitalisme
Persoalan pengupahan ini tidak bisa dilepaskan dari akar masalah sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, tenaga kerja dipandang semata-mata sebagai faktor produksi yang bisa ditekan demi keuntungan. Upah buruh tidak ditentukan berdasarkan kebutuhan hidup, melainkan berdasar pertimbangan biaya produksi dan daya saing industri.
Akibatnya, meskipun ekonomi tumbuh dan perusahaan meraup laba besar, buruh tetap hidup dalam keterbatasan. Data BPS tahun 2025 menunjukkan, meski klaim pengangguran menurun, angka kesenjangan ekonomi (gini ratio) justru meningkat menjadi 0,405, yang menandakan jurang kaya-miskin semakin lebar.
Fenomena inilah yang terlihat jelas dalam wacana reformasi pengupahan KDM. Buruh makin sulit hidup layak, sementara pengusaha semakin diuntungkan. Sistem kapitalisme kembali terbukti gagal menyejahterakan mayoritas rakyat.
Solusi Islam dalam Persoalan Pengupahan
Islam memiliki paradigma berbeda dalam memandang hubungan kerja. Dalam Islam, bekerja adalah bagian dari nafkah dan upah adalah hak pekerja berdasarkan akad dan hasil kerja, bukan berdasarkan lokasi atau kalkulasi kapitalistik. Rasulullah ï·º bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa Islam menempatkan upah sebagai hak yang harus segera dipenuhi, bukan sesuatu yang bisa ditawar demi keuntungan pengusaha.
Selain itu, dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab menjamin kebutuhan pokok rakyat: sandang, pangan, dan papan. Negara juga wajib menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan gratis bagi seluruh warganya. Dengan demikian, masyarakat tidak bergantung sepenuhnya pada upah kerja untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Dalam Khilafah, upah kerja hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tambahan, bukan kebutuhan pokok. Hal ini berbeda dengan kapitalisme, di mana buruh bergantung sepenuhnya pada gaji untuk membiayai seluruh kebutuhan hidupnya, sementara negara lepas tangan.
Rencana reformasi pengupahan berbasis industri nasional yang digagas KDM menunjukkan bagaimana kebijakan ekonomi dalam sistem kapitalisme cenderung berpihak pada pengusaha, bukan pada buruh. Bagi buruh Bekasi, kebijakan ini jelas mengancam kesejahteraan mereka, mengingat biaya hidup di wilayah industri padat sangat tinggi.
Kebijakan ini juga mencerminkan cacat fundamental kapitalisme: menekan buruh demi keuntungan pemilik modal. Dampaknya bukan hanya penurunan daya beli buruh, tetapi juga meningkatnya kesenjangan dan potensi konflik sosial.
Islam menawarkan solusi berbeda: menjadikan negara sebagai penjamin kebutuhan pokok rakyat, bukan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Upah kerja dipandang sebagai hak atas akad dan kerja yang dilakukan, sementara negara wajib mengelola sumber daya alam dan harta milik umum untuk membiayai kebutuhan rakyat.
Dengan sistem Islam, kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan secara adil, tanpa harus mengorbankan buruh demi keuntungan segelintir kapitalis.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar