Gen Z Bicara Perubahan, Potensi Besar Kebangkitan Umat


Oleh : Sylvi Raini

Aksi demontrasi dan unjuk rasa yang akhir – akhir ini marak, baik di dunia nyata dan media sosial, memperlihatkan bagaimana Gen Z merespon tekanan sosial. Menurut Psikolog Anak dan Remaja, Anastasia Satriyo, M.Psi., Psikolog, Gen Z memiliki cara khas dalam bersuara. Alih-alih menggunakan tindakan destruktif, mereka lebih memilih menggunakan media sosial, meme, poster kreatif hingga estetik visual untuk meluapkan kritik dan saran. “mereka berbicara tanpa harus merusak Fasum (Fasilitas Umum)”, jelas Anastasia. (Kompas.com, 2025)

Namun, fenomena keterlibatan remaja dalam demo juga menimbulkan kekhawatiran. Psikolog Universitas Indonesia, Prof. Rose Mini Agoes Salim, menyoroti meningkatnya jumlah anak di bawah umur yang ikut aksi. Ia mengakui demo bisa menjadi ajang belajar menyampaikan pendapat, tapi mengingatkan bahwa remaja masih rentan terprovokasi karena kontrol diri mereka belum matang (Inforemaja.id)

Kekhawatiran ini semakin nyata setelah KPAI menemukan bahwa sebagian pelajar ikut aksi karena ajakan alumni atau broadcast di WhatsApp. Dalam laporan Harian Jogja, hal ini membuat mereka berisiko dimanfaatkan sebagai alat politik. Bahkan, di Bandung seorang siswa SMA dikeluarkan dari sekolah setelah membuat video tidak etis terkait demo (Kumparan, 2025).

Meski begitu, para pengamat tetap menilai Gen Z bukan generasi yang apatis. Mereka punya sensitivitas tinggi terhadap isu sosial dan cenderung mengekspresikan keresahan dengan cara kreatif agar lebih mudah dipahami teman sebaya. Tantangan terbesar justru ada pada orang tua dan sekolah, bagaimana mendampingi remaja agar bisa berpartisipasi dengan aman, kritis, dan tidak mudah dimanfaatkan pihak lain


Gen Z, masih berMind Set Kapitalisme

Selama ini, banyak ahli psikologi mencoba memahami Gen Z dengan cara memberi label yaitu mereka kreatif, meluapkan dengan meme, aktif di media sosial, atau punya cara bertahan dengan humor. Sekilas, hal ini tampak positif. Tapi kalau dicermati lebih dalam, cara pandang ini sebenarnya selaras dengan pola pikir kapitalisme. Tujuannya bukan sekadar memahami Gen Z, melainkan mengarahkan mereka supaya tetap bisa mengekspresikan diri, tapi tidak sampai menantang akar masalah yang sebenarnya.

Kapitalisme cenderung ingin menjaga situasi tetap stabil. Maka Gen Z diarahkan agar “aman” dalam menyalurkan keresahan. Misalnya lewat poster kreatif, video lucu, atau konten digital. Dengan begitu, emosi mereka tersalurkan, tapi kesadaran politiknya berkurang. Mereka sibuk mengolah ekspresi, bukan mendorong perubahan besar yang mungkin mengganggu kepentingan sistem.

Padahal, sejak manusia diciptakan, kita semua punya naluri alami untuk menolak ketidakadilan dan melawan kezaliman. Inilah yang disebut naluri baqa, sebuah dorongan untuk mempertahankan diri dan kehidupan. Kalau ada penindasan, wajar manusia ingin bangkit melawan. Itu bukan sekadar “gaya khas Gen Z”, melainkan fitrah semua manusia sepanjang sejarah.

Karena itu, masalah utamanya bukan di cara Gen Z menyalurkan keresahan. Masalah sesungguhnya ada pada sistem yang menimbulkan keresahan itu sendiri. Selama ketidakadilan dibiarkan, sekreatif apa pun Gen Z mengekspresikan diri, hasilnya hanya jadi “katup pengaman” agar konflik tidak membesar. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah solusi yang bisa benar-benar menghilangkan akar kezaliman, tidak hanya sekadar cara untuk meredam gejalanya.


Pendekatan dan Pengarahan Potensi Pemuda

Islam melihat manusia punya fitrah, yaitu sifat dasar yang selalu ingin terpenuhi. Fitrah ini disebut khasiatul-insan yaitu ketika manusia butuh makan, aman, dihargai, dan tentu saja butuh keadilan. Tapi semua kebutuhan ini tidak boleh dipenuhi dengan cara semaunya, melainkan dengan tuntunan syariat. Jadi, bukan psikologi modern yang jadi ukuran utama, melainkan aturan Allah yang memang diturunkan untuk menjaga manusia tetap pada jalan yang benar.

Dalam Islam juga ada mekanisme untuk mengoreksi penguasa yang zalim, yang disebut muhasabah lil hukkam (mengoreksi pemimpin). Cara ini sudah dicontohkan sejak zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an : “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...” (QS. An-Nahl: 125).

Bahkan Rasulullah saw. juga menyebutkan :
Pemimpin para syuhadā’ adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan (juga) seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintahkannya kepada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran, kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR. Hakim).

Artinya, melawan kezaliman dengan cara yang benar adalah bagian dari kemuliaan seorang Muslim. Potensi pemuda juga sangat besar dalam perubahan ini. Sejak masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, para pemuda menjadi garda terdepan dalam perjuangan dakwah dan perubahan sosial yang hakiki (taghyir). Bukan sekadar menyalurkan keresahan dengan ekspresi kreatif, tapi benar-benar mengambil peran untuk mengubah sistem yang zalim menjadi sistem yang adil sesuai syariat.

Jadi, solusi bagi Gen Z maupun generasi lainnya bukan sekadar bagaimana cara mereka “bertahan” atau “mengekspresikan diri”, tapi bagaimana mereka bisa diarahkan pada perjuangan yang hakiki, melawan kezaliman dengan tuntunan Islam melalui kebangkitan Islam, bukan sekadar dengan pendekatan psikologi yang sifatnya meredam gejala. Dan kondisi seperti yang demikian hanya akan terealisasikan dalam sebuah sistem yang hakiki juga yaitu sebuah sistem yang di contohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, sistem islam dalam bingkai Daulah Islamiyyah. Wallahu’alam bishowab





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar