Oleh : Ratih Ramadani, S.P. (Praktisi Pendidikan)
Samarinda diguncang oleh kasus yang memilukan, di mana seorang pemuda berinisial A (21) dilaporkan ke pihak berwajib oleh Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur karena diduga telah melakukan hubungan sedarah dengan adik kandungnya sendiri. Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini menjadi sorotan publik dan memicu keprihatinan mendalam atas lemahnya perlindungan dalam lingkungan keluarga.
Peristiwa yang sangat memilukan ini, baru diketahui oleh TRC PPA Kaltim dan langsung melakukan pendampingan terhadap korban pada Rabu, (6/8/2025) malam. Korban yang diketahui masih berusia 15 tahun dan sedang duduk dibangku kelas 1 SMA itu, diduga telah melakukan hubungan sedarah oleh kakak kandungnya sejak ia masih duduk dibangku kelas 3 SMP. Sudirman, Kepala biro hukum TRC PPA Kaltim menyampaikan hubungan sedarah ini sangat mencoreng fungsi seorang kakak yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom bagi saudaranya.
Akar Masalah
Pada era digital kini, media informasi menjadi sarana pengurusan nilai-nilai dan budaya yang sangat efektif. Media dengan basis sekuler dan liberal berpotensi besar melahirkan individu serta masyarakat yang hedonistik, permisif, dan sekuler. Tidak heran jika pelaku inses banyak yang terinspirasi oleh media. Kemudahan untuk mengakses konten porno membuat kejahatan inses semakin marak.
Miris, negara terkesan abai untuk menciptakan ruang digital yang aman dan beradab. Alih-alih menutup dan memblokir semua situs porno, negara justru seolah-olah tidak berdaya dan kehilangan nyali. Upaya pemerintah untuk memperkuat regulasi dalam pencegahan dan penanganan pornografi masih belum efektif. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan bahwa regulasi berupa Peraturan Presiden (Perpres) 25/2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi sudah tidak kompatibel dengan perkembangan isu pornografi yang sedang dihadapi. Artinya pemerintah memang belum serius menangani pornografi.
Miskin Harta, Miskin Iman
Selain karena paparan media, kemiskinan struktural yang lahir dari penerapan sistem yang memisahkan aturan kehidupan dengan agama (sekularisme) telah terbukti menjadi faktor penting yang memicu kemunculan perilaku inses. Keluarga menjadi tidak harmonis karena orang tua sibuk mencari nafkah hingga anak tidak terurus dan kurang perhatian. Kasus inses kakak adik di Samarinda menjadi bukti bahwa keluarga broken home berujung kakak adik melakukan hubungan sedarah.
Kemiskinan juga telah membuat sebagian masyarakat mau tidak mau harus tinggal di rumah yang tidak layak. Rumah kecil tanpa sekat atau kontrakan satu petak jelas membuat penghuninya kehilangan privasi. Bahkan, tidak jarang semua anggota keluarga terpaksa harus tidur bersama, disinilah awal mula inses.
Ada juga kasus yang muncul lantaran sang ibu sibuk mencari nafkah, sedangkan ayah tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Mereka pun tidak punya pilihan selain bertukar peran. Di rumah, ayah harus mengurus anak perempuannya. Dipengaruhi oleh tontonan dengan konten pornografi yang makin bebas dan adanya budaya permisif, lama-kelamaan pikiran jahat pun datang.
Semua itu diperparah oleh sistem kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama (Sekularisme), bahkan menjangkiti masyarakat. Saat agama hanya dianggap sebatas urusan pribadi, bahkan cukup dijadikan sebagai identitas di KTP saja, seseorang tidak akan peduli dengan dosa. Selama membawa kesenangan, kemaksiatan pun akan dilakukan. Mereka tidak sadar bahwa kesenangan yang didapat hanya sesaat, sedangkan kerusakan yang ditimbulkan luar biasa buruknya.
Oleh karenanya, selama sistem kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama masih diterapkan maka kombinasi miskin harta dan miskin iman akan terus bermunculan. Artinya, benih-benih inses akan terus menemukan lahan yang subur. Oleh karenanya, dibutuhkan solusi yang sistemis. Kita tidak bisa hanya mencukupkan solusi pada satu aspek saja. Apalagi jika hanya menuntut peran masyarakat dan mengandalkan doa saja, sedangkan negara terus abai pada tanggung jawabnya.
Seharusnya pemerintah lebih serius untuk melakukan tindak pencegahan, misalnya dengan menutup semua situs porno secara permanen. Pemerintah juga harus memberlakukan sanksi tegas bagi para pelaku inses agar kejahatan ini tidak terus-menerus terulang, bukan sekadar menerapkan regulasi basa-basi.
Tampak nyata bahwa aturan buatan manusia yang lahir dari sistem sekulerisme tidak mampu membentengi manusia dari kerusakan, apalagi menjadi solusi. Masihkah kita berharap pada sistem rusak ini? Saatnya umat Islam kembali kepada aturan Islam, aturan yang datang dari Al-Khaliq Al-Mudabbir.
Islam Menutup Tiap Celah Inses
Perbuatan inses merupakan sebuah keharaman. Ini sebagaimana yang tertulis di dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 23, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara perempuan sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dengan pengharaman ini, wajib bagi negara untuk menutup setiap pintu yang bisa mengantarkan pada perilaku inses. Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, sistem ekonomi Islam menjamin terwujudnya kesejahteraan yang merata bagi segenap rakyat, yaitu melalui pelaksanaan sejumlah aturan yang terkait. Misalnya aturan tentang nafkah yang mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan agar kewajiban bekerja bagi laki-laki bisa ditunaikan.
Begitu juga aturan tentang pengelolaan sumber daya alam milik umat yang harus dikelola dengan amanah dan dikembalikan seluruh keuntungannya untuk mewujudkan pelayanan atas umat. Demikian pula aturan soal pos belanja baitulmal yang salah satunya adalah pos santunan yang diperuntukkan bagi orang-orang lemah, tidak mampu bekerja, dan para perempuan yang tidak memiliki wali. Dengan pelaksanaan sistem ekonomi Islam, orang tua akan lebih mudah melaksanakan fungsinya. Celah kemiskinan pun bisa tertutup dengan sempurna.
Islam juga sangat memperhatikan soal hunian. Rumah adalah kehormatan yang para perempuan bisa hidup dengan aman dan nyaman bersama mahramnya tanpa khawatir dilecehkan. Dalam hal ini negara wajib memberikan kemudahan bagi setiap keluarga agar bisa memiliki rumah yang nyaman dan lapang (dengan kamar-kamar yang terpisah antara anak dan orang tua, juga antara anak laki-laki dan perempuan) hingga syariat seputar interaksi di dalam rumah bisa diimplementasikan.
Adanya kewajiban meminta izin saat hendak memasuki rumah, termasuk saat akan masuk ke kamar (pada waktu-waktu tertentu) menjadi bukti bahwa Islam sangat menghargai privasi. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan perempuan) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaianmu di tengah hari, dan sesudah shalat Isya. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka biasa keluar masuk di sekitar kamu, sebagian kamu atas sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nur: 58)
Islam juga sangat memperhatikan penjagaan dalam interaksi antar anggota keluarga di rumah, dengan adanya aturan pemisahan kamar anak dan orang tua sejak kecil, pemisahan kamar anak yang tidak sejenis, pemisahan tempat tidur anak yang sejenis, dan larangan tidur dalam satu selimut. Rasulullah saw. telah bersabda, “Apabila anak-anak kalian telah mencapai usia tujuh tahun maka bedakanlah tempat tidur mereka.” (HR Abu Dawud).
Tidak kalah penting, sistem pendidikan Islam akan mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertakwa. Dengan landasan takwa ini pula dibangun seluruh interaksi umat, terlebih dalam keluarga. Halal haram jadi acuan, ukuran kebahagiaan adalah teraihnya ridha Allah semata. Segala hal yang kontraproduktif akan dihilangkan, termasuk segala macam konten media yang rusak dan merusak sehingga tidak akan muncul budaya permisif dalam masyarakat Islam.
Selain itu, masyarakat juga terkondisikan untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, bahkan Allah menjadikan aktivitas amar makruf nahi mungkar ini sebagai jaminan untuk mendapatkan kemenangan dan petunjuk.
Saat sejumlah aturan sudah diterapkan, tetapi tetap ada individu yang melakukan inses, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas. Inilah benteng kokoh yang berfungsi untuk mencegah berulangnya kemaksiatan.
Dalam Islam, inses merupakan salah satu bentuk zina. Pelakunya wajib dikenai hukuman rajam sampai mati (apabila sudah menikah) dan dera (cambuk) 100 kali (apabila belum menikah). Allah berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk).” (QS An-Nur: 2).
Selain berfungsi sebagai penghapus dosa pelaku, pelaksanaan sanksi ini juga dapat mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama. Jika ada seorang ayah yang merudapaksa anak gadisnya, dia akan dirajam sampai mati. Melihat hal tersebut, tentu orang lain akan ngeri dan tidak akan mau melakukan hal serupa. Itulah kemuliaan sanksi Islam, bisa mencegah, bahkan menghilangkan segala tindak kejahatan, termasuk inses.
Wallahu'alam bishowab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar