Banjir Berulang, Solusi Dalam Islam


Oleh: Salsabila (Pemerhati Generasi)

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi bali mengungkap jumlah korban meninggal akibat bencana banjir di Bali, bertambah. Per hari ini, Jumat, 12 September 2025 jumlah korban meninggal tercatat 18 orang dan 5 masih hilang (https:www.metrotvnews.com, 12/09/2025) 

Bali kembali berduka. Banjir bandang melanda enam kabupaten/kota, merendam 123 titik wilayah, menewaskan 18 orang, serta memaksa ratusan warga mengungsi. Sungai meluap, rumah hanyut, jalan rusak, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Namun di balik bencana ini, ada pesan penting yang tidak boleh diabaikan: alam yang dieksploitasi kini menagih balasan.

Jika ditelusuri lebih jauh, banjir di Bali bukanlah sekadar akibat hujan deras atau cuaca ekstrem. Ada akar masalah yang jauh lebih dalam. Data menunjukkan, hutan di hulu Gunung Batur kini tinggal 1.200 hektar dari total 49.000 hektar. Padahal, hutan adalah benteng alami yang menahan air hujan dan mencegah banjir bandang. Lebih parah lagi, Tukad (sungai) Badung menyempit karena padatnya bangunan di bantaran sungai. Dalam kurun 20 tahun terakhir, jumlah akomodasi wisata di Bali bahkan melonjak dua kali lipat, menyulap sawah dan subak yang dulu hijau menjadi hotel, vila, dan pusat hiburan.

Alih fungsi lahan yang masif inilah yang menjadi biang keladi. Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) yang semestinya menjadi pengendali pembangunan ternyata hanya menjadi dokumen formalitas. Implementasinya lemah, bahkan sering dilanggar. Akibatnya, banyak bangunan berdiri di lokasi terlarang, termasuk di bantaran sungai. Ketika hujan turun deras, air kehilangan jalannya. Sungai tidak lagi mampu menampung debit besar, maka banjir bandang pun tak terhindarkan.

Di sinilah tampak wajah nyata dari pembangunan kapitalistik. Pemerintah lebih banyak memprioritaskan turis dan investasi dibandingkan menjaga keseimbangan lingkungan. Selama devisa dari pariwisata terus mengalir, kerusakan alam kerap dipandang sebagai risiko yang bisa ditoleransi. Padahal, bencana ekologis seperti banjir dan longsor adalah bom waktu yang sewaktu-waktu meledak, dengan korban nyata adalah rakyat kecil. Kapitalisme memandang alam hanya sebagai objek eksploitasi demi keuntungan ekonomi. Hutan bisa ditebang, sawah bisa dialihfungsikan, sungai bisa disempitkan—asal ada keuntungan yang masuk ke kantong investor. Logika inilah yang membuat kelestarian ekologi terabaikan. Sementara rakyat kebanyakan hanya menjadi korban dari pembangunan yang tidak berkelanjutan.


Islam Menawarkan Perspektif yang Berbeda
 
Dalam pandangan Islam, alam adalah amanah Allah SWT. Air, hutan, sungai, dan udara adalah milik umum, bukan objek komersialisasi untuk segelintir orang. Negara dalam Islam memiliki kewajiban untuk mengatur tata ruang dengan prinsip menjaga keberlangsungan hidup manusia sekaligus kelestarian ekosistem. Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan ekologis adalah akibat langsung dari ulah manusia yang abai terhadap aturan Allah SWT. Maka, solusinya bukan hanya rehabilitasi alam, melainkan juga perubahan paradigma pembangunan.

Islam tidak menempatkan pariwisata sebagai sumber utama pemasukan negara. Pendapatan negara bersumber dari mekanisme syariat seperti zakat, kharaj, jizyah, ghanimah, dan fai’. Dengan demikian, pembangunan tidak harus mengorbankan hutan, sawah, dan sungai demi devisa turisme. Pembangunan dalam Islam justru diarahkan agar tetap selaras dengan kelestarian alam. Selain itu, negara dalam Islam memiliki kewajiban menjaga keselamatan rakyatnya. Negara tidak boleh membiarkan bangunan berdiri di daerah rawan bencana, termasuk bantaran sungai dan lereng gunung. Tata ruang akan ditegakkan secara tegas, bukan sekadar aturan di atas kertas. Inilah perbedaan mendasar antara paradigma Islam dan kapitalisme: satu berpijak pada amanah Allah, yang lain pada keuntungan jangka pendek.

Banjir Bali adalah alarm keras yang seharusnya membangunkan kesadaran kolektif. Selama pembangunan masih didorong logika kapitalisme yang mengorbankan alam demi pariwisata, bencana akan terus berulang. Saatnya beralih pada paradigma Islam yang memandang alam sebagai titipan Allah SWT, bukan komoditas.

Hanya dengan cara itu, manusia bisa hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, tanpa perlu takut bencana datang berulang. Karena sejatinya, menjaga keseimbangan alam adalah bagian dari ketaatan kepada Allah SWT sebagai Sang Pencipta.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar