Oleh : Dini Koswarini
Di tengah tekanan perekonomian yang terus memburuk, nominal pendapatan anggota DPR kembali memantik amarah publik. Anggota DPR RI menerima berbagai tunjangan, seperti tunjangan istri/anak, jabatan, kehormatan, komunikasi, sampai pengganti rumah dinas. Sehingga total pendapatan resmi mereka yang diperkirakan bisa melampaui Rp 100 juta per bulan. (detikfinance, 21/8/2025)
Belum lagi tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan, yang ditambahkan karena pengembalian fasilitas rumah dinas kepada negara, hal ini semakin menjadi sorotan utama publik (Universitas Muhammadiyah Jakarta, 25/08/2025)
Hingga akhirnya muncul kritik dari lembaga seperti ICW dan Formappi yang menyoroti ketimpangan ini sebab dianggap tidak layak di tengah sulitnya ekonomi masyarakat dan tidak sepadan dengan kinerja DPR yang tak memuaskan (Interaksi.co, (22/08/2025).
Ketimpangan pendapatan anggota DPR, terutama ketika ditambah tunjangan besar seperti tunjangan rumah, menciptakan jarak antara legislatif dan rakyat. Angka lebih dari Rp 100 juta per bulan bukan hanya soal nominal, tapi merupakan simbol semakin terputusnya hubungan antara wakil dan rakyatnya.
Meski tidak bisa dianggap wajar, namun seperti sudah menjadi rahasia umum jika dalam sistem demokrasi kapitalis cenderung menciptakan kesenjangan karena materialisme menjadi tujuan.
Sehingga politik transaksional yang menyuburkan pertukaran jabatan dengan keuntungan pribadi, menjadi fenomena yang hampir tak terhindarkan. Tak jarang, mereka menduduki jabatan yang justru menentukan besaran anggaran demi kepentingan pribadi dan elit.
Inilah bobroknya para pemangku kebijakan ketika jabatan menjadi sarana memperkaya diri, empati kepada rakyat yang diwakili pun memudar bahkan hilang tak bersisa. Amanah sebagai wakil rakyat mulai diabaikan, dan publik perlahan menjadi objek demokrasi.
Berbeda dengan sistem Islam memandang tentang jabatan yang berarti ada keterkaitan kuat antara amanah, dan akidah.
Dalam demokrasi modern, legitimasi jabatan bersandar pada akal dan suara mayoritas. Sedangkan dalam Islam, legitimasi berasal dari akidah dan syariat Allah sebagai pedoman utama, bukan akal manusia semata.
Sebab setiap jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Tidak ada celah ingin memanfaatkan jabatan demi keuntungan pribadi, karena hadirnya keimanan menjadi penjaga agar individu tetap terikat pada aturan syariat.
Setiap muslim, termasuk anggota majelis umat wajib mengembangkan kepribadian Islami. Dengan semangat fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan), sehingga mereka menjalankan amanah dengan memprioritaskan kepentingan umat, bukan kepentingan pribadi.
Dengan demikian, di tengah ketimpangan demokrasi yang kian nyata, Islam menghadirkan solusi hakiki. Sebab jabatan bukanlah jalan memperkaya diri, melainkan amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dengan asas akidah dan syariat sebagai pedoman, hanya sistem Islamlah yang mampu menghadirkan keadilan sejati, karena ia tidak lahir dari kompromi kepentingan elit, melainkan dari aturan Allah yang Maha Adil.
Wallahu a'lam bisshawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar