Oleh : Ummu Hanif Haidar
Anggota DPR RI menerima tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan. Hal ini membuat total pendapatan mereka melampaui Rp100 juta per bulan. Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai hal ini menyakiti perasaan rakyat, terutama di tengah situasi ekonomi sulit seperti PHK massal dan kenaikan PBB. Ia menyebut kebijakan ini tidak peka terhadap kondisi masyarakat, yang justru sedang dibebani akibat efisiensi anggaran negara. Achmad juga mengkritik adanya ketimpangan, di mana elit menikmati kenaikan pendapatan, sementara rakyat menanggung beban. (Beritasatu.com)
Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyatakan bahwa meski gaji pokok anggota DPR tidak naik (sekitar Rp6,5–7 juta), sejumlah tunjangan mengalami kenaikan. Anggota DPR kini menerima tunjangan perumahan sekitar Rp50 juta, tunjangan beras naik menjadi Rp12 juta (dari sebelumnya Rp10 juta), dan tunjangan bensin menjadi Rp7 juta (naik dari Rp 4–5 juta). Total pendapatan diperkirakan sekitar Rp 70 juta, belum termasuk tunjangan rumah dinas. Adies menyebut kenaikan ini terjadi karena rasa iba dari Menteri Keuangan Sri Mulyani terhadap kondisi anggota DPR. (Tempo.co)
Banyak masyarakat sedang menghadapi kesulitan ekonomi, seperti PHK massal, kenaikan PBB, dan kenaikan harga pangan. Di saat bersamaan, DPR justru menerima tambahan tunjangan yang dinilai berlebihan.
ICW menghitung bahwa tunjangan rumah DPR selama satu periode bisa mencapai Rp1,74 triliun, dianggap pemborosan di tengah klaim efisiensi anggaran oleh pemerintah. Meski menerima tunjangan besar, kinerja DPR justru banyak dikritik.
Pembahasan RUU sering tertutup, minim partisipasi publik, dan produktivitas rendah. Survei juga menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69%, rendah di antara lembaga negara lainnya.
Pengamat menyebut tunjangan besar ini seperti "subsidi negara untuk gaya hidup elite", tidak mencerminkan etika publik, dan memperlebar kesenjangan dengan rakyat. (bbc.com)
Terdapat kesenjangan sosial yang mencolok antara elit politik dan rakyat. Di tengah gejolak ekonomi yang ada seperti PHK massal, kenaikan pajak, kenaikan bahan pokok, dan rencana kenaikan PPN. Rakyat disuguhi dengan fakta kenaikan tunjangan anggota DPR.
Pernyataan-pernyataan dari anggota DPR, seperti, "Kami hanya menerima" atau "Berapapun kami bersyukur." menunjukkan minimnya empati dan tanggung jawab moral.
Sikap ini dianggap menyinggung publik, memperkuat persepsi bahwa DPR tidak peka dan tidak bertanggung jawab secara etika terhadap rakyat yang mereka wakili.
Berbagai pengamat, seperti dari ICW dan Formappi, menyoroti bahwa kinerja DPR tidak sebanding dengan pendapatan dan tunjangan yang mereka terima, misalnya partisipasi publik minim dalam proses legislasi.
RUU penting dibahas tertutup di hotel mewah. Tingkat kehadiran anggota DPR dalam sidang pun rendah. Dengan kata lain, nilai "return on investment" dari pendanaan negara terhadap DPR sangat rendah. Dalam peribahasa Jawa lebih tepatnya "Mbuwang dhuwit mung kanggo ngumbah banyu.” (Artinya: membuang uang hanya untuk mencuci Air)
Jika DPR terus menunjukkan sikap elitis dan tidak responsif terhadap kritik publik, maka kepercayaan publik bisa makin menurun. Legitimasi DPR sebagai lembaga wakil rakyat akan terus tergerus. Potensi resistensi sosial seperti demonstrasi akan meningkat (sudah mulai terlihat dalam demo 25 Agustus).
Alasan pemberian tunjangan rumah karena rumah dinas rusak, terasa mengada-ada, terlebih jika melihat bahwa banyak rumah dinas sebenarnya masih layak pakai atau sedang direnovasi. Bahkan, ada indikasi bahwa rumah-rumah tersebut dirancang tidak digunakan dengan sengaja agar kebijakan tunjangan bisa diterbitkan.
Ini mencerminkan perencanaan kebijakan yang manipulatif dan mengarah pada pemborosan anggaran (seperti tunjangan rumah yang bisa menghabiskan hingga Rp1,74 triliun per periode).
Mengembalikan Hakikat Kekuasaan
Menurut Imam Ibnu Katsir, kekuasaan memiliki dua fungsi utama:
1. Menegakkan agama Islam. Rasulullah saw. memohon kekuasaan kepada Allah Swt. dengan tujuan utama untuk menegakkan dan menyebarkan Islam. Saat beliau menjadi kepala negara di Madinah, seluruh kekuasaan digunakan untuk dakwah Islam.
2. Mengurus kepentingan masyarakat. Kekuasaan juga digunakan untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan syariat Islam, sehingga seluruh warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Rasulullah saw. sebagai kepala negara, menggunakan kekuasaannya untuk melayani umat dan memastikan tidak ada yang dizalimi, baik muslim maupun nonmuslim. Namun penguasa saat ini dalam praktiknya, seperti kenaikan tunjangan, justru menciptakan kesenjangan, kurang mencerminkan semangat pengabdian, dan menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Tugas umat Islam dalam situasi politik yang makin memanas ini adalah meyakini syariat Islam Kaffah sebagai solusi satu-satunya. Keyakinan harus muncul dari pemahaman, karena itu harus rajin menambah wawasan Islam.
Umat Islam mampu membedakan yang hak dan batil, serta tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran sekular atau liberal. Setiap ada kemungkaran penguasa, umat selalu siap dengan pemahamannya melakukan amar makruf nahi mungkar.
Umat Islam harus bersatu. Menghindari perpecahan dan menjaga ukhuwah untuk bersama-sama memperjuangkan tegaknya Islam di tengah kehidupan. Wallahualam bissawab. []
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar