Oleh : Citra Dewi, S.Ag
Dunia pendidikan tak hentinya diliputi masalah dan menjadi sorotan. Sebagaimana tujuan dari negara ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, namun setiap hari kita dihadapkan dengan potret pendidikan yang tidak mencerahkan.
Demi efisiensi anggaran dan pemerataan fasilitas pendidikan, puluhan Sekolah Dasar (SD) negeri di Kota Bekasi bakal dilebur atau digabungkan (merger). Dinas Pendidikan (Disdik) mencatat, 50 sekolah masuk daftar rencana merger karena berada di lokasi berdekatan atau memiliki jumlah murid yang minim.
Kebijakan merger bertujuan membuat pengelolaan pendidikan lebih efektif. Dengan jumlah siswa sedikit, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima juga kecil sehingga sulit memenuhi kebutuhan sarana, prasarana, dan pemeliharaan sekolah. Sehingga jika sekolah digabung, maka dana BOS akan lebih besar untuk memperbaiki fasilitas, membeli buku, atau melengkapi peralatan belajar.
Kebijakan tersebut saat ini sudah masuk tahap sosialisai kepada warga sekitar, mulai dari orang tua siswa, RT/RW, lurah, hingga camat.
Sosialisasi ditargetkan rampung pertengahan Agustus sebelum diterbitkan Keputusan Wali Kota (Kepwal) dan Surat Keputusan (SK) penetapan.(Radar Bekasi, 11-08-2025).
Adapun fenomena sekolah yang kekurangan siswa baru ini diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti penurunan angka kelahiran, urbanisasi dan perpindahan penduduk, preferensi orang tua terhadap sekolah swasta atau berbasis agama, serta kondisi sekolah yang tidak layak atau minim tenaga pendidik.
Dahulu sekolah negeri banyak diminati karena biayanya murah, masih disubsidi penuh oleh pemerintah, dan kualitasnya juga dipandang baik, bahkan favorit bagi masyarakat. Sayang, makin hari makin banyak sekolah negeri yang dipandang kurang memperhatikan kualitas pendidikan. Tidak sedikit yang sarana dan fasilitasnya ala kadarnya. Kualitas sekolah negeri itu tidak sesuai dengan harapan para orang tua. Tidak heran, para orang tua lebih memilih sekolah swasta, meski harus mengeluarkan biaya besar.
Dengan ini kita bisa menilai bahwa para orang tua sudah tidak memercayai penyelenggaraan sistem pendidikan oleh pemerintah karena kualitasnya minim.
Dari sini kita dapat melihat bahwa banyaknya sekolah yang tersebar dan minim siswa karena masyarakat sudah lebih sadar untuk memilih sekolah mana yang harus dipilih sebagai tempat anak-anaknya menimba ilmu.
Salah Prioritas
Sudah menjadi rahasia umum, jika biaya pendidikan negara kita amatlah sangat mahal. Rakyat harus banyak menanggung beban yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara. Namun satu sisi kita juga dikejutkan dengan anggaran gaji para pejabat dan dewan yang dinaikkan serta fasilitan mewah yang mereka dapatkan.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) membeberkan penghasilan anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) bisa mencapai sekitar Rp. 230 juta per bulan atau sekitar 2,8 miliar per tahun. Negara harus menyiapkan Rp. 1,6 triliun untuk membayar gaji dan tunjangan 580 anggota DPR sepanjang 2025.
Bagaimana bangsa ini bisa melahirkan generasi yang cerdas jika disuguhkan dengan biaya pendidikan yang mahal?
Padahal pendidikan adalah jantung untuk melanjutkan kehidupan baik bagi generasi mendatang. Jika memang negara benar peduli terhadap kehidupan bangsa, seharusnya pendidikan menjadi prioritas yang mestinya diurusi dan dipastikan dimiliki oleh setiap rakyat.
Meskipun negara mengeluarkan banyak bantuan, namun tidak cukup. Kiranya itu hanya formalitas dan bukan langkah yang serius. Faktanya, banyak juga bantuan pendidikan yang tidak tepat sasaran.
Masyarakat kecil, banyak yang putus sekolah bahkan tidak memiliki pendidikan sama sekali.
Pendidikan akhirnya menjadi alat kapitalistik untuk meraih keuntungan bukan lagi kepentingan yang wajib diterima oleh rakyat.
Berbanding dengan Islam
Dalam Islam jelas pendidikan adalah kebutuhan primer. Negara dalam konsep Islam yaitu Khilafah akan menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan mendasar yang wajib dimiliki oelah rakyat. Karena menuntut ilmu sendiri dalam Islam adalah kewajiban bagi setiap muslim tanpa mengenal usia.
Pembiayaan pendidikan menurut Islam tidak dibebankan kepada rakyat, tetapi dikelola oleh negara. Penguasa negara Islam (Khilafah) merealisasikan fungsi pelayanan itu sebagaimana tuntunan syariat.
Dalam Khilafah, negara wajib menyediakan pendidikan gratis, berkualitas, dan merata untuk seluruh rakyat tanpa membedakan status sosial atau wilayah tempat tinggal.
Penerapan sistem ekonomi Islam memberikan jaminan tersedianya sumber pendanaan yang besar dan melimpah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan di dalam kitab Nizham al-Iqtishadiyi fii al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) Bab “Baitulmal” hlm. 537, bahwa untuk melaksanakan tanggung jawab mewujudkan layanan pendidikan terbaik dan gratis untuk seluruh rakyat, Khilafah akan memanfaatkan sumber dana yang besar dan beragam yang dimilikinya. Di antaranya dari pos fai dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara. Sumber dana tersebut berupa ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan pajak (dharibah).
Selain itu, ada juga dana dari pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Jika sumber itu tidak mencukupi atau dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) saat ditunda pembiayaannya, negara akan meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim.
Dalam Islam pendidikan tidak dipandang sebagai sumber pendapatan, namun sebagai kebutuhan pokok publik yang dijamin oleh negara, sehingga khilafah akan menghapus segala bentuk komersialisasi dalam pendidikan.
Khilafah juga sangat memprioritaskan anggaran pendidikan. Sekolah di dalam Khilafah adalah sekolah-sekolah terbaik dengan peserta didik yang datang dari seluruh penjuru dunia. Tidak ada sekolah yang kosong karena kualitas buruk.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar