Tunjangan Anggota DPR Fantastik, Kok Bisa?


Oleh : Zahra Saraswati

Publik Indonesia kembali digegerkan oleh berita mengenai besaran gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dari berbagai laporan media, diketahui bahwa seorang anggota DPR dapat menerima total pendapatan lebih dari Rp100 juta per bulan. Padahal, gaji pokok mereka hanya sekitar Rp4,2 juta. Namun, berbagai tambahan tunjangan—mulai dari tunjangan perumahan, transportasi, listrik, komunikasi, hingga uang reses—membengkakkan angka tersebut hingga mencapai ratusan juta rupiah.

Fakta ini menuai sorotan tajam dari masyarakat. Di tengah kondisi ekonomi rakyat yang kian sulit akibat inflasi, mahalnya harga kebutuhan pokok, dan stagnannya pendapatan buruh serta pekerja kecil, pendapatan anggota DPR dinilai “melukai hati rakyat”. Banyak pengamat politik menyebut jumlah ini tidak sepadan dengan kinerja DPR yang seringkali mengecewakan, penuh absensi, minim produktivitas, serta lebih sibuk dengan urusan politik praktis ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat.

Fenomena ini kembali menegaskan adanya jurang kesenjangan yang begitu lebar antara elit politik dengan rakyat yang mereka klaim wakili. Lebih jauh, hal ini mengungkap watak asli demokrasi kapitalis: jabatan dijadikan sarana untuk memperkaya diri, bukan sebagai amanah untuk mengurus rakyat.

Tulisan ini akan menguraikan fakta gaji DPR secara lebih detail, menganalisisnya dalam kerangka demokrasi kapitalis, kemudian memberikan kritik serta solusi alternatif dari perspektif Islam yang menjadikan jabatan sebagai amanah, bukan jalan menuju kekayaan.


Fakta : Gaji dan Tunjangan DPR

Secara formal, gaji pokok anggota DPR hanya sekitar Rp4,2 juta per bulan. Namun, hal itu hanyalah “puncak gunung es”. Komponen terbesar dari penghasilan mereka berasal dari aneka tunjangan dan fasilitas yang melekat pada jabatan. Beberapa laporan media merinci pos-pos tersebut, di antaranya:
1. Tunjangan Kehormatan: Rp5,6 juta.
2. Tunjangan Komunikasi Intensif: Rp15,5 juta.
3. Tunjangan Aspirasional: Rp20 juta.
4. Tunjangan Perumahan: sekitar Rp3 juta per bulan (jika tidak menempati rumah dinas).
5. Tunjangan Transportasi: Rp7,7 juta.
6. Tunjangan Bensin: Rp7 juta.
7. Tunjangan Listrik dan Telepon: Rp15 juta.
8. Tunjangan Beras: Rp12 juta.
9. Tunjangan Kesehatan dan Asuransi: ditanggung negara.
10. Uang Reses: sekitar Rp70 juta per masa sidang, atau jika dihitung bulanan sekitar Rp20 juta.

Jika seluruh komponen ini dijumlahkan, total penerimaan anggota DPR bisa melampaui Rp100 juta per bulan. Angka tersebut tentu masih bisa bertambah dengan adanya perjalanan dinas, biaya rapat, serta fasilitas-fasilitas lain yang dibiayai APBN.

Kontrasnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2025, rata-rata upah buruh di Indonesia hanya sekitar Rp3,2 juta per bulan, sementara garis kemiskinan hanya Rp20 ribu per hari atau sekitar Rp600 ribu per bulan. Dengan demikian, gaji DPR bisa mencapai 30 kali lipat dari rata-rata upah buruh dan lebih dari 150 kali lipat dari garis kemiskinan.

Fakta kesenjangan inilah yang membuat publik semakin sinis melihat kinerja DPR. Terlebih, DPR sering dikritik karena absen dalam sidang, minim legislasi yang berkualitas, serta lebih banyak terjebak dalam kepentingan partai.


Analisis : Kesenjangan dalam Demokrasi Kapitalis

Mengapa kesenjangan ini bisa terjadi? Jawabannya terletak pada karakter dasar sistem demokrasi kapitalis yang dijalankan di Indonesia.

1. Politik Transaksional sebagai Keniscayaan
Dalam demokrasi kapitalis, politik tidak pernah lepas dari transaksi. Partai membutuhkan dana besar untuk kampanye, logistik, dan konsolidasi. Sebagai gantinya, ketika kadernya duduk di parlemen, jabatan dijadikan ladang untuk mengembalikan modal politik, bahkan untuk memperkaya diri. Karena itulah, besaran gaji dan tunjangan yang tinggi dianggap wajar dalam logika mereka: kursi DPR adalah “investasi” yang harus menghasilkan keuntungan.

2. Jabatan sebagai Alat Kekayaan, Bukan Amanah
Seharusnya jabatan adalah amanah untuk mengurus kepentingan rakyat. Namun dalam demokrasi kapitalis, jabatan lebih sering dipandang sebagai privilege yang membuka akses terhadap kekuasaan, proyek, dan fasilitas negara. Akibatnya, empati terhadap penderitaan rakyat hilang. Alih-alih membela kepentingan rakyat, mereka justru lebih sibuk mengamankan kepentingan partai dan oligarki.

3. Kesenjangan Struktural yang Diciptakan Sistem

4. Kesenjangan pendapatan antara elit politik dan rakyat bukanlah kebetulan, melainkan konsekuensi sistemik. Demokrasi kapitalis menempatkan materi sebagai ukuran sukses, sehingga wajar jika politik dijalankan untuk menghasilkan keuntungan materi. Selama asas sistemnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), maka tidak ada nilai spiritual yang mengikat. Semua diukur dengan kalkulasi untung-rugi, bukan halal-haram.

Maka, kritik publik terhadap gaji DPR sesungguhnya bukan hanya soal nominal, melainkan soal sistem yang memungkinkan kesenjangan ini terus berlangsung.


Kritik dari Perspektif Islam

Islam menawarkan paradigma berbeda dalam memandang jabatan, harta, dan amanah. Ada beberapa poin penting yang dapat menjadi kritik terhadap praktik demokrasi kapitalis saat ini:

1. Asas yang Berbeda: Akidah Islam vs Akal Manusia
Dalam demokrasi, sumber hukum adalah akal manusia melalui mekanisme voting dan perundangan. Sementara dalam Islam, asasnya adalah akidah Islam, dan syariat Allah menjadi pedoman utama. Maka, seorang pejabat atau wakil umat tidak boleh menetapkan aturan berdasarkan kepentingan kelompok atau partai, melainkan wajib terikat pada hukum syariat.

2. Jabatan sebagai Amanah, Bukan Sarana Kekayaan
Rasulullah ï·º bersabda: “Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, jabatan dipandang sebagai amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Maka, seorang anggota Majelis Umat (dalam sistem Khilafah) tidak akan menjadikan posisinya untuk memperkaya diri.

3. Keimanan sebagai Penjaga Integritas
Dalam demokrasi, tidak ada mekanisme yang efektif untuk menjaga integritas pejabat selain pengawasan publik yang seringkali lemah. Sementara dalam Islam, keimanan menjadi pengikat utama. Seorang Muslim sadar bahwa setiap tindakannya diawasi Allah, sehingga motivasinya bukanlah materi, melainkan ridha Allah.

4. Majelis Umat, Bukan DPR
Dalam sistem Khilafah, lembaga yang setara dengan parlemen adalah Majelis Umat. Fungsinya bukan membuat hukum, melainkan memberikan masukan, kritik, dan pengawasan terhadap Khalifah. Anggotanya dipilih umat, tetapi posisinya tidak untuk mendapatkan gaji dan fasilitas berlebihan. Mereka bekerja untuk menunaikan kewajiban amar makruf nahi munkar, bukan mencari nafkah utama dari jabatan tersebut.


Solusi Islam Kaffah

Jika dibandingkan dengan demokrasi kapitalis, sistem Islam kaffah menghadirkan solusi yang jauh lebih adil dan manusiawi. Beberapa prinsip pentingnya antara lain:

1. Jaminan Kebutuhan Pokok oleh Negara
Islam menegaskan bahwa negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara tidak boleh menyerahkan pemenuhan kebutuhan ini pada mekanisme pasar. Dengan demikian, rakyat tidak akan terbebani, dan jabatan politik tidak diperlukan sebagai jalan pintas untuk mendapatkan kesejahteraan.

2. Jabatan Tidak Menjadi Sumber Kekayaan
Dalam sejarah Khilafah, para pejabat tidak pernah mendapatkan gaji berlebihan. Khalifah Umar bin Khattab ra. bahkan dikenal sangat sederhana dalam menggunakan harta negara. Para pejabat hanya diberi hak sesuai kebutuhan, bukan tunjangan berlimpah.

3. Distribusi Kekayaan yang Adil
Islam memiliki mekanisme distribusi kekayaan yang adil melalui zakat, jizyah, kharaj, dan pengelolaan kepemilikan umum. Dengan mekanisme ini, jurang kesenjangan seperti antara rakyat dan elit politik dapat diminimalkan.

4. Motivasi Spiritual dalam Politik
Dalam Islam, politik bukan sekadar perebutan kursi, melainkan aktivitas mulia untuk mengurus urusan umat. Karena itu, motivasi utamanya adalah ibadah dan pengabdian kepada Allah, bukan keuntungan materi.

Polemik gaji DPR yang mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan kembali menyingkap wajah asli demokrasi kapitalis: sistem yang sarat kesenjangan, di mana jabatan lebih sering dijadikan alat untuk memperkaya diri ketimbang menunaikan amanah rakyat. Rakyat hanya dijadikan komoditas suara, sementara kesejahteraan mereka diabaikan.

Islam menghadirkan paradigma yang berbeda. Jabatan adalah amanah, bukan privilege. Hukum Allah menjadi pedoman, bukan akal manusia yang sarat kepentingan. Keimanan menjadi penjaga integritas, bukan sekadar mekanisme kontrol publik. Dalam sistem Islam, kebutuhan rakyat dijamin negara, sementara pejabat hanya diberi hak secukupnya untuk menunaikan tugas.

Maka, solusi atas kesenjangan struktural ini bukan sekadar menurunkan gaji DPR atau menambah subsidi bagi rakyat. Solusi hakiki adalah meninggalkan sistem demokrasi kapitalis yang cacat sejak asasnya, dan menggantinya dengan sistem Islam kaffah yang menjadikan jabatan sebagai amanah dan rakyat sebagai pihak yang benar-benar diperhatikan.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar