Ada Aroma Kapitalis dalam Solusi Permasalahan Transportasi di Bekasi


Oleh : Haima Adelia

Kota Bekasi, sebagai salah satu wilayah penyangga Ibu Kota Jakarta, menghadapi persoalan klasik yang kian hari semakin membebani masyarakat: kemacetan lalu lintas. Kepadatan kendaraan, buruknya kualitas jalan, banjir, hingga minimnya transportasi publik yang terintegrasi, menjadikan mobilitas warga tidak pernah lepas dari masalah. Dalam upaya mengatasi persoalan tersebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat meluncurkan sejumlah kebijakan, antara lain modernisasi angkutan kota (angkot) berbasis aplikasi serta pembangunan dua jembatan layang (flyover).

Namun, kebijakan ini memunculkan berbagai pro dan kontra. Di satu sisi, ia dipandang sebagai langkah strategis menuju modernisasi dan keterhubungan transportasi perkotaan. Tetapi di sisi lain, kebijakan tersebut juga menunjukkan betapa paradigma kapitalisme masih menjadi landasan utama dalam pengelolaan transportasi publik, yang lebih berpihak pada kepentingan pemodal dibanding kebutuhan riil rakyat.


Wacana Modernisasi Angkot di Bekasi

Salah satu program utama yang tengah digulirkan adalah meremajakan sistem angkutan kota (angkot) dari model konvensional menjadi berbasis aplikasi, mirip dengan sistem JakLingko di Jakarta. Direktur PT Mitra Patriot (PTMP), David Rahardja, menyatakan bahwa terobosan ini bertujuan memodernisasi angkot agar lebih layak, efisien, dan menjadi solusi alternatif untuk mengurangi kemacetan di Bekasi.

Angkot konvensional selama ini memang menghadapi berbagai persoalan: armada tua, kenyamanan rendah, rute yang tidak jelas, serta ketidakteraturan sistem operasional. Banyak sopir angkot juga menggantungkan hidup dari sistem setoran harian, sehingga kerap memacu persaingan antar sopir untuk mencari penumpang, yang justru menambah kesemrawutan di jalan. Dengan sistem berbasis aplikasi dan pembayaran non-tunai, pemerintah berharap dapat menata layanan angkot menjadi lebih rapi dan menarik bagi masyarakat.

Namun, realitas sosial Bekasi menunjukkan bahwa angkot masih kalah bersaing dengan kendaraan pribadi. Mobilitas warga banyak didominasi oleh motor dan mobil pribadi karena faktor fleksibilitas dan aksesibilitas. Lokasi perumahan, sekolah, hingga kawasan industri tidak terhubung dengan baik oleh jalur transportasi publik. Akibatnya, modernisasi angkot berbasis aplikasi berpotensi hanya menambah “kemewahan teknologi”, tanpa menjawab akar masalah: mengapa masyarakat enggan menggunakan transportasi publik.

Selain itu, sistem pembayaran non-tunai dan berbasis aplikasi justru menyulitkan sebagian masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah yang masih terbiasa dengan pembayaran tunai. Modernisasi yang tidak dibarengi dengan penyediaan akses murah, nyaman, dan cepat akan membuat angkot tetap tidak menjadi pilihan utama.


Rencana Pembangunan Flyover

Selain modernisasi angkot, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi juga menegaskan rencana pembangunan dua jembatan layang (flyover) di Kota Bekasi. Proyek ini disebut sebagai langkah strategis untuk mengurai kemacetan yang semakin parah. Flyover dianggap dapat meningkatkan konektivitas antarwilayah dan mengurangi beban transportasi perkotaan yang terus meningkat setiap tahunnya.

Pembangunan infrastruktur seperti flyover memang kerap dijadikan solusi instan oleh pemerintah daerah. Namun, pengalaman di banyak kota besar menunjukkan bahwa flyover bukanlah solusi jangka panjang. Sebab, ketika kapasitas jalan ditambah, jumlah kendaraan pribadi juga meningkat, sehingga pada akhirnya kemacetan kembali terjadi (fenomena yang dikenal sebagai induced demand).

Lebih dari itu, proyek pembangunan jalan dan flyover hampir selalu melibatkan pihak swasta maupun BUMN sebagai investor. Hal ini menandakan bahwa pembiayaan infrastruktur perkotaan tidak lepas dari peran pemodal besar, bahkan terkadang dari luar negeri. Dalam skema seperti ini, risiko yang dihadapi adalah menguatnya dominasi kepentingan kapitalis yang menuntut keuntungan, sehingga rakyat hanya menjadi objek, bukan penerima manfaat utama.


Kapitalisme dalam Pembangunan Transportasi

Jika ditelaah lebih dalam, modernisasi transportasi di Bekasi masih sangat kental dengan paradigma pembangunan kapitalistik. Pemerintah lebih berperan sebagai regulator yang memfasilitasi masuknya modal swasta, bukan sebagai pengurus langsung kepentingan rakyat. Dalam kacamata kapitalisme, pembangunan transportasi dilihat sebagai peluang investasi yang menguntungkan, bukan sebagai layanan publik yang wajib disediakan negara.

Akibatnya, setiap kebijakan selalu diarahkan agar pemilik modal tidak rugi, meskipun itu harus mengorbankan kenyamanan rakyat. Angkot berbasis aplikasi, flyover, jalan tol, hingga skema investasi transportasi publik lainnya lebih banyak diarahkan untuk menjaga kelancaran arus ekonomi kapitalistik. Rakyat mungkin merasakan sedikit manfaat, tetapi beban biaya dan ketidaknyamanan tetap harus mereka tanggung.

Paradigma ini berbeda dengan konsep kepemimpinan dalam Islam. Dalam Islam, penguasa (imam atau khalifah) adalah raa’in (penggembala) yang bertanggung jawab langsung terhadap kesejahteraan rakyat. Rasulullah saw. bersabda: “Seorang imam adalah penggembala dan ia bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Hubungan penguasa dan rakyat lebih menyerupai relasi regulator dan pengusaha: rakyat hanya dianggap sebagai pasar yang harus “dikelola” dengan instrumen regulasi, sementara keuntungan utama mengalir ke kantong pemodal.


Akar Masalah Kemacetan di Bekasi

Jika melihat kondisi riil di Bekasi, kemacetan tidak semata-mata karena kurangnya flyover atau belum modernnya angkot. Ada beberapa faktor mendasar yang lebih signifikan:

1. Banjir dan kerusakan jalan
Jalan berlubang dan tergenang air menjadi pemandangan rutin di Bekasi. Kondisi ini memperlambat arus kendaraan dan memperburuk kemacetan.

2. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang tidak terkendali
Minimnya transportasi publik yang terjangkau dan nyaman membuat masyarakat memilih menggunakan motor atau mobil pribadi. Data BPS 2024 menunjukkan, jumlah kendaraan bermotor di Jawa Barat terus meningkat sekitar 7–8% per tahun, termasuk di Bekasi.

3. Tata ruang perkotaan yang tidak berpihak pada rakyat
Pembangunan perumahan, kawasan industri, dan sekolah tidak terintegrasi dengan transportasi publik. Akibatnya, warga terpaksa menggunakan kendaraan pribadi untuk mobilitas harian.

4. Transportasi publik tidak terjangkau
Biaya transportasi publik modern yang berbasis aplikasi atau kartu non-tunai kerap lebih mahal bagi pekerja menengah ke bawah.

Dengan kata lain, persoalan utama bukan sekadar teknis, tetapi juga sistemik: paradigma pembangunan yang keliru.


Solusi Islam terhadap Masalah Transportasi

Islam memandang transportasi sebagai bagian dari layanan publik yang wajib dijamin negara. Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya: “Tidaklah boleh mendatangkan bahaya untuk diri sendiri dan juga membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah dan ad-Daruquthni)

Dari prinsip ini, ada beberapa solusi mendasar yang ditawarkan Islam:

1. Perbaikan Infrastruktur Dasar
Negara wajib memastikan jalan raya dalam kondisi baik, aman, dan bebas dari kerusakan. Banjir, galian jalan terbengkalai, dan jalan berlubang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum membangun proyek prestisius seperti flyover.

2. Transportasi Publik Gratis atau Murah
Transportasi publik harus menjadi layanan dasar, bukan objek kapitalisasi. Negara dalam Islam membiayai transportasi publik dari baitulmal (kas negara), bukan dari pungutan atau investasi kapitalis.

3. Perencanaan Tata Kota Islami
Pembangunan perumahan, sekolah, dan industri harus terintegrasi dengan sistem transportasi. Dengan perencanaan matang, masyarakat tidak harus bergantung pada kendaraan pribadi.

4. Negara sebagai Pengurus, Bukan Regulator
Negara Islam tidak menyerahkan transportasi publik kepada swasta atau asing. Semua dikelola langsung oleh negara demi kemaslahatan rakyat.
Dengan sistem ini, masyarakat akan lebih mudah beralih ke transportasi umum, karena mereka merasakan manfaat langsung: murah, nyaman, aman, dan cepat.

Rencana modernisasi angkot berbasis aplikasi dan pembangunan flyover di Bekasi mencerminkan wajah pembangunan kapitalistik: penuh janji modernisasi, tetapi akar masalah tetap tidak tersentuh. Kemacetan di Bekasi tidak akan pernah tuntas jika negara hanya menjadi regulator yang tunduk pada kepentingan pemodal.

Islam menawarkan paradigma berbeda: negara adalah pengurus rakyat yang bertanggung jawab penuh menyediakan layanan transportasi publik murah, aman, dan nyaman. Infrastruktur dibangun bukan untuk keuntungan investor, tetapi untuk kemaslahatan masyarakat luas.

Dengan demikian, solusi hakiki atas problem transportasi Bekasi bukan sekadar aplikasi digital atau flyover baru, melainkan perubahan paradigma pengelolaan negara—dari kapitalisme menuju Islam kaffah. Hanya dengan itu rakyat benar-benar merasakan makna pembangunan sebagai rahmat, bukan beban tambahan.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar