Oleh : Adrina Nadhirah
Setiap hari kita disuguhi berita kekejian zionis laknatullah yang melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. Sebagai anak muda sekaligus intelektual muda muslimah, kita harus meletakkan isu ini pada posisi yang tepat, sebab masalah tidak akan terselesaikan tanpa melihat akar permasalahan dan mengambil solusi fundamental. Apa yang terjadi di Palestina dan negara Arab sekitarnya merupakan simbol benturan antara ideologi dan kepentingan global, antara penjajahan dan pembebasan. Narasi kompromi berupa solusi dua negara hanyalah khayalan yang justru menutup pintu kemerdekaan hakiki.
Peristiwa di Timur Tengah, khususnya Palestina, bukan sekadar konflik lokal atau isu kemanusiaan, melainkan bagian dari skenario besar yang melibatkan kepentingan strategis Amerika Serikat. Ada tiga kepentingan utama AS yang membuat wilayah ini terus dipenuhi intervensi. Pertama, kerakusan terhadap sumber daya alam, terutama minyak. Meski produksi dalam negeri meningkat, kontrol atas cadangan minyak di Timur Tengah tetap menjadi kunci dominasi global mereka, bahkan dimanfaatkan untuk mengendalikan negara seperti China yang sangat bergantung pada minyak dari kawasan tersebut.
Kedua, Amerika Serikat bukan hanya sekutu, tetapi sponsor ideologis utama Israel. Dukungan mereka terhadap entitas Yahudi di Timur Tengah bukan sekadar strategi geopolitik, melainkan komitmen jangka panjang, karena Israel menjadi pion vital bagi dominasi AS. Segala bentuk agresi Israel, sekejam apa pun, selalu mendapat perlindungan militer dan veto diplomatik Washington.
Ketiga, AS juga memusuhi kebangkitan Islam politik. Mereka menyadari bahwa kesadaran ideologis umat Islam akan melahirkan tatanan baru yang menolak sistem sekuler-liberal. Karena itu, berbagai propaganda terus digencarkan untuk menjauhkan umat dari agamanya, terutama di wilayah strategis seperti Timur Tengah.
Salah satu cara utama AS menghalangi kebangkitan Islam adalah dengan menanam agen-agennya di kursi-kursi pemerintahan negeri-negeri muslim. Melalui para pemimpin boneka inilah proses sekularisasi dijalankan. Mereka dikondisikan agar patuh terhadap kepentingan Barat, bahkan rela menjual kedaulatan negaranya demi jabatan semu. Selain itu, AS juga memastikan agar kekuatan militer umat Islam tetap lemah. Negeri-negeri muslim tidak dibiarkan membangun pertahanan yang mandiri, apalagi memiliki senjata strategis seperti nuklir. Semua harus tunduk pada standar yang ditetapkan Barat. Ketergantungan ini menjadi titik lemah yang terus dimanfaatkan.
Serangan Iran ke Israel setelah konsulatnya diserang memberi pelajaran penting bagi umat. Citra “tak terkalahkan” Israel berhasil diruntuhkan. Sistem pertahanan mereka bisa ditembus. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak sekuat yang selama ini digambarkan. Tapi perlu dicatat, serangan ini masih bergerak dalam kerangka nasionalisme dan hukum internasional, bukan atas dasar misi membebaskan umat. Artinya, belum bisa disebut jihad dalam makna yang sebenarnya. Tapi dari sini kita belajar pentingnya kemandirian dalam teknologi pertahanan. Ketergantungan pada Barat hanya akan menjadi penghambat perjuangan.
Berbeda dengan negara-negara sekarang yang menjadikan politik luar negeri sebagai alat untuk melindungi kepentingan nasional, dalam Islam, politik luar negeri adalah bagian dari misi dakwah. Jihad dalam Islam bukan tindakan teror, tapi metode sah untuk membuka jalan bagi tersebarnya Islam. Tujuan akhirnya bukan hanya membebaskan wilayah, tapi membebaskan manusia dari belenggu kebatilan, hingga mereka mengenal Allah dan hukum-Nya yang adil. Maka perlu digarisbawahi, bahwa dasar politik luar negeri Islam bukanlah kepentingan negara, melainkan demi menyebarluaskan Islam di seluruh dunia.
Dengan jelas, Allah SWT sendiri telah “mengizinkannya”. Dalam surah An-Nisa ayat 141, Allah berfirman, yang terjemahannya, “…..dan Allah sekali-kali tidak akan MEMBERI JALAN kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Berdasarkan ayat ini, kita seharusnya tidak mengambil jalan kompromi atau diplomasi apabila berurusan dengan negara kafir harbi (yang terang-terangan memerangi islam).
Sayangnya, tantangan besar datang dari dalam tubuh umat sendiri. Ghirah dan semangat umat terhadap isu Palestina sangat besar, tapi tidak diimbangi oleh pemimpinnya. Sekularisme yang menancap dalam tubuh para penguasa membuat mereka tak berpikir untuk membebaskan umat. Mereka tunduk pada garis nasionalisme sempit dan melupakan ukhuwah Islamiyah. Akhirnya, kebijakan politik dan ekonomi yang mereka ambil selalu menjauh dari solusi Islam.
Padahal, umat ini punya potensi luar biasa. Jumlah negara, populasi yang besar, dan kekayaan alam adalah modal kuat. Tapi kekuatan terbesar umat bukan itu, melainkan ideologinya. Islam adalah kekuatan yang membentuk manusia bukan hanya taat secara spiritual, tapi juga tangguh secara peradaban.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar