Pendidikan Tersandera Kapitalisme


Oleh: Noura

Aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Kota Balikpapan pada Senin, 1 September 2025 lalu, kembali menampar kesadaran publik tentang carut-marut pendidikan di negeri ini. Bukan hanya mahasiswa yang bersuara, tetapi juga seorang ibu rumah tangga, Wa Ma’ani, warga Kelurahan Batu Ampar, Balikpapan Utara. Dari atas mobil pikap, dengan poster bergambar tengkorak bajak laut bertuliskan “Penguasa Merdeka Rakyat Menderita”, ia curhat dengan getir: enam anaknya dipersulit ketika mendaftar ke sekolah menengah pertama.

Potret ini bukan kasus tunggal. Di atas kertas, konstitusi menjamin pendidikan sebagai hak dasar setiap anak. Namun realitas di lapangan, akses terhadap sekolah justru penuh rintangan. Kebijakan zonasi, jalur prestasi, hingga keterbatasan daya tampung sekolah sering kali lebih banyak melahirkan masalah baru. Alih-alih meratakan kesempatan, kebijakan ini justru memperlebar jurang ketidakadilan.

Jika ditelisik lebih dalam, persoalan pendidikan di negeri ini bukan sekadar teknis atau lemahnya birokrasi. Masalahnya bersifat sistemis. Negara gagal hadir sebagai pengayom (ro’in) yang seharusnya menanggung penuh urusan pendidikan rakyat. Alih-alih demikian, negara menjalankan peran sekadar regulator yang sibuk membatasi kuota, mengatur zonasi, dan menyesuaikan dengan anggaran minim. Akibatnya, banyak anak dari keluarga miskin harus putus sekolah, sementara yang mampu membayar dengan mudah mengakses sekolah unggulan.

Di sinilah wajah asli sistem kapitalisme menampakkan diri. Pendidikan diperlakukan sebagai komoditas, bukan hak rakyat. Sekolah bermutu identik dengan biaya tinggi, sedangkan sekolah negeri yang seharusnya jadi solusi malah penuh sesak, minim fasilitas, dan kekurangan tenaga pendidik. Hasilnya jelas: lahir generasi yang terbelah antara “mereka yang punya” dan “mereka yang tersisih”.

Islam menawarkan paradigma berbeda yang lebih manusiawi dan adil. Pendidikan dalam Islam adalah hak mendasar, bukan barang dagangan. Pemenuhannya menjadi kewajiban negara, bukan dibebankan kepada rakyat. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Prinsip ini menegaskan bahwa pendidikan adalah amanah yang harus ditunaikan negara. Islam bahkan menempatkan pencarian ilmu sebagai kewajiban setiap muslim, sebagaimana sabda Nabi ï·º: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)

Sejarah pun mencatat, pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun, pendidikan berkembang pesat. Perpustakaan megah Bayt al-Hikmah di Baghdad dibangun dan dibuka untuk umum, menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Guru dan ulama diberi penghormatan dan jaminan hidup yang layak oleh negara. Semua itu melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga berkarakter mulia.

Dari sini semakin jelas, problem pendidikan hari ini tak bisa diselesaikan dengan tambal sulam kebijakan zonasi atau sekadar menambah kuota. Selama sistem kapitalisme tetap menjadi pijakan, pendidikan akan selalu diskriminatif dan menjauh dari rakyat. Solusi tuntas hanya ada ketika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh—sebuah sistem yang menjamin pendidikan berkualitas, gratis, dan merata untuk semua anak, tanpa kecuali.

Wallahu'alam bishawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar